"Kamu naik aja ke atas, kamar kamu di depan kamar Mayang. Abang habis ini ada urusan, dan selama dua hari kedepan gak bisa di rumah, jadi Abang titip Mayang, ya, Fal?" ujar Ayah Mayang pada Adiknya.
Naufal mengangguk, "gak ikut makan malam bareng dulu, Bang?"
Desahan pelan terdengar dari mulut Ayah Mayang, "sayang banget gak bisa, Abang harus cepet-cepet, karena harusnya dari jam 3 tadi Abang sudah berangkat."
Suara langkah kaki terdengar menghampiri sosok pria 38 tahun itu, "pergi lagi?" Mayang berdiri menatap sang Ayah dengan kesal.
Bima menatap wajah putrinya dengan raut menyesal yang sangat kentara, "Maaf, Mayang. Kali ini cuma 2 hari kok, Ayah janji pulang nanti bawa banyak oleh-oleh buat kamu."
Mendengus, Mayang memilih untuk meraih tangan kanan Bima dan menyalimi ayahnya, kemudian ia melangkah menuju dapur tanpa berkata-kata lagi.
Bima beralih menatap Adiknya yang masih berdiri di sampingnya, "Abang berangkat, tolong jaga Mayang, ya?"
Setelah mendengar persetujuan Naufal, Ayah Mayang melenggang pergi untuk urusan pekerjaannya.
Naufal melangkah menuju lantai dua tempat kamarnya berada setelah suara mobil sang kakak sudah tak lagi terdengar, ia berniat mandi dan bersiap untuk makan malam.
***
Mayang menatap pintu kamar di depannya dengan ragu, ketuk gak ya enaknya? Batinnya.
Setelah menimang-nimang, ia memutuskan untuk mengetuk pintu itu dan mengajak Pamannya untuk makan malam, "Om, makan malamnya udah siap. Om Fal mau makan bareng aku atau mau aku bawain makanannya ke sini?"
Alih-alih mendengar jawaban Pamannya, ia malah mendapati pintu kamar Naufal terbuka dan menampilkan wajah sang Paman yang nampak lebih segar.
"Ayo turun, kita makan bareng," ucap Naufal tersenyum hangat sambil meraih tangan kanan Mayang untuk menggandengnya menuruni tangga menuju ruang makan.
Mayang yang kaget karena genggaman tangan Pamannya itu hanya mengerjapkan matanya cepat, namun tak urung ia mengikuti langkah sang Paman.
Mereka pun duduk berhadapan di meja makan. Naufal menatap makanan di hadapannya masih dengan tersenyum. Ada Ayam goreng dan sambal matah di atas cobek, serta nasi hangat yang uapnya masih mengepul. Sederhana, tapi entah kenapa membuat Naufal tak bisa melunturkan senyum di bibirnya.
"Kamu yang masak?" tanyanya.
Gadis di depannya itu mengangguk, "maaf cuma ini ya, Om, Mayang gak bisa masak aneh-aneh. Cuma bisa goreng-goreng doang."
Melihat keponakannya memasang wajah dengan cengiran lebar, sontak membuat Naufal terkekeh pelan.
"Gak apa-apa, kelihatannya sambel kamu enak, jadi gak sabar cicipin. Ayo makan."
Kemudian Naufal dan Mayang makan dengan hikmat tanpa ada suara obrolan keluar dari mulut mereka.
Mayang nampak selesai dengan kegiatan makannya, diikuti dengan Naufal yang meneguk air di gelas pertanda ia telah mengakhiri acara makannya. Mayang mengambil piring-piring kotor yang ada di meja makan, kemudian kembawanya untuk dicuci.
"Biar Mayang cuci, Om."
Naufal mengangguk, "makasih."
Mayang hanya tersenyum menanggapi itu, ia masih belum terbiasa tinggal bersama orang dewasa selain Ayahnya, maka dari itu ia masih sedikit canggung jika berhadapan dengan Naufal. Pasalnya, ia juga sebelumnya memang jarang bertemu dengan pamannya itu, selain karena Ayahnya itu sibuk dan ia yang malas ke mana-mana, pamannya itu juga merupakan orang sibuk seperti Ayahnya, jadi maklum saja.
Setelah piring-piring tertata rapih di raknya, Mayang mengeringkan tangannya dan berjalan menuju meja makan yang nampaknya Pamannya masih belum beranjak dari sana dan terus menatapnya.
"Kenapa, Om?" Ia bertanya karena Naufal terus menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
Menggeleng pelan, Naufal menjawab pertanyaan Mayang, "gak apa-apa,"
"Kamu sekarang kelas berapa?" lanjut Naufal bertanya.
"Kelas 11 SMK, Om, jurusan Seni Musik."
"Umur 17 tahun 'kan, ya?"
Anggukan pun menjadi jawaban Mayang atas pertanyaan Naufal. Mayang hanya bisa terpaku menatap Naufal yang masih setia tersenyum padanya. Senyuman itu, membuat Mayang merasakan perasaan aneh yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Ada apa dengan Naufal dan senyumnya itu?
"Om Fal jangan senyum terus dong..." ucap Mayang lirih sambik menatap meja makan di bawahnya.
Naufal mengernyit, "hm? Memangnya kenapa? Senyum Om serem, ya? Jelek?"
Masih tak mau menatap Pamannya, Mayang mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada meja kayu itu.
"Bukan gitu..."
"Terus?"
"Gak tau ah." Mayang beranjak dari sana dan berjalan menuju kamarnya dengan langkah yang tergesa-gesa, kemudian ia menutup pintu kamarnya dengan keras.
Naufal menatap kepergian Mayang dengan tersenyum geli melihat tingkah keponakannya yang menggemaskan, ia tau Mayang tengah malu dan berupaya menyembunyikannya dengan terus menunduk.
Hei, ia bahkan tak melakukan apapun, hanya tersenyum dan gadis itu malu? Rasanya Naufal ingin mengecup pipi Mayang yang memerah lantaran terlalu gemas dengan gadis itu, sayangnya Mayang malah kabur.
Sedangkan di balik pintu kamarnya, Mayang tengah mengetuk-ngetuk keningnya dengan kesal. "Astaga gua tadi ngapain sih? Ih kenapa juga Om Fal malah senyum-senyum gitu? Gak tau apa kalo senyumnya bikin salting? Duh, gak boleh baper, Mayang, dia itu Om lo." Gerutunya pada diri sendiri sambil berkacak pinggang.
Mayang juga merasa aneh pada Pamannya itu. Naufal baru saja berduka karena kehilangan istrinya, tapi kenapa ia masih bisa tersenyum sehangat itu pada Mayang? Adik dari Ayah Mayang itu seolah lupa bahwa ia baru saja berduka. Aneh memang.
***
Thanks for reading, guys...
Vote+komen Sak karepmu(Senin, 21 Desember 2020)
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncle And Love [21+]
DiversosWARNING! 21+ Menikah karena hutang budi, itu adalah yang selama ini ia jalani bersama Diva, istrinya. Tak ada cinta di antara keduanya, dan Naufal juga telah melabuhkan hatinya pada perempuan lain sejak lama. Walau begitu, ia dan istrinya tetap menj...