Part 14

28 9 1
                                    

"Kay, bangun. Kita udah sampai di sekolah." Ristha menepuk pundakku pelan. Perlahan aku mulai membuka mataku. Biasanya aku yang bangun duluan, mungkin aku kecapaian.

"Iya, udah bangun."

Aku meregangkan otot-ototku. Terlihat semua siswa di bus membereskan barang-barangnya di bagasi atas. Aku pun sama, mengambil tas ku yang ada di bagasi atas. Tapi aku tak sampai, karena tubuh mungilku ini. Perlahan ada tangan yang ada di atas kepalaku sambil mengambil tasku. Aku mendongak ke atas, ternyata Marchel.

"Tumbuh itu ke atas, bukan ke samping," ledeknya sambil terkekeh. Aku mencubit lengannya.

"Panda lebih imut daripada jerapah," jawabku.

"Heh kalian ini ya baru aja gue buka mata udah disuguhi ke-uwuan kalian!" kata Ristha.

"Lah nape sih sewot mulu." Marchel menjulurkan lidahnya.

"Uwu gimana sih orang Marchel cuma bantuin nurunin tas," elakku.

"Makanya cari pacar mungkin itu efek lo lama menjomblo!" kata Faris yang tiba-tiba memunculkan kepalanya dari bangku belakang Ristha.

"Ngagetin aja lo, anjrit!" latah Ristha.

"Anak-anak silahkan kalian turun. Setelah ini kalian langsung pulang ke rumah masing-masing, ya. Langsung istirahat karena kalian pasti capek," kata Pak Warno lewat pengeras suara.

"Yuk kita turun," ajakku ke Marchel, Ristha, dan Faris.

"Sini gue bantuin bawa totebag lo," kata Marchel. Aku menyerahkan totebagku.

"Ya ampun gak ada yang mau bantuin gue apa? Gue bawa tas segede gaban gini gak ada yang bantuin," ujar Ristha.

"Lagian elo camping kayak mau pindahan rumah aja," kataku sambil terkekeh pelan.

"Noh si Faris nganggur." Marchel menunjuk Faris dengan dagunya. Ristha menoleh ke arah Faris yang ada di belakangnya.

"Apa!?"

"Ris, lo kan baik bantuin gue dong."

"Bilang, Faris ganteng banget kayak Jefri Nichol dulu."

"Dih ogah!"

"Ya udah gue turun duluan." Faris berpura-pura untuk pergi tapi Ristha menahan tangannya.

"Eh iya-iya!" Ristha mendengus sebal. "Oke gue bilang nih, Faris ganteng banget kayak Jefri Nichol!"

"Gitu dong. Mana yang mau dibawakan?" tanya Faris sambil tersenyum.

"SEMUANYA!" Ristha mendengus sebal sembari pergi meninggalkanku dan barang-barangnya. Ristha turun bus duluan. Dia hanya meraih tas ransel dan 1 tas kresek hitam berisi jajanan. Lainnya seperti tas besar berisi barang-barangnya ditinggal begitu saja, biar Faris yang membawanya.

"Lah dasar perkedel!"

Aku dan Marchel tertawa. Cukup terhibur dengan perilaku mereka. Akhirnya kami menuruni bis bersama-sama. Sampainya di lapangan kami langsung menuju parkiran sepeda. Faris sudah dijemput oleh kakaknya, sedangkan aku dan Marchel menaiki sepeda. Ristha masih menunggu jemputan di lapangan.

Aku menaruh tas besar dan ranselku di keranjang sepeda. Aku masih mengenakan jaketku karena malas melepasnya, lagipula udara di sini juga dingin. Aku dan Marchel mulai menuntun sepeda untuk keluar dari parkiran sepeda. Aku menyapa Ristha saat berada di lapangan.

"Ris, lo belum dijemput?"

"Belum nih. Mana udah sepi, gue takut," kata Ristha.

"Rumah lo mana?"

"Perumahan Flowernia jalan Lavender nomor 16. Itu loh perumahan baru belakang sekolah."

"Searah sama rumah gue kok. Lo bareng gue aja. Tapi boceng gue ya, soalnya gue capek," kataku.

"Eh beneran? Tapi tas gue ...?" tanya Rista sambil melihat 2 tas besarnya yang tergeletak di paving lapangan.

"Titip aja ke Marchel. Chel gak papa kan ya?" pintaku.

"Ya ampun, lo emang nyusahin."

"Marchel!" Aku langsung melotot kearahnya. Aku takut kalau Ristha tersinggung.

"Eh iya boleh kok. Gue taruh di bocengan belakang ya. Gue bawa talinya kok." Marchel takut denganku. Aku terkekeh pelan melihat dia menurut saja denganku. Lagi pula apa susahnya membantu?

"Makasih! Kalian memang pasangan yang cocok!"

"Itu lagi, itu lagi. Itu aja terus!" elakku. Entah kenapa saat Ristha menjodoh-jodohkanku dengan Marchel aku merasa senang sekaligus malu. Tak salah 'kan jika aku mengaminkan dalam hati?

Kami pulang bersama-sama. Aku duduk di belakang diboceng Ristha. Tak butuh waktu lama kami sampai di rumah Ristha. Namun baru saja kami berhenti tiba-tiba satpam kompleks Ristha memanggil.

"Mbak, di sini yang namanya Ristha siapa, ya?" tanya satpam yang umurnya sekitar 40 tahun itu.

"Saya, Pak. Ada apa, ya?"

"Saya mau menyampaikan pesan kalau mama kamu lagi keluar kota. Dia gak bisa kasih kabar kamu soalnya tadi hapenya lowbat. Terus dia titip kunci rumah ke saya." Pak satpam menyerahkan kunci berbandul hati ke Ristha.

"Oh gitu. Kebiasaan sih mama handphonenya lowbat. Eh makasih ya pak infonya." Ristha menerima kunci rumahnya dengan senang hati.

"Iya sama-sama kalau gitu saya pergi dulu. Mari mbak, mas."

"Mari, Pak!" jawab kami bersamaan.

"Yah mama gak ada di rumah. Pasti rumah sepi. Gue takut sendirian, Kay! Gue main ke rumah lo boleh ngga?" Aku tersentak kaget.

"Em, tapi–"

"Yayaya, please!" Bukannya dia tidak boleh main ke rumah. Tapi keadaan rumahku dipastikan tidak memungkinkan. Tapi aku juga tidak bisa menolak keinginan Ristha. Aku menoleh ke arah Marchel sebagai jawaban. Dia mengangguk meyakinkan.

"Ya udah lo ikut gue aja main ke rumah."

"Yes! Makasih, Kay!" Ristha langsung naik ke sepedaku dengan semangat. "Kay, buruan naik."

Aku mulai naik ke boncengan. Ristha menyetir sepeda sembari mendengarkan penjelasan arah rumah dariku. Dia mengayuh sepedaku dengan semangat. Berbeda denganku yang bingung memikirkan keadaan rumah. Pastinya sekarang banyak yang sedang memesan kamar. Aku takut Ristha tak nyaman berada di sana. Karena sebenarnya rumahku sekarang tak pantas disebut rumah lagi. Di sana adalah tempat yang paling berdosa yang pernah ada. Ristha menyetir sepeda sembari mendengarkan penjelasan arah rumah dariku.

"Marchel lo ikut main ke rumah gue nggak?" tanyaku yang saat berada di pertigaan gang.

"Nggak deh, Kay. Gue ngantuk sama capek. Besok aja gue main ke rumah lo."

"Yaudah, hati-hati!"

"Bye Kayla, Ristha!" Marchel langsung pergi. Aku dan Ristha memutuskan langsung pulang juga.

Sampainya di depan rumah aku bingung sendiri. Takut kalau Ristha tidak nyaman berada dirumah ku.

"Lo kenapa sih, Kay? Kayak gelisah dari tadi?" tanya Ristha.

"Emm."

"Kenapa? Jujur aja nggak papa, Kay," kata Ristha.

"Sebelum lo masuk rumah gue, gue minta maaf ya, Ris, kalo lo nggak nyaman. Dan gue minta tolong sama lo. Gue harap lo bisa rahasiain keadaan rumah gue dengan siapapun. Dan yang tau hanya lo dan Marchel aja," kataku.

"Yaudah, yuk, masuk!" Aku menggandeng pergelangan tangan Ristha. Sedangkan wajah Ristha dipenuhi dengan tanda tanya.

Save Me! (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang