Setelah itu, benar-benar sulit. Sedang perantara semesta berbicara dengan merdunya kepada sepasang telinga milik salah satu di antara kita tentang jalan-jalan yang pernah kita lalui sementara sendiri-sendiri sangat berat. Ia begitu merindukan sosokmu yang terang seperti harapan. Ada. Akan tetapi, sulit sekali diperjuangkannya agar bisa jadi kenyataan.
Katanya, setelah bulan Mei, hampir tidak ada perjalanan atas nama kita yang tersimpan sebagai kenang-kenangan antara dirinya dan kamu. Entahlah. Laki-laki itu hanya sedang lelah. Nuraninya terlalu lelah untuk menanggung sebuah jarak yang tidak bisa terjang walaupun seandainya ia bisa terbang.
Laki-laki itu mengembuskan napas panjang. Setelah menyendiri cukup lama di atas Braga, laki-laki itu segera bergegas menuju kepulangan dengan kekalahan. Sepanjang perjalanannya, semestanya benar-benar hening. Matanya menatap jalanan kosong. Seolah, apa pun ketetapan yang akan terjadi di depannya ia tidak peduli. Sampai bunyi klakson yang cukup keras dan teguran dari sang sopir menyadarkan kepalanya, barulah laki-laki menoleh dan meminta maaf atas kelalainya. Hampir saja. Ia menggores badan sebuah mobil dengan motornya.
“Fokus, Damara. Fokus. Lagi pula, ini bukan akhir dari segalanya. Tidak apa-apa. Hatimu hanya sesak sedikit. Setelah beberapa hari, nanti juga sembuh,” katanya pelan.
Namun, ternyata kenyataanya tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh nalarnya. Setelah sampai di rumah dan mengucapkan salam, tak lama sang ibu datang membukakan pintu, saat itu pula hujan dari semesta Damara turun di dalam pelukan sang ibu. Sang ibu hanya tersenyum, seraya menepuk-nepuk punggung Damara pelan.
“Maaf, Bu. Damara masih belum berhasil untuk mengabulkan keinginan Ibu. Maafin Damara.”
“Nggak apa-apa, Nak. Nggak apa-apa.”
“Rasanya sesak sekali, Bu. Padahal sudah Damara tahan. Tapi, tidak bisa. Damara tidak kuat. Damara cengeng sekali.”
“Nak ... dengerin Ibu, Kasep ...,” ucapnya pelan, “nggak apa-apa, Kasep. Nggak apa-apa kalau saat ini kamu masih belum bisa mengabulkan permintaan Ibu. Ibu juga minta maaf sama kamu kalau selama ini perkataan Ibu sudah membebanimu. Kamu anak Ibu yang paling hebat, Kasep. Bapakmu dulu juga sama sepertimu waktu mau menikahi Ibu. Sulit sekali dapat restu dari kakekmu. Tapi, Bapakmu pantang menyerah, Nak. Sama sepertimu sekarang. Rasanya ibu benar-benar bisa melihat sosok Bapak dari kamu. Kalau kamu memang benar-benar ingin menjadikan seseorang itu sebagai bagian dari belahan hidupmu, walaupun sulit, jangan menyerah, Kasep. Jangan menyerah.”
Malam itu, ia semakin jujur dengan dirinya sendiri. Rasanya tetap sesak. Akan tetapi, rasanya berbeda. Ia tidak sakit. Di hatinya hanya merasa semakin mantap jika Naya adalah harta paling berharga yang diberikan semesta untuk ia jaga senyumnya.
Terima kasih, Ibu. Sudah membuatku tidak menyerah.***
Gadis itu sedang menggaruk-garuk kepalanya pusing di hadapan sebuah penelitian yang sedang ia kerjakan untuk bahan skripsinya nanti. Sedari dahulu, ia memang menggemari sekali Jepang dengan budaya-budaya yang ada di atasnya. Setelah tiga tahun lebih bergumul dengan Sastra Jepang, waktu ini adalah momen penentuan agar ia bisa melanjutkan pendidikan sekaligus terjun langsung ke dalam masyarakat di Jepang.
“Kang, aku nambah satu gelas Latte lagi, ya,” katanya. Andri, laki-laki itu hanya mengangguk lalu mulai berkutat dengan pesanan Naya.
Sesekali, gadis itu mengecek ruang percakapannya dengan laki-laki yang selama ini seperti hilang lagi ditelan bumi. Setelah percakapan terakhirnya, bahkan laki-laki itu tidak mengabari sama sekali. Sial. Apa ia benar-benar sudah menyerah untuk mencintainya?
Kemudian, ia menggeleng. Nggak, Naya. Nggak boleh berpikir negatif, dulu. Dari dulu dia, kan, emang kayak begitu. Dia pasti sedang merencakan sesuatu dengan kepergiannya. Ya. Pasti begitu.
Namun, ia tidak menampik jika di setiap perjalanan pulangnya, ia berharap ada sosok Damara yang sedang duduk di atas motornya di persimpangan sebelum rumahnya dengan muka kumal habis bekerja seperti biasanya.
“Dam, kamu apa kabar?”
Setelah itu, Naya tersenyum. Kemudian kembali fokus dengan penelitiannya. Jika memang dalam diamnya laki-laki itu sedang berusaha menjadi lebih baik, maka ia pun harus begitu. Selama ini laki-laki itu selalu resah akan pantas atau tidaknya jika ia berdiri di sebelahnya. Kali ini, Naya pun harus berjuang untuk memantaskan diri jika sudah waktunya nanti ia kembali dipertemukan dengan Damara, karena ia yakin pada saat itu tiba, Damara sudah banyak berbeda.***
Setelah pukul sepuluh malam, Naya pulang menggunakan angkutan umum. Duh, sudah terbiasa dijemput Damara, kini ia harus pulang sendiri lagi rasanya benar-benar asing. Sesampainya di depan pagar rumah, perempuan itu mengambil napas panjang. Padahal jalan kaki tidak seberapa, akan tetapi rasanya melelahkan sekali. Benar-benar.
Akan tetapi, ketika ia hendak membuka pintu gerbang, gadis itu melihat ada sebuah kantung kertas yang tergantung di atasnya. Ia celingukkan. Siapa tahu ada orang kurang kerjaan yang jahil menaruh barang di pagar rumahnya atau memang kiriman ini ditujukan untuk Bapak, tetapi ia belum sempat menerimanya karena sudah tidur. Ya. Setidaknya seperti itulah pikiran Naya saat itu. Sama sekali tidak berpikir bahwa kiriman itu adalah milik Damara yang memang ditujukan untuknya.
“Dari siapa,sih?”
Naya kemudian mengambil amplop cokelat yang ada di dalamnya dan tidak segan untuk membukanya. Karena jika memang kiriman ini untuk Bapak, apa pun bentuknya, Bapak selalu menyuruhnya untuk melihatnya terlebih dahulu.
Namun, ketika ia melihat sebuah nama tertulis diatasnya, gadis itu dengan cepat memasukan kembali surat itu ke dalam amplopnya. Tidak, semesta. Tidak. Hatinya hanya belum siap menghadapi kenyataan jika itu adalah tentang Damara.
“Ya Tuhan, ini terlalu mendadak. Aku nggak siap,” katanya sambil berlari ke dalam rumah, dan berbaring di atas kasurnya tanpa mandi, tanpa berganti pakaian, “Dam, aku takut kalau nanti isinya cuma buat berpamitan.”
Ia mengambil napas panjang, lalu mengembuskannnya perlahan. Naya hanya sedang mengumpulkan keberaniannya untuk apa pun yang akan terjadi bahkan di detik selanjutnya. Setelah merasa siap, perempuan itu kemudian membuka kembali amplop coklelat itu dan mengeluarkan surat yang ada di dalamnya. Pada halaman pertama, di sana tertulis nama Damara. Hanya itu. Tidak ada apa-apa lagi. Lalu, ia membalik halaman berikutnya.Nay, apa kabar?
2015 udah mau selesai, ya? Duh, kenapa waktu berjalan begitu cepat, ya, Nay? Berapa lama? Tujuh bulan ada sepertinya, aku, menghilang? Maaf, Nay. Ketika aku datang, caraku pengecut seperti ini.
Aku bersyukur sekali, Nay, apa pun itu jika bersangkutan denganmu, aku benar-benar menjadi keras kepala. Jika, tidak ... mungkin aku sudah mulai menyerah dari lama. Akan tetapi, perasanku terhdapmu makin lama bukannya makin berkurang, malah semakin banyak. Di sini. Bahkan di hatiku sampai tidak muat.
Naya tersenyum, akan tetapi meskipun perlahan, sepasang matanya mulai berkaca-kaca.
Nay, aku begitu merindukanmu. Tapi, aku masih belum bisa menemuimu. Berat sekali, Nay, selama itu untuk aku kembali baik-baik saja. Meskipun aku sangat mengerti akan risiko jika aku bersikeras memperjuangkanmu, rasanya tetap saja sesak ketika aku harus dipukul lagi dengan kenyataan kalau aku bukanlah siapa-siapa.
Nay, kita tetap sama-sama berjuang, ya? Meskipun jalan kita akan berbeda, aku percaya kalau aku dan kamu memiliki tujuan yang sama. Kita akan kehilangan jarak, kita akan kehilangan waktu, kita akan banyak sekali menerima kehilangan. Ini menakutkan, Nay. Tetapi, entah kenapa aku juga merasa jika hal ini akan menyenangkan jika saatnya sudah tiba.
Sampai bertemu di waktu yang sangat baik.
Aku mencintaimu. Banyak. Banyak sekali.Lalu, perempuan itu menangis. Pada riuhnya keheningan malam, sepasang matanya tak lagi mampu menahan rasa-rasanya yang sangat banyak. Sampai-sampai meledak dan turun sebagai hujan dari sepasang matanya.
***
2015, adalah tahun yang berat bagi kita. Berlangsungnya begitu singkat, akan tetapi, tapak tilas yang terjadi di sepanjang waktu benar-benar istimewa. Bagaimana aku dan kamu harus berjuang mempertahankan kita yang hampir runtuh karena kecewa, bagaimana aku dan kamu harus kehilangan waktu yang hampir menyerah karena sama-sama pasrah, Sayang, untungnya aku dan kamu sama-sama keras kepala. 2015 adalah tahun kita yang sangat bercanda.
Yang sama-sama berdoa, meski di jalan yang berbeda, semoa rumah yang akan menjadi garis aku dan kamu bisa beristirahat dengan adalah sama. Lalu amin, melangit bersama-sama dengan mereka yang saling memungguni di dalam pilihanya sendiri-sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
andai, jika
RomanceKita seperti gelap dan terang. Yang saling menenggak jarak, mencari-cari sebuah kepantasan antara manusia paling tidak memiliki dan dicintai. Perpisahan kita bukan milik selamanya. Namun, akan kupastikan jika selamanya adalah milik kita.