14

658 55 18
                                    

Seoul di bulan Agustus memang sangat panas, termasuk hari ini saat Taehyung menyeret kopernya memasuki ruang cek-in bandara Incheon. Meski panas, tubuh Taehyung gemetar dan telapak tangannya terasa dingin. Sejak ditinggalkan Seokjin di bandara dua tahun lalu, Taehyung jadi memiliki trauma tersendiri dengan bandara. Kembali ke bandara selalu mengingatkannya kembali pada Seokjin, mengingat hari-hari ketika mereka bersama, mengingatkannya kembali pada senyum tampan dan ceria Hyung-nya, dan saat bagaimana mereka saling menguatkan.

"Kim Taehyung." Jawab Taehyung ketika petugas mencocokkan identitas di paspornya.

"Paris?" tanya petugas.

Taehyung mengangguk. Tak berapa lama, Taehyung berjalan menuju ruang tunggu. Taehyung membeli cokelat dingin di kafe yang dia lewati, kemudian duduk menghadap jendela, memandangi pesawat-pesawat yang melintas. Dua tahun sudah berlalu, tanpa kabar apapun dari Seokjin. Setelah kepergiannya, nomor Seokjin tak bisa dihubungi sama sekali, jangan bicarakan sosial media, Seokjin tak pernah punya sosial media. Seokjin seakan memang berniat menghilang sejak awal, semua sudah terencana dengan rapi.

Tak terhitung malam-malam ketika Taehyung menangis sendirian, bersepeda ke tempat rahasianya untuk berbicara pada bulan, awan, dan bintang-bintang tentang segala kesedihan yang dirasakannya. Hampir tiap hari Taehyung berangkat sekolah berputar melewati rumah Seokjin, berharap melihat mobilnya sekilas, atau ibunya yang cantik berangkat kerja. Melihat sesuatu yang berhubungan dengan Seokjin selalu membuatnya lega.

Taehyung menyeruput cokelat dinginnya lagi dengan sendu. Di tahun terakhir SMA-nya, tak terhitung malam-malam dan pagi saat Taehyung berharap Seokjin tiba-tiba membuka pintu kamar, memeluk, dan menciumnya seperti yang dia lakukan ketika ulang tahunnya dulu. Rasa dingin kembali merayapi dada dan perut Taehyung, dia merindukan Seokjin, sangat merindukan Hyung tampannya yang selalu memeluknya dengan hangat dan menciumnya lembut. Yang selalu sabar mendengarkan semua ceritanya, menenangkan kegalauannya, mengajaknya nonton film dan merengkuhnya dengan lembut.

Setelah kepergian Seokjin, Taehyung merasa segalanya jadi tak wajar dan ada satu ruang kosong dan hampa yang selalu membuatnya tak nyaman. Taehyung jadi tak bisa tidur nyenyak dan selera makannya menurun drastis, bahkan dia tidak berselera saat Yoonseok-imo membuatkan jajangmyeon favoritnya. Semua menjadi khawatir, tapi Taehyung benar-benar bersyukur memiliki orang tua seperti Appa dan Eomma yang begitu mengerti dirinya. Bergantian mereka mengajak Taehyung bicara dan melakukan hal-hal baru, mengalihkan perhatiannya dari Seokjin. Jimin, Jeongguk, Alice, Kiara, Brady, dan teman-teman sekelasnya yang lain juga begitu baik menemaninya di saat-saat rapuhnya. Jika tanpa ada orang-orang seperti mereka, pasti Taehyung sudah kehilangan arah.

Ponsel Taehyung bergetar, pesan dari Jimin.

Jimin: Safe flight, bb~

Get yourself a hot guy in Paris! Ketika aku mengunjungimu nanti, aku harus melihatmu bahagia!

Me: What a joke! Aku selalu bahagia jika bersamamu, Chim. Why don't you date me?

Jimin: Sorry babe, but you don't have dimples.

Taehyung terkekeh geli. Jimin dan Namjoon sekarang sudah tinggal bersama di Seoul setelah LDR selama setahun. Jimin melanjutkan sekolah di akademi dance kontemporer di Seoul, sementara Namjoon menjadi asisten seorang produser musik, Bang Sihyuk, bersama Yoongi dan Hoseok.

Taehyung memang benar-benar merasa bahagia bersama Jimin. Saat masih murung, Jimin mengundangnya untuk menonton resital dance berempat bersama orang tua Jimin. Dan Taehyung sangat bangga pada soulmate-nya yang benar-benar menari dengan hati sehingga membuat semua gerakan dan penampilannya sangat indah. Taehyung sesenggukan selama pertunjukan, dan membuatnya bertekad, suatu hari dia harus membuat acara seni yang indah yang bisa menyembuhkan orang yang sedang terluka batin. Maka itulah, terima kasih pada Jimin yang membuat semangatnya kembali untuk berjalan ke depan, di sinilah dia sekarang, di bandara, untuk kembali ke Paris melanjutkan sekolahnya di Paris College of Art.

We will Ship in the NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang