i.iv. kejutan: oktober pagi, 2014

292 37 77
                                    

Tidak tahu apa yang sedang ada di dalam pikiran semesta saat ini. Sampai-sampai ketika September selesai berpamitan pun, pertemuan itu masih belum juga pulang. Apa ia benar-benar lupa jalan? Jika itu karena terlalu banyak persimpangan, sialan. Seharusnya ia memberi tahu bahwa tidak ada arah yang lebih baik daripada lurus ke depan.

Sabtu pukul 1.30 dini hari, Damara sedang duduk di atas bale-bale di teras bagian belakang kantornya dekat parkiran motor. Pekerjaannya baru saja selesai beberapa menit yang lalu. Damara hanya sedang tidak bisa pulang dan tidur sekarang. Sedang di kantor sudah tidak ada siapa-siapa selain beberapa pegawai servis yang sudah lelap bermimpi. Sambil mendengarkan seluruh lagu dari album Coldplay yang bejudul A Rush of Blood to the Head, Damara sesekali bersenandung.

Come out to meet you, tell you i'm sorry

You don't know how lovely you are

Damara cepat menggelengkan kepala ketika sepenggal lirik dari lagu The Scientist tersenyum kepada telinganya. Tidak, ini pasti isi kepalanya hanya sedang ingin bercanda. Tiba-tiba saja di dalam nuraninya terbesit bagaimana cantik saat gadis tanpa nama itu tertawa mengejeknya.

"Ah, sialan! Sebenarnya aku ini kenapa, sih?"

***

Malam usang. Fajar terbilang meraba-raba di mana kaki langit berada. Jalanan yang terlihat sudah ingin memejam ini tidak akan pernah bisa tertidur. Sedang MX keluaran tahun 2013 yang ditunggangi seorang manusia itu sedang menjelajah menemui kepulangan.

Damara sengaja mengambil arah memutar menuju Simpang Dago untuk mencari tukang jualan bubur ayam di daerah Gasibu. Ketika hari libur, segala kegiatan di kantor akan diberhentikan (kecuali mereka yang mendapatkan kerja lemburan seperti Damara), sehinga tidak ada siapa-siapa yang bisa Damara mintai tolong membelikan sarapan. Sesampainya di sana, laki-laki itu memarkirkan motornya di dekat GKP Telkom. Ia kira di sepanjang jalanan yang akan ia susuri dengan berjalan kaki, ia akan menemukan tukang jual bubur ayam. Namun, yang ia jumpai hanyalah tukang lontong dan kupat tahu. Pada akhirnya, ia harus sedikit menyebrang ke teras di depan Lapang Gasibu.

Setelah mendapatkan semangkuk bubur ayam, laki-laki duduk di sekitaran tangga sebelum lapangan sambil menyantap sarapannya. Di depannya sedang banyak manusia yang sedang berlari. Entah dari apa. Akan tetapi, Gedung Sate itu masih saja terlihat gagah di matanya.

"Kira-kira, kalau sedang hari libur seperti ini, gadis itu akan ikut berlari juga tidak, ya?"

Tidak tahu saja. Lagi-lagi isi kepalanya adalah tentang gadis itu. Sejak malam terakhir melihat tawanya, gadis itu selalu memenuhi semestanya. Tidak baik. Bagi nuraninya yang sedang dalam keadaan tidak siap, ini sangat tidak baik.

"Memangnya, siapa gadis yang kamu maksud itu, Damara?"

***

Di pikirannya, manusia ini baru saja tersadari. Jika yang namanya 'nanti' pasti tidak bisa cepat-cepat datang. Pantas saja penantian itu lama sekali pulangnya. Soalnya, tidak ada yang kebetulan. Setiap senyum akan sebuah pertemuan adalah harga atas perjuangan. Meskipun nuraninya tidak bisa mengenang, yang dinanti-nanti pasti akan usang.

Pagi itu, Naya sudah siap dengan setelan olahraganya. Sebelum berangkat, gadis itu sedikit melakukan pemanasan di depan rumahnya.

"Ke Gasibu lagi, Nay?" tanya Sugiri.

"Iya, Pak. Naya mau ke gasibu. Mau olahraga."

"Kenapa nggak ke Sabuga aja, Nay, yang lapangannya lebih besar?"

Naya mengembuskan napas panjang. "Pak, Naya bukan Atlet. Lapang Sabuga itu kebesaran buat Naya olahraga."

"Bercanda, Nay," ucap Sugiri sambil terkekeh.

"Ya sudah, Pak. Naya mau berangkat aja."

"Ya sudah, kamu hati-hati, ya."

"Naya berangkat, ya, Pak. Assalamu'alaikum." Setelah menyalimi Sugiri, gadis itu segera menepi ke tepian di mana ia bisa menggapai angkutan umum.

Sejak pertemuan terakhirnya dengan Damara, kira-kira, sudah berapa lama, ya, penantiannya tidak datang-datang? Padahal, ia sangat mengunggunya. Akan tetapi, semesta seolah-olah masih menyembunyikan laki-laki itu. Padahal Naya sudah berusaha mencari, tapi tidak ketemu-ketemu.

Gadis itu mengembuskan napas panjang. Semesta, sepertinya apa pun yang berurusan denganmu pasti tidak akan berakhir mudah. Harapan-harapan itu pasti sudah dibuat tersesat. Entah tersangkut di rasi bintang mana, karena setiap malam sudah semakin pekat.

***

Sesampainya di Lapang Gasibu, Naya sedikit menarik napas lalu membuangnya sambil melakukan peregangan kecil-kecil sebelum berlari. Pikirnya, sebanyak apa pun tugas kuliah yang ia punya, tubuhnya harus tetap sehat dan rutin berolahraga. Setelah selesai, gadis itu langsung mengikuti arus dan mulai berlari mengelilingi lapangan.

Awalnya, ia tidak tahu. Jika laki-laki yang selalu ada dalam penantiannya sedang memakan semangkuk bubur di pinggir lapangan. Tidak, tidak sama sekali sebelum putaran ketiga. Dalam pelariannya, Naya tidak sengaja melihat Damara sedang makan sambil cemberut dan merutuk sendiri. Gadis itu tersenyum, lalu menghampiri Damara dengan cepat.

Semesta, kejutan macam apa lagi, ini?

Setelah penantian tanpa kepastiannya selama ini, pada akhirnya kuasa membiarkan ia bertemu dengan Damara dalam keadaan yang tidak tahu. Akan tetapi, rasanya benar-benar menyenangkan. Bagaimana debaran ini menjalar sampai ke ujung nurani, sial. Mengapa ia menjadi seantusias ini?

Namun, sebelum Naya berhasil menggapai Damara, gadis itu sedikit mendengar apa yang sedang dirutuki oleh Damara. Lihat, bahkan laki-laki itu tidak menyadari kedatangan seorang gadis cantik di hadapannya.

"Kira-kira, kalau sedang hari libur seperti ini, gadis itu akan ikut berlari juga tidak, ya?" katanya.

"Memangnya, siapa gadis yang kamu maksud itu, Damara?" tanya Naya.

Laki-laki itu membulatkan kedua matanya. Nyaris juga sesuap bubur yang ada di dalam mulutnya kembali ia semburkan jika ia tidak berhasil menahannya dan tersedak saat mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Semesta, apa-apaan ini?

Naya tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Damara yang terlalu berlebihan.

"Kenapa kamu seterkejut, itu? Memangnya aku ini hantu?" 



Entahlah, tapi aku tersenyum ketika menulis ini.
Hope you enjoy guis:')

andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang