i.i. september, 2014

998 90 223
                                    


Semesta, apa pintu akan marah jika tidak ada orang yang datang dan mengetuknya lagi? Bagaimana jika pemiliknya tidak pulang-pulang? Kalau dia menangis, siapa yang akan menenangkannya? Kalau teras rumah adalah yang menyaksikan datang dan hilangnya perasaan, yang diam-diam merekam tangis dan tawa sepasang, yang tenang tahu bagaimana cara manusia tumbuh dalam cukup. Ya, hanya laki-laki itu.

Sebagaimana dua ujung paling jauh yang berpikir akan saling berpandangan saja tidak, ada suatu malam laki-laki itu melabuhkan kendaraan roda duanya pada salah satu kedai kopi di Bandung. Ia memesan segelas. Padahal tidak benar-benar menyukainya. Jika tidak salah, saat itu September masih menuliskan ceritanya di pertengahan. September yang berhaga.

"Kau tidak meminum kopinya?" tanya seorang barista setelah sepuluh menit.

"Tidak. Kurasa tidak perlu."

"Kenapa?"

"Aku tidak menyukainya."

"Dan kau membeli segelas?"

"Aku cuma mau mencium harumnya saja."

Ia tidak berbicara lagi, dan barista itu terus saja mengelap sebuah gelas sebelum decitannya berubah menjadi sebuah harmoni yang menyenangkan. Sampai ada sesuatu menarik perhatian sepasang pandangannya, seseorang masuk dan duduk di kursi tepat di kanannya. Ia adalah seorang gadis. Namun, ia tidak tahu. Kenapa dari sekian banyak tempat yang menunggu disinggahi, gadis itu memilih duduk di sebelahnya.

"Kang ... aku pesan seporsi nasi goreng dan latte, ya," ucapnya.

Sebenarnya, Damara bisa bersikap biasa saja. Damara hanya tidak bisa menyembunyikan ketidaknyamanannya jika harus duduk terlalu dekat dengan seseorang yang tidak ia kenal. Apalagi, ia adalah perempuan.

Semesta, aku tahu ini pasti ulahmu. Kamu pasti sedang merencakan sesuatu.

"Kenapa, Mas? Kok mukanya kelihatan gelisah gitu?" tanyanya.

"Aku tidak apa-apa, Mbak."

"Apa aku mengganggu jika duduk di sebelahmu?"

"Aku cuma tidak terbiasa duduk di samping orang yang tidak aku kenal."

"Tapi ini kedai."

"Ya, aku tahu. Makanya aku diam."

Damara lihat, gadis itu mulai sedikit tertawa.

"Kamu aneh," katanya.

"Kamu mengejekku?"

Gadis itu mengangguk. "Harusnya kamu senang ada gadis cantik duduk di samping laki-laki yang terlihat seperti belum mandi ini."

Sial. "Aku baru pulang bekerja. Jadi maaf kalau berkeringat."

"Tidak apa-apa. Aku suka dengan laki-laki yang tercium seperti sedang berjuang demi mendapatkan uang."

"Kamu lebih aneh."

"Tidak masalah. Jadi sekarang kita impas."

Kesal. Damara kesal sebenarnya, tetapi semesta terus berjalan tanpa pernah ia memintanya. Pun dengan segelas kopi itu yang sudah mulai dingin. Ia ingin pulang. Ia sudah harus pulang. Nalarnya sudah meminta istirahat. Namun, nuraninya bersikeras agar ia berada di sini sebentar lagi.

"Apa itu kopimu?"

"Ya."

"Terlihat seperti sudah dingin."

"Tak apa."

"Tidak kamu minum?"

"Kenapa aku harus meminumnya?"

"Karena uang yang kamu pakai buat beli kopi itu pasti akan menangis."

"Maksudmu?"

"Apa kamu tidak tahu menangis itu seperti apa?"

"Aku tahu."

"Nah, uangmu pasti menangis karena kamu gunakan untuk hal yang sia-sia."

"Seperti?"

"Membeli segelas kopi, tapi tidak kamu minum."

"Aku tidak suka kopi."

"Eh? Serius?"

Damara lihat, gadis itu kini seperti sedang menahan tawanya. Mungkin, Damara adalah laki-laki teraneh yang pernah ia temui. Setidaknya, menurut isi kepalanya. Ia memutar bola mata malas. Dengan sedikit senyum memaksa turun dari kedua sudut bibirnya, ia pikir, gadis di sebelahnya juga aneh.

"Kamu tahu?"

"Apa?"

"Hanya orang aneh yang mau berbicara dengan orang aneh."

"Tidak apa-apa. Karena dengan begitu, kamu sudah mengakui kalau kamu itu aneh." Lalu, gadis itu benar-benar menertawakan Damara.

"Sialan."

Lalu, ia lihat arloji di tangan kirinya dan mendengkus. Kali ini, ia harus benar-benar pulang. Ada semesta yang harus ia lindungi di rumahnya. Damara tidak boleh membuatnya menunggu terlalu lama. Bahkan hanya untuk sekadar membukakan pintu.

"Eh, sudah mau pulang?" tanya Gadis itu seraya melihat Damara yang sedang bersiap.

"Ya. Ini sudah malam. Besok aku harus bekerja."

"Memangnya kamu kerja apa?"

"Aku bekerja di sebuah perusahaan konsultan."

"Seorang arsitek?"

"Suatu saat nanti. Doakan saja."

Damara hendak melangkahkan kakinya. Sebelum panggilan dari gadis itu kembali membuatnya urung, barang sejenak.

"Namamu? Siapa Namamu?"

"Aku Damara."

***

September, 2014. Rintik-rintik yang jatuh itu membawa rindu dan kenangan. Petrikor adalah anak dari sebuah pertemuan. Di mana jarak adalah kemustahilan bagi kita, batas antara tanah dan langit bukanlah apa-apa. September, 2014. Ia tidak pernah membenci pemilik yang meninggalkan rumahnya. Serindu pasang dan malam, surut adalah jawaban. Dari harapan dan doa, yang tidak pernah bersembunyi dan berkhianat.

Pertemuan adalah satu berbanding semiliyar. Bahkan lebih. Jika angka saja tidak bisa memberikan kepastian, maka biarkan aku yang membuktikan. Kalau ini bukan hanya kebetulan. Kepulangan dari kita adalah hal yang paling dinantikan oleh persimpangan.




 Kepulangan dari kita adalah hal yang paling dinantikan oleh persimpangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maaf gaes, ada perbaikan sedikit pada cerita Damara hehe....

Hope you enjooooy ❤

See yaaa

Oiya, pake banner Damara lagi, ya. Yang Naya belom buat 🙈

andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang