Sialan, ia tidak tahu jika di sepanjang tahun 2014 itu akan menjadi perjalanan paling menyenangkan. Ia harus berterima kasih kepada bulan Oktober dan Gasibu. Berkatnya, ia bisa menemukan. Seorang gadis yang saat ini sedang tersenyum di depannya dengan segelas kopi dan semesta sedang menurunkan air-air kecil dari cakrawalanya.
"Tidak, aku rasa kamu lebih mengejutkan dari hantu," ucap Damara setelah ia berhasil mengendalikan dirinya lagi.
"Ih, mana ada, ya, hantu yang cantik kayak aku. Gak ada," celetuk Naya lalu duduk di samping Damara.
"Ngapain?"
"Ya, duduklah."
"Bukannya kamu sedang berlari?"
"Tidak jadi."
"Kenapa?"
"Karena aku berhasil menemukanmu di sini."
"Menemukanku? Kenapa?" tanya Damara.
"Mm ... kenapa, ya, kira-kira?" Naya sedikit mengerutkan kening. Dasar Damara. Laki-laki itu sepertinya tidak tahu basa-basi. "Apa aku harus memberi tahumu?"
"Tidak juga tidak apa-apa."
Naya tersenyum. "Ya udah, aku kasih tahu, deh. Tapi kamu jangan pundung, atuh."
"Siapa yang pundung?"
"Lah, terus kenapa itu wajah kamu makin cemberut, gitu?" ucap Naya sambil menunjuk wajah Damara yang semakin tidak bersahabat.
"Sialan."
Gadis itu sedikit menarik napas, dan mengembuskannya perlahan. Rasanya sedikit malu jika ia harus jujur dengan Damara.
"Karena sejak terakhir kali aku bertemu denganmmu, aku selalu datang ke kedai kopi itu untuk bertemu denganmu lagi. Tapi kamu tidak datang-datang. Jahat banget, gak, sih?"
"Alasannya?"
"Alasan apa?"
"Alasan kamu ingin bertemu denganku."
"Karena kamu aneh, hehehe." Naya tersenyum sambil membuang arah bola matanya ke samping.
"Hanya karena aku aneh?"
"Kamu benar-benar aneh."
Kini di antaranya sedang ada hening. Tidak tahu kenapa sepasang manusia ini tiba-tiba berhenti berbicara. Hanya saja, yang pasti semesta sedang tersenyum saat ini. Bagaimana setelah sekian lama ia menyembunyikan Damara, dan dengan tidak sengaja Naya menemukannya.
Kalau Damara, dikepalanya sedang ada permasalahan antara nalar dan nuraninya. Ia tidak tahu jika kedatangannya sedang ditunggu-tungu pulang oleh salah satu dari sekian banyak semesta yang bukan miliknya. Nalarnya sedang mengejek harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Lalu nuraninya, sedang tersenyum dan memaklumi karena ia benar-benar tidak tahu. Sebelum pada akhirnya suara Naya memecah keheningan, Damara tersadari.
"Damara."
"Ya?"
"Apa kamu tidak pernah kepikiran untuk bertemu denganku lagi?"
"Tidak."
"Jadi, cuma aku yang menanti supaya bisa bertemu denganmu lagi?"
"Ya. Tapi ...."
"Tapi apa?"
"Tapi belakangan ini kepalaku selalu dipenuhi kamu. Memangnya kamu ini siapa, sih? Bahkan aku juga tidak tahu namamu."
"Demi apa kamu belum tahu namaku?" Kemudian Naya tertawa terbahak-bahak ketika ia ingat jika ia memang belum memberi tahu namanya kepada Damara. "Sial, berarti selama ini aku menantikan orang yang sebenarnya tidak mengenalku."
"Jadi, siapa namamu? Jangan mempersulitku memikirkan orang bahkan namanya saja tidak aku tahu. Rasanya benar-benar menyebalkan."
"Namaku Naya, Damara. Tolong diingat dengan baik, ya."
***
Ketika manusia pilihan semesta untuk mendengarkan perjalannya itu tersenyum, tapak tilas terdengar sangat menyenangkan kalau diceritakan. Padahal, setiap tokoh yang ada di dalamnya pasti kesulitan. Ia tidak pernah bisa mengerti dengan cara kerja dunia. Bagaimana satu butir tangisan berubah menajadi senyuman, itu rumit sekali.
Ia tidak pernah tahu jika 2014 itu menyeretnya ke dalam sebuah putaran di mana ia belum pernah ada sebelumnya. Bagaimana rasanya mencintai, menangisi, menyesali, menyadari, makna dari segilintir perjuangan dalam serangkaian ketetapan, pertemuan kita pasti bukan untuk bercanda.
Saat itu, Oktober sedang turun hujan. Di Bandung sedang sering turun hujan. Lalu, kita lahir dari bongkahan petrikor yang harum. Wanginya tenang. Padahal ketika hujannya turun, terlihat seperti sedang buru-buru. Entah dikejar oleh apa. Hanya saja, hari baik di mana kita hadir sebagai sepasang itu benar-benar ada.
2014 adalah awal bagi dirinya untuk hidup dengan persepsi baru. Bagaimana hatinya menemukan sebuah ketetapan, pun dengan nalarnya yang tidak banyak bicara. Mungkin manusia itu sudah menemukan waktunya untuk jatuh. Entah kepada siapa dan bagaimana akhirnya nanti. Karena untuk pertama kalinya, Damara merasa kalah dan jatuh pada seorang gadis yang tidak ia ketahui apa-apanya.
"Bu, assalamu'alaikum. Damara pulang," ucapnya sambil mengetuk pintu.
Tak lama, pintu terbuka menunjukkan sosok wanita paruh baya sedang tersenyum dan menerima kepulangannya dengan lapang.
"Waalaikumsalam, Dam. Baru bisa pulang, Nak?" tanya sang ibu.
"Damara baru selesai lembur, Bu," jawabnya. Akan tetapi, laki-laki itu menjatuhkan kedua lututnya di atas lantai dan duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Tentu saja membuat sang ibu terkejut.
"Kamu kenapa, Damara? Apa kamu tidak enak badan?" Sang ibu bertanya panik.
"Tidak, Ibu. Damara tidak apa-apa."
"Berdiri, Nak."
"Tidak, Bu. Damara hanya ingin meminta doa dari Ibu."
"Doa apa, Kasep?"
"Damara ingin berjuang, Ibu. Damara ingin memenuhi keinginan Ibu."
Sang ibu paham, lalu tersenyum seraya sebelah tangannya mengusap lembut puncak kepala Damara.
"Berjuanglah, Nak. Ibu akan selalu mendoakanmu."
Gatau kenapa, part ini selalu membuat hatiku damai dan hangat.
Semoga kalian juga:')
KAMU SEDANG MEMBACA
andai, jika
Любовные романыKita seperti gelap dan terang. Yang saling menenggak jarak, mencari-cari sebuah kepantasan antara manusia paling tidak memiliki dan dicintai. Perpisahan kita bukan milik selamanya. Namun, akan kupastikan jika selamanya adalah milik kita.