iv.iii. 2016, dan tahun-tahun sesudahnya

43 4 3
                                    

Banyak seharusnya perjalanan yang masih ingin kami ceritakan sebagai ajang pamer kepada semesta untuk kau dengan penuh senyum dan susah di setiap helaan napasnya. Untung saja, dahulu laki-laki itu tidak pernah takut dengan ketetapan semesta. Untung saja, dahulu laki-laki itu keras kepala menantang ketetapan semesta bersama dengan ketimpangan-ketimpangan lainnya.

Di dalam kepalanya, sedang banyak doa-doa yang tidak pernah berhenti berbicara menyemarakkan satu nama dan pertemuan mengikuti di belakangan sebelum terdengar amin dan terbang bersinar teramat terang mengalahkan cahaya rembulan yang terlihat cemerlang malam itu. Ya, semuanya adalah tentang laki-laki itu yang tidak pernah pasrah menggapai sekat yang tidak pernah bisa patah, antara bumi dan cakrawala yang memikat rasa kabur dari pelariannya.

Jalannya memang tidak mudah. Akan tetapi, ia percaya. Jika semesta bertingkah usil bukan hanya untuk tertawa. Ia adalah sebuah perwujudan paling rumit yang tidak pernah bisa manusia duga jalan keluarnya. Walau kadang-kadang lebih banyak lukanya, tetapi itu semua menyenangkan. Apalagi ketika pemilik sepasang telinga salah satu di antara kita memakna saat salah salah satu perantaranya semesta sedang bercerita.

Saat itu, 2016 sedang berjalan bersama Juli. Masih setengahnya. Lalu, Damara, laki-laki itu kini sedang menikmati waktu istirahatnya bersama Sugiri sembari melahap seporsi nasi padang yang sudah ia beli sebelumnya.

"Dam, mengenai sekolahmu, Bapak ingin sedikit bertanya," ucap Sugiri.

"Bagaimana, Pak?"

"Kau ingin sepenuhnya berkuliah atau kau ingin menjalankannya sambil bekerja?"

Damara menghentikan kegiatan makannya, lalu tersenyum."Kalau bisa, Damara ingin kuliah sambil bekerja, Pak. Kalau Damara tidak bekerja, nanti Ibu di rumah bagaimana? Damara tidak mau membiarkan Ibu kerja lagi, Pak."

"Baiklah. Kalau begitu, nanti Bapak akan cari kampus swasta yang membuka kelas karyawan jurusan arsitek."

"Eh, tidak perlu repot-repot, Pak. Biar Damara saja yang mencarinya. Bapak sudah banyak membantu Damara. Damara tidak enak,"ujar Damara sambil sedikit menundukkan kepalanya.

"Tak apa, Nak. Kan, Bapak, sudah bilang. Ini adalah hadiah dari Bapak. Kau tidak perlu khawatir tentang itu. Kau fokuslah bekerja dan persiapkan hal-hal yang perlu kau miliki untuk menunjang pendidikanmu. Menjadi arsitek tidaklah mudah. Bapak hanya membukakan jalan untukmu. Sisanya, kau sendiri yang perjuangkan mimpu."

"B-baik, Pak."

Suaranya sedikit bergetar. Tedengar jelas oleh sepasang telinga milik Sugiri.

"Nak, kau tak apa?" tanya Sugiri.

Damara tidak menjawab. Akan tetapi, satu tetes air hujan turun dari sepasang matanya. Sugiri tersenyum. Lalu, berdiri. Menghambur memeluk Damara dengan hangat.

"Naya, beruntung. Bisa bertemu lelaki tangguh sepertimu. Tak apa. Tak perlu di tahan. Menangis saja. Bapak tahu perjuanganmu tidak mudah. Gunakanlah kesempatan yang Bapak berikan kepadamu dengan sebaik-baiknya."

"Terima kasih, Pak."

Damara lalu membalas pelukan Sugiri lembut dan menangis dipundaknya. Entahlah. Laki-laki itu seolah-olah melihat mendiang Bapaknya dari Sugiri. Hatinya begitu lapang. Sial. Ia saat ini benar-benar sedang mengenang.

"Oh iya, Dam. Setelah ini, kau pulang bersama Bapak. Motormu kau tinggal saja di kantor."

***

Selama perjalanan, Damara tidak banyak bicara. Ia hanya memandangi apa pun yang ia lewati melalui kaca mobil di sampingnya. Setelah menangis di hadapan Sugiri, ia hanya merasa canggung. Jadinya ia tidak berkata apa-apa. Beberapa saat hening. Sebelum ia menyadari jika jalan yang sedari ia lewati adalah jalan menuju ke rumah Naya. Saat itu, suara Damara kembali mengudara.

"Pak, sebenarnya kita mau ke mana, ya?" tanya Damara.

Sugiri tersenyum kecil, lalu menjawab. "Sudah berapa kau tidak menemui anak perempuanku?"

Damara membulatkan matanya, terkejut. Sial, Sugiri benar-benar membuatnya kehabisan kata. Di hadapannya, saat ini Damara merasa menjadi manusia paling pengecut yang hanya mampu mengirimkan sepucuk surat.

"Kau tidak menjawabnya, Dam?"

"K-kurang lebih satu tahu, Pak."

"Wah, ternyata lama juga. Bapak kagum dengan perasaan kalian berdua yang sama sekali tidak berubah sejak saat itu. Maafkan, Bapak. Karena terlalu lama memisahkan kalian."

"Tak apa, Pak," ujar Damara pelan,"justru Damara sejak saat itu selalu berpikir dan memperbaiki diri supaya pantas berdiri di hadapan Naya."

"Kau memang laki-laki aneh. Naya mengatakan itu kepada Bapak. Kalau laki-laki lain, pasti sudah menyerah, Dam."

"D-Damara hanya sedikit keras kepala, Pak, saat itu. Jadi, Damara tidak menyerah."

"Kalau, begitu ... temuilah. Kau bebas menemui anak perempuanku sekarang. Manfaatkan sisa waktu yang kalian miliki saat ini baik-baik."

Beberapa menit kemudian, Sugiri dan Damara sampai di depan rumah. Pagarnya masih tertutup dan Sugiri hendak turun untuk membukanya. Hanya saja, dengan cepat Damara menghentikan laki-laki itu kemudian membukakan pintu gerbang rumah sehingga mobil yang dikendarai oleh Sugiri terparkir dengan rapi di carport-nya.

"Mari, Dam," ucap Sugiri sambil menutup pintu mobilnya setelah selesai diparkir. Dengan pelan, Damara mengekor di belakang Sugiri. Sampai pintu dengan rumah, dan Sugiri mengetuk pintu menunggu Naya membukakannya dari Dalam.

"Assalamu'alaikum, Nay. Bapak pulang," ucap Sugiri sedikit lantang.

"Tunggu sebentar, Pak," sahut gadis itu.

"Bapak juga bawa oleh-oleh untukmu."

Gadis itu tidak menjawab. Sesaat kemudian, samar-samar tedengar langkah kaki yang kian mendekat. Tak lama setelah itu, pintu rumah terbuka menunjukkan Naya dengan setelan santainya. Gadis itu masih tidak menyadari jika di belakang sang bapak berdiri satu persona yang selama ini selalu menjadi prioritas mimpi-mimpinya karena kepalanya tertunduk merasa jika di kakinya ia menginjak sesuatu.

Sugiri menepuk pundak Naya pelan. "Sana, temui oleh-oleh yang Bapak bawa untukmu. Bapak ingin cepat mandi dan beristirahat." Lalu ia berlalu ke dalam rumah dengan langkah tenang dan lapang.

"Halo, Nay. Aku pulang."

andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang