Kita adalah segalanya tentang tawa dan tangis dalam rindu bernyawa. Bagaimana cerita antara dua manusia bertemu dahulu dengan senyum sepasang, dan menatap. Jika yang diinginkan cakrawala adalah senja dan peraduan, kita berbeda. Seperti tenang yang suka bisik-bisik, kita tidak banyak bicara sebenarnya. Namun, entahlah. Entah bagaimana cerita mengenai kita bisa ada, atau ini memang semestanya saja yang suka mengarang.
Damara sedikit kecewa sebenarnya tidak bisa berangkat bersama Naya. Hanya saja, nalarnya tidak pernah bisa berhenti berpikir. Mungkin saja ini adalah perjalanan terbaik baginya. Sebentar lagi, Desember akan segera berpamitan. Mungkin semesta masih belum rela, bisa-bisanya ia menjatuhkan air dari langit lebih sering dari biasanya. Padahal, nanti pun pasti akan bertemu dengannya kembali.
"Sayang sekali, ya, Dam. Padahal kamu bujangan yang lumayan tampan. Tapi kamu tidak membawa satu gadis pun," ledek Pak Asep.
"Bapak bisa saja," balas Damara. Meskipun berbeda tempat duduk, Damara dan Pak Asep ada di tempat yang bersampingan.
"Kau tidak iri dengan Bapak?"
"Kenapa Damara harus iri, Pak?" tanya laki-laki itu.
"Bapak saja sudah membawa gandengan. Masa kamu tidak?"
"Bapak, 'kan, sudah punya istri, Pak."
Sial, jika ia bisa mengembalikan waktu, ingin sekali rasaya Damara membawa kembali jiwa dan raga Pak Asep yang masih muda agar ia tidak segan untuk memukulnya nanti. Namun, bagaimana pun usilnya Pak Asep, Damara tetap sangat menghormatinya.
"Makanya, jangan terlalu betah menjadi bujangan."
"Bukan begitu, Pak."
"Lalu bagaimana?"
"Tadinya Damara ingin mengajak seseorang. Tapi, dia sudah punya perjalanan sendiri. Makanya tidak jadi."
Setelah itu, Damara lebih memilih menyetel sebuah lagu untuk menemani perjalannya menyambangi Jogja. Di telinganya tedengar sebuah alunan yang membuai. Matanya terpejam, lalu sepasang sudut bibirnya terangkat ke atas. Ketika dengan sebercanda itu bayangan akan sosok Naya hinggap dikepalanya. Frank Sinatra, dengan My Way-mu, laki-laki ini berhasil mengenang.
***
"Si Riska mana, nih?" tanya Abil.
"Kurang tahu aku," jawab Raihan.
"Masih tidur kali, Bil," ucap Naya.
Pukul 1 dini hari waktu yang sudah disepakati oleh mereka untuk berkumpul di depan kampus. Sudah menjadi keutuhan jika di dalam satu kelompok pasti ada satu orang yang mempunyai jam karet. Abil mendengkus, ini akan menjadi penantian yang lama. Setelah satu jam menunggu, pada akhirnya Riska menampakkan batang hidung dengan wajah tanpa dosa.
"Cie ... kalian nungguin aku, ya?" godanya.
"Udah lengkap, 'kan? Yuk langsung aja," tukas Abil lalu memasuki mobilnya.
"Sial, aku dicuekin."
"Habisnya kamu lama, sih, Ris," ledek Naya.
"Ya maaf."
"Udah, ah. Buruan masuk. Udah telat sejam, nih, kita."
"Ya udah deh."
Pada pukul 2, Naya dan teman-temannya berangkat dari Bandung menuju jogja. Naya pikir, ini akan menjadi akhir dari 2014 paling berharga baginya. Meski ia tidak tahu kenangan macam apa yang akan menyambutnya nanti, yang hanya ia tahu adalah Damara akan berada di kota yang sama. Di kursi pengemudi, Abil menyetel sebuah lagu yang menurut Naya sangat Damara sekali.
Laki-laki itu tidak pernah kelihatan bahagia. Akan tetapi, dengan caranya, ia bisa tersenyum dengan lapang. Entah bagaimana caranya laki-laki itu menjadi terasa begitu syahdu keberadaanya. Seperti lagu Waiting Around dari Aisha Badru.
"Nay, kok kamu senyum-senyum sendiri, sih?"tanya Riska aneh.
"Eh, nggak kok, Ris. Aku nggak apa-apa."
"Ah, masa?" Gadis itu malah menggoda Naya dengan segala rasa penasarannya.
"Serius. Aku hanya teringat seseorang saja. Habisnya si Abil malah nyetel lagu syahdu kayak gini, sih," tukas Naya.
"Lah, kok jadi aku? Aku mah cuma nyetel lagu yang aku punya aja," ucapnya tak terima.
"Siapa-siapa, Nay? Pasti laki-laki, ya?" cecar Riska semangat. Sedang dua laki-laki di depannya hanya mendengarkan sambil sesekali menggelengkan kepalanya.
"Apa aku harus cerita?"
Riska memutar bola mata malas. "Tuh, 'kan. Kamu mah dari dulu kalau ada apa-apa pasti nggak pernah cerita ke kita. Tahu, ah. Marah, nih."
"Ih, nggak gitu. Iya-iya, deh. Aku cerita, ya."
"Nah, gitu dong."
Lalu, Naya mengambil napas sebentar dan mulai bercerita kepada tiga sahabatnya bagaimana ia bisa bertemu dengan laki-laki aneh itu untuk pertama kalinya. Namanya Damara, yang suka membeli kopi, padahal tidak suka minum kopi. Bagaimana ia dan Damara saling menunggu untuk bertemu, atau bagaimana cara ia dan Damara dipertemukan, Naya ceritakan semuanya.
"Ih, serius, Nay? Kok lucu banget, sih, kalian?" ucap Riska gemas.
"Lucu gimana? Kamu pikir nunggu itu lucu?" Kini, giliran Naya yang memutar bola mata.
"Ya lucu aja, gitu. Kalian saling nunggu, tapi nggak ketemu-ketemu. Terus, tanpa kalian sengaja, kalian bertemu lagi di Gasibu? Itu tuh lucu banget. Kok kamu bisa, sih, nemu laki-laki yang aneh kayak gitu? Tapi, suka ...."
Naya meringis, Riska tidak tahu saja bagaimana kesalnya ia menunggu untuk bertemu lagi dengan Damara. Naya tidak tahu bagaimana Riska menjadi seantusias ini. Pun, ia hanya tidak bisa memungkiri bagaimana ketidaksengajaan itu membuatnya senang karena Damara yang mungkin selama ia menunggu disembunyikan semesta, bisa ia temukan cuma-cuma.
"Tapi, ya, memang. Tidak tahu kenapa, pas aku ketemu Damara, aku merasa sangat senang aja, Ris. Padahal, aku lagi kesal-kesalnya. Dan mungkin, sekarang Damara sudah ada di Jogja duluan."
"Apa! Jadi Damara juga ke Jogja? Jangan-jangan karena ada Damara, kamu juga jadi ingin ke Jogja? Ayo ngaku!"
"Nggak, Ris. Serius. Aku baru tahu kalau dia juga pergi ke Jogja pas aku pulang dari kampus di antar Abil."
"Oh, jadi laki-laki yang kemarin itu namanya Damara?" potong Abil.
"Iya, Bil. Itu yang namanya Damara," jawab Naya
"Sekarang aku paham kenapa kamu bisa menyukainya."
"Heh!" Naya memberikan pelototan kepada Abil. "Tahu nggak, Ris? Dia nunggu aku sampai dua jam malam-malam, masa?" lanjutnya.
"Ih, romantis banget! Sip, kalian jodoh ini mah," ucap Riska semangat.
"Tuhkan, apa kataku juga," tukas Abil.
Mungkin Naya hanya tidak sadar. Bahwa malam dalam perjalanannya menuju Jogja, ia habiskan untuk bercerita mengenai apa pun yang ia ketahui tentang Damara. Ia tidak tahu mengapa, rasanya hanya menyenangkan saja menceritakan Damara kepada teman-temannya. Sial, ia jadi ingin segera bertemu dengan laki-laki itu lagi.
JOGJA. DENGAN HAL HAL MENARIK LAINNYA YANG AKAN TERTULIS DI PERJALANAN SELANJUTNYA:')
KAMU SEDANG MEMBACA
andai, jika
RomanceKita seperti gelap dan terang. Yang saling menenggak jarak, mencari-cari sebuah kepantasan antara manusia paling tidak memiliki dan dicintai. Perpisahan kita bukan milik selamanya. Namun, akan kupastikan jika selamanya adalah milik kita.