"Jihoon cerita padaku, orangtua kalian meninggal karena kecelakaan pesawat?"Junkyu menutup buku catatan, pertanyaan itu keluar langsung dari mulutnya. Tanpa melihat lebih dulu kondisi mood Johyun yang sedikit terombang-ambing gara-gara gagal mendapat pekerjaan. Sudah jalan dua bulan mereka pacaran, namun ucapan 'sayang' dan 'cinta' belum pernah keluar dari bibir keduanya. Justru di sini Jihoon yang takut kalau dua temannya ini bisa saja putus dalam waktu dekat.
"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" tanya Johyun balik. Tangannya sibuk memasukkan beberapa kertas ke dalam sepuluh map yang jika dihitung kertasnya melebihi satu rim. Kertas hasil laporan milik Junkyu.
"Aku ingin mengetahui lebih banyak tentangmu. Sejauh ini kita sibuk mencari pekerjaan, bertemu seminggu sekali dan minggu berikutnya tidak sama sekali."
"Memangnya kau sudah dapat pekerjaan?" Johyun mendelik ke arah Junkyu, kemudian menghela napas saat laki-laki itu menunjukkan kartu pegawai sebagai tester pembuat laporan di bawah supervisi psikolog, walaupun Junkyu berniat untuk lanjut S2. Tetap saja Johyun merasa kalah dari pacarnya sendiri.
"Kau sudah makan? Maaf menghubungimu dadakan, aku sangat ingin melihatmu sekarang." Junkyu menarik pelan kursi putar yang Johyun duduki mendekat ke arahnya.
"Traktir aku.."
"Oke kalau itu maumu.."
Laki-laki dengan tinggi 178cm itu membuka kulkas kecilnya mengeluarkan sekotak susu lalu diberikannya pada Johyun.
"Aku keluar sebentar, tunggu di sini jangan ke mana mana."
"Aku mau ayam!" teriak Johyun setelah Junkyu menutup pintu rumah.
Masih di rumah tua yang dulu, sesuatu yang membedakannya yaitu rak-rak buku sudah disingkirkan dan dijadikan kamar tidur. Saat ini Johyun berada di kamar Junkyu, pertama kalinya meskipun dulu yang dia lihat terakhir kali sebelum ruangan itu di renovasi adalah kumpulan buku.
Tumpukan laporan memenuhi meja kerja Junkyu seolah tidak bisa menampung topangan tangan Johyun ketika gadis itu ingin tidur sejenak. Jujur saja, dia tidak berani mengacak kasur yang sangat rapi itu. Bahkan pertama kali menginjak kamar Junkyu, Johyun berkali-kali memastikan kakinya bersih dan tubuhnya tidak berkeringat.
Johyun mendaratkan kepalanya di kasur sedangkan bagian tubuh bawahnya tergeletak begitu saja di lantai. Matanya terpejam cukup lama namun tidak ada suara apapun yang bisa membangunkannya. Maksudnya begini, Junkyu belum pulang dan laki-laki itu tidak bawa ponsel.
"Pantas saja slow respon. Memang sudah kebiasaan, komunikasi bukan segalanya bagi Junkyu. Kenapa kami bisa bertahan selama ini?"
Tepat setelah Johyun memejamkan matanya kembali, pintu kamar terbuka.
"Maaf, tadi ada sesuatu yang mendesak."
"Enaknya yang sudah bekerja punya sesuatu yang harus diprioritaskan," ucap Johyun tanpa membuka mata.
Junkyu tersenyum kecil, ia duduk di lantai. Keberadaan bahu lebar Junkyu menjadi sinyal bagi otak Johyun untuk menaruh kepalanya di bahu tersebut.
"Kenapa tidak jadi jurnalis arkeologi? Atau masih bersikeras jadi penjaga museum?"
"Bukan penjaga!" Johyun membuka matanya, mendapati potongan ayam bewarna keemasan dengan kepulan uap yang menggoda.
"Aku juga ingin membantumu, tapi aku tidak tahu pekerjaan apa yang cocok untukmu."
Johyun tersenyum disela mengunyah ayamnya, "aku ingin bekerja di media terkenal National Geographic."
"Itu terlalu sulit. Mulai dari hal dasar saja, jadi jurnalis arkeologi terus kalau ada biaya keliling dunia meneliti fosil-fosil."
"Yang kau bilang hal dasar itu bukan hal dasar namanya. Hal paling mendasar dari jurnalis itu jadi penulis blog."
"Itu maksudku," jelas Junkyu mengakhiri perdebatan mereka.
Hening, mereka tidak terbiasa dengan suasana yang sangat hening. Biasanya mereka bertemu di luar, meskipun tidak bicara sama sekali setidaknya suara kendaraan yang mengisi kekosongan komunikasi langsung keduanya. Dan sekarang tampak berbeda semenjak Johyun menaruh sepasang sumpit yang digunakan untuk mencapit ayam, hening yang sedikit mengkhawatirkan.
"Junkyu, kau pernah pacaran sebelumnya?" tanya Johyun.
"Kau yang pertama."
"Aku bingung apa yang harus dilakukan sepasang kekasih ketika berduaan seperti sekarang."
"Kau bingung, aku sama sekali tidak tahu."
Johyun merubah posisi duduknya menghadap Junkyu yang menatap lurus ke depan.
"Jihoon bilang kita bisa putus kapan saja. Kau ada niat seperti itu?"
"Tidak. Kalau bisa jangan sampai putus."
"Kalau aku buat kau marah dan minta putus saat ini juga, bagaimana?"
"Aku tidak bisa marah padamu."
Johyun menganggukkan kepalanya, Junkyu memang tidak pernah marah. Bicara dalam nada tinggi juga tidak pernah, tapi yang Johyun takutkan adalah marahnya orang sabar damage nya lebih-lebih orang pemarah.
"Jangan bahas yang belum pasti, hyun. Secara mental, itu cukup bikin tertekan. Bukan untukku, perempuan cenderung menggunakan perasaan untuk menyatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Aku tidak mau kau berpikiran kalau marahnya aku bisa membuat hubungan kita berakhir."
"Bukan, bukan begitu."
"Oke, aku mengerti. Maksudmu.." Junkyu menggantung kalimatnya, "kau merasa bosan dan hampa saat bersamaku, kan?"
Junkyu mengangguk pelan membenarkan tebakannya sendiri, "tidak ada yang bisa disalahkan, kita pacaran tanpa rasa sayang. Kita hanya tertarik dan berbagi perhatian selama ini. Tapi, rasa ingin putus itu sama sekali tidak ada."
"Syukurlah, aku terlalu terbebani oleh kekhawatiran Jihoon."
"Kau tahu? Kesempatan pertama tidak bisa aku hilangkan begitu saja, di dunia ini aku hanya hidup sendiri, kau juga. Meskipun kita masih ada keluarga jauh, tetap saja kita terhitung sebagai individu tanpa orangtua. Latar belakang kita menyedihkan, tetapi ketika kita berdua bersama kesedihan itu menjadi kebahagiaan. Apa yang sedang kita perjuangkan itu adalah kebahagiaan. Untuk urusan di masa depan aku serahkan semuanya pada Tuhan."
Johyun tersenyum diam-diam menatap lurus ke luar jendela. Ia tahu Junkyu sedang menatapnya lekat-lekat. Gadis itu tahu Junkyu tidak ingin kehilangan kebahagiaannya lagi. Meskipun mereka masih dalam tahap mencintai satu sama lain.
"Entahlah, akhir-akhir ini aku menyukai suaramu," puji Junkyu.
"Kau tahu aku tidak terlalu sering bergaul dengan perempuan. Lucunya, aku punya pacar sekarang, haha.." lanjutnya.
"Kau pikir aku mudah bergaul dengan laki-laki? Jihoon saja sudah cukup bagiku, aku tidak mau bertemu jihoon jihoon yang lain."
"Kalau Junkyu yang lain?" tanyanya asal.
"Lima hari bersama Junkyu atau lima orang Junkyu?"
"Kau cerewet sekali hari ini," balas Johyun jengah.
"Ayo jawab."
"Cukup satu Junkyu," jawab Johyun sambil mengulas senyum tipisnya.
Dua orang yang tidak berpengalaman dalam urusan cinta, sulit mendefinisikan rasa apa yang sedang mereka alami. Mereka bahagia, terkadang hampa dan bosan, kemudian rasa apa lagi yang muncul dalam benak masing-masing?
Strawberry?
Kisah mereka terlalu manis dan asam, masih terlalu abu-abu tapi status hubungan mereka terlalu nyata untuk disebut abu-abu.
©joaapark
KAMU SEDANG MEMBACA
HOLD | Kim Junkyu [TREASURE] ✔️
Short StoryMereka memulai hubungan tanpa rasa sayang melainkan dengan rasa suka yang tidak dapat didefinisikan baca HUG dulu ya biar paham ©joaapark