ii.i. rentang kita: sisa-sisa 2014

191 36 62
                                    

Entah bagaimana semua cerita ini bisa terjadi. Manusia ini tidak pernah tahu dan mengaminkan. Hanya saja, 2014 adalah biang ketika nuraninya sudah mulai ingin berjuang, tetapi semesta tidak memberinya ruang.

Setelah pertemuan terakhirnya, bahkan ia lupa bertanya kepada semesta bagaimana caranya agar ia bisa kembali menemui seorang gadis yang selalu nalarnya agung-agungkan. Lalu pada suatu malam sesudah ia bekerja, tiba-tiba di kepalanya terbesit sebuah kepastian di mana ia harus bertepi lagi di kedai kopi itu.

Dunia masih menunjuk pukul 19.30 ketika ia sampai di sana. Damara duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Kedainya sedang cukup ramai malam ini. Namun, tidak ada Naya di sana. 

“Ah, kau akhirnya datang lagi ke sini,” sambut barista itu ketika Damara duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Kursi di depan meja bar.

“Apa aku harus datang ke sini setiap hari?” tanya Damara.

Barista itu sedikit tertawa kecil. “Tidak juga, Damara. Tidak perlu. Hanya saja kemarin gadismu selalu datang ke sini menunggumu.”

“Gadisku?”

“Iya, gadismu. Apakah ia sudah berhasil menemuimu?”

Damara terlihat sedikit bingung. Karena pikirnya, ia memang tidak memiliki seorang gadis yang ia klaim kepemilikiannya.

“Ah, maksud kau Naya?” Setelah beberapa detik, ia seakan tersadari.

“Entahlah. Aku tidak tahu namanya siapa. Tapi selama ... mungkin dua mingguan dia selalu datang ke sini dan menunggumu.”

“Ya, dia tidak sengaja berhasil menemuiku kemarin.”

“Syukurlah. Kasihan dia.”

Damara menundukkan kepalanya, lalu sedikit tersenyum. Sialan, terdengar seolah-olah seperti ia sudah mengabaikannya.

“Ceritakan kepadaku setelah kau membuatkanku sepiring nasi goreng dan latte.”

Latte? Bukannya kau tidak suka kopi?”

“Apakah latte juga kopi?”

“Ya. Tentu saja. Tapi sudah dicampur dengan susu.”

“Aku lebih suka susu.”

“Baiklah. Tak masalah. Tunggu sebentar.”

Selagi Damara menunggu, ia membuka laman Twitter-nya seperti biasa. Ia senang berlama-lama membaca unggahan yang ada di sana. Rasanya seperti kebebasan tanpa bawa-bawa perasaan.

“Silakan, Dam.”

Damara melihat barista itu sedikit terkejut. “Dari mana kau tahu namaku?”

“Apa kau sudah lupa percakapanmu dengan gadis itu? Aku mendengar semuanya. Tidak, bukan begitu. Maksdunya, tidak sengaja mendengar karena memang terdengar.”

“Lalu, siapa namamu?”

“Kau ingin tahu namaku?”

“Menurutku tidak sopan kalau kau tahu namaku, dan aku tidak tahu namamu.”

“Namaku Andri.”

Damara mengangguk. “Baiklah. Berceritalah.”

“Sialan. Kau sepertinya tidak pernah basa-basi, ya?”

“Aku hanya tidak tahu caranya.”

“Dasar aneh.”

Andri terkekeh. Kemudian, laki-laki itu sedikit bercerita tentang apa pun yang ia ketahui selama Naya selalu datang ke kedai ini kurang lebih dua minggu terakhir kemarin. Bagaimana gadis itu menunggu dengan harap-harap cemas, harus pulang dengan wajah sedikit kecewa, dan besoknya tetap seperti itu.

andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang