Pacaran pt.2.

3.6K 249 31
                                    

Saat ini keduanya sedang duduk di atas motor, setelah sebelumnya mengisi bensin. Jiana mengeratkan pelukannya pada sang suami saat merasakan semilir angin dingin menyentuh kulitnya. Untung saja tadi menuruti ucapan Yoga untuk membawa jaket, jika tidak, saat ini pasti dirinya sudah meminta pulang karena kedinginan.

"Sekarang mau ke mana?"

Kepala Jiana mendekat, tidak mendengar dengan jelas apa yang Yoga katakan barusan, "Apa Mas?"

"Mau ke mana?" ulang Yoga lagi dengan suara yang lebih kencang.

"Ooh," kata Jiana sambil mengangguk, "kemana aja terserah Mas. Aku ngikut."

Yoga menghela nafasnya. Lagi-lagi terserah. Yoga sangat malas untuk berpikir saat ini. "Gak boleh terserah. Kamu yang mau main, kamu juga yang harus mikir mau main ke mana."

Jiana mengerucutkan bibirnya. Kemudian matanya bergerak ke atas, terlihat berpikir.

"Oh! Ke jembatan itu aja Mas, yang pas waktu itu mau ke rumah temen Mas."

"Yang mana?"

"Yang pas waktu aku bilang cantik banget pemandangannya kalo malem!"

Di balik helmnya, mata Yoga membola, "Itu kan jauh, Jiana!" protesnya tidak habis pikir. Sebenarnya tidak jauh-jauh sekali, sekitar tiga puluh lima menitan. Tapi jika menggunakan motor dan saat malam hari seperti ini, rasanya akan menjadi jauh, kan? Apalagi jika ke sana hanya untuk melewati jembatan yang bahkan tidak sampai lima menit.

"Engga jauh-jauh amat, kok! Kan sekarang judulnya lagi jalan-jalan!"

"Tapi-"

"Ya, Mass? Please," mohon Jiana sambil menggerak-gerakkan badahnnya pelan.

"Jangan gerak-gerak, bahaya!"

Jiana langsung diam. Tapi bukan berarti perempuan yang sekarang sedang merengut kesal itu menyerah. Untuk ukuran dirinya sering merengek meminta sesuatu kepada Yoga, ini masih bisa diatasi.

"Yaaa? Mass please, nanti aku rajin lagi nyusun skripsi."

"Dari kemaren juga kamu bilang kaya gitu terus kalau minta sesuatu. Tapi apa?"

"Ya kan itu mah gara-gara Masnya aja yang diajak bimbingan susah."

"Bukan saya yang susah, tapi kamu yang ngasih taunya gak pas! Kalau kamu kaya mahasiswa lain yang udah minta dari jauh-jauh hari, pasti saya bisa membuat jadwalnya. Tapi kamu selalu minta dua hari bahkan satu hari sebelumnya."

Jiana memutar matanya malas.

Kalau bahas skripsi aja pasti ngomelnya panjang banget, batinnya.

"Aku istri Mas!"

"Terus? Kamu tetap mahasiswa saya di kampus."

Memang salah jika teman-teman sepertimannya dalam menyusun skripsi mengandalkannya untuk mendapat free pass saat bimbingan, karena merasa mempunyai orang dalam. Kenyataanya, sekelompok dengan istri dari dosen bukannya untung, malah buntung. Kalau kata Sandi, "Lo mah gak ada gunananya, Ji! Masa kita yang setim sama istri dosen kalah sama Biru yang suka mabal?" setiap mengingat itu, rasanya Jiana hanya ingin menoyor kepalanya kuat agar tahu rasa. Padahal kan yang frustasi bukan hanya Sandi dan Dea. Dirinya juga ikut frustasi, bertanya-tanya kenapa Yoga tidak melepaskan atau setidaknya meringankannya saja.

"Udah ah, aku mah gak mau bahas skripsi. Ujung-ujungnya pasti berantem lagi!"

"Siapa yang mulai?"

Jiana berdecak kesal yang untungnya decakannya tadi itu tidak terdengar oleh Yoga. Karena jika suaminya itu mendengar, pasti dirinya akan dimarahi karena dirasa tidak sopan. Decakan adalah salah satu dari hal yang paling suaminya benci jika sedang beradu argumen.

HUSBAND Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang