19. Brother and Sister

28.3K 2.8K 56
                                    

Mata lelahnya mengerjap pelan sebelum terbuka dan yang di lihat pertama kali adalah atap putih dengan aroma obat obatan yang begitu menyeruak.

Hendra memperhatikan sekitar, seketika hatinya menghangat kala mendapati anak gadisnya yang tengah duduk di sampingnya.

"Alea."

Lea yang tengah melamun tersadar begitu saja.

"udah sadar? Baguslah."

Hendra tersenyum kecut. Seperti inikah respon anaknya? Datar dan dingin.

"Mana kakak kamu?"

Lea hanya mengedikan bahunya acuh, tapi tanpa Hendra ketahui hati Lea tercubit. Pertanyaan Hendra mengingatkannya pada pertengkarannya dengan Leo beberapa hari lalu.

Lama mereka terdiam dengan Hendra yang terus menggenggam tangan kecil Lea. Selama 20 tahun lebih baru kali ini Hendra bisa menyentuh Lea. Bukan Lea yang tidak mau disentuh tapi Hendra yang seperti membuat jarak antara keduanya.

Hendra membawa tangan kecil Lea ke depan bibirnya dan menciumnya berkali kali.

"Maaf. Maaf. Maaf." Gumam Hendra di sela sela kegiatannya.

Lea menahan tangannya.

"Maafin itu gampang, tapi yang susah itu menghapus bekasnya." Kata Lea dengan nada dinginnya.

"Pulanglah nak."

Lea menggeleng.

"Ada orang lain yang lebih membutuhkan kehadiran saya. Orang lain yang ternyata itu orang asing tapi malah bisa menyayangi saya sepenuh hati."

Mata Hendra memanas, bahkan anak kandungnya sendiri seperti enggan menyebutnya ayah.

"Apa ayah seburuk itu?"

"Ya."

"Ayah minta maaf Lea, ayah tau ayah salah. Tapi ayah mohon jangan benci ayah."

"Jika bukan anda yang membuat saya bisa melihat dunia mungkin saya sudah membenci anda." Tandas Lea lalu beranjak dari duduknya, mengambil tas dan pergi namun sebelum ia membuka pintu suara Hendra menghentikan langkahnya.

"Jangan tinggalkan ayah." Lirihnya.

Lea berbalik, menatap datar wajah sendu Hendra.

"Seseorang lebih membutuhkan saya."

Lea kembali meneruskan langkahnya meninggalkan Hendra yang mulai terisak.

Hendra baru merasakan apa yang kedua anaknya pernah rasakan. Di tinggalkan oleh seseorang yang mempunya ikatan darah demi seseorang yang sama sekali tidak memiliki ikatan darah. Ternyata sesakit ini rasanya.

Kepingan kepingan memori saat Lea kecil dulu satu persatu datang dan semakin menikamnya.

"Ayah udah pulang? Tadi Lea di beliin boneka sama kakak. Kita main bareng yuk."

"Ayah liat, Lea juara satu."

"Ayah, kita jalan jalan yuk."

"Ayah besok bisa anterin Lea sekolah?"

"Ayah kakak demam."

Ayah....ayah....ayah dan ayah. Dulu Hendra sangat terganggu dengan panggilan itu tapi sekarang rasanya Hendra sangat mendambakan panggilan itu keluar dari mulut kedua anaknya.

Hendra ingin kembali ke masa lalu dan mengubahnya. Dimana ia bisa mengantar Lea ke sekolah, ia yang akan selalu bermain boneka dengan Lea, ia menginginkan momen itu semua sekarang. Jika bisa ia akan menghabiskan seumur hidupnya bersama kedua anaknya.

Hendra masih memandang pintu kamarnya sendu. Dalam hatinya masih sangat berharap jika Lea akan kembali dan menemaninya walaupun ia sendiri tau hal itu sangatlah tidak mungkin.

***

Lea mencengkeram stir mobilnya kuat kuat. Lea benci takdir ini. Ia ingin seperti kakaknya. Lea ingin bisa membenci Hendra, Lea ingin bisa tidak peduli pada Hendra tapi pada akhirnya ia tidak bisa. Rasa sayangnya pada sang ayah mengalahkan rasa bencinya. Tapi Lea tidak bisa menghindar dari sebuah rasa yang sudah lama tumbuh. Kecewa. Lea terlalu kecewa pada ayahnya.

Deringan telephon membuyarkan lamunannya.

Kakak is calling

Lea segera mengangkat panggilan itu.

"Hallo." Sapa Lea pelan karena ia tau sang kakak tengah marah.

"Hallo. Ini Lea kan?"

Kening Lea mengernyit heran. Kenapa suara perempuan? Apa kakaknya itu sudah tergolong anak durhaka hingga tuhan mengutuknya?

Bodoh!

Lea memaki dirinya sendiri.

"Iya. Ini Lea. Maaf ini siapa? Kenapa handphone kakak saya berpindah tangan?"

"Saya sekretaris baru Tuan Leo. Maaf saya lancang tapi ini gawat. Tuan Leo mabuk berat. Tolong jemput Tuan. Nanti saya shareloc."

"Otw."

Tut

Lea mematikan sambungan sepihak dan menginjak pedal gas menuju tempat sialan yang sebenar lagi akan dia hancurkan karena sudah membuat kakak kesayangannya mabuk. Lea sendiri adalah seorang gadis yang paling benci dengan pria seperti itu.

Perjalanan yang seharusnya di tempuh selama 45 menit menjadi 30 menit karena Lea yang mengendarai mobilnya seperti orang kesetanan.

Lea langsung masuk ke dalam club, ia berjalan menuju meja bar dan menemukan sang kakak yang tengah menelungkup kan wajahnya pada lipatan tangan.

"Kakak!"

Leo sama sekali tidak merespon, sedangkan gadis yang duduk di samping Leo langsung menoleh ke arah Lea.

"Kamu Alea?"

"Hooh."

"Tuan mabuk berat, saya tadi sudah melarangnya untuk minum tapi dia tetap keras kepala."

Lea menatap sebal ke arah Leo. Tanpa diduga gadis itu memukul keras kepala Leo.

"Hooh bener, kakak emang keras kepala. Nih buktikan keras banget kepalanya." Dengan kadar kepintaran yang di bawah rata-rata Lea berucap sembari mengetuk ngetuk kepala Leo berkali kali.

"Nih kepala apa batok kelapa sih? Keras bener." Gumam Lea.

Sedangkan gadis yang mengaku sebagai sekretaris Leo hanya bisa menahan tawa melihat perlakuan Lea. Kakak dan adik sama sama tidak ada yang waras.

"Eh, tolong bantuin angkat dong." Gadis itu hanya mengangguk dan mulai memapah Leo menuju mobil Lea.

Lea menatap sekali lagi wajah tampan kakaknya.

"Bunuh kakak sendiri dosa ngga sih. Baru aja kemarin kita bertengkar sekarang udah bikin gue emosi lagi."

Lea memajukan tubuhnya lagi, dan mengetok kepala Leo kali ini lebih kuat dari yang tadi.

"Dasar keras kepala!"

***

Sengaja pendek. Part setelah ini kita mulai lagi baku hantamannya.

Alea and her Stupid Widower [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang