Part 12 : Hati Adellia

27.7K 2K 147
                                    

Hellawwww
Welcome back gaisss....

Maaf baru sempet Up😁

Cuss lah.. happy reading🥰😙

Malam semakin larut, Adellia masih belum bisa memejamkan kedua matanya, air mata seolah tak henti-hentinya merembes dari sudut mata belonya yang kini nampak sembap.

Ia tak ingin berada disituasi seperti ini, bahkan Adellia menjamin tak ada satu orang pun yang mau berada di posisinya saat ini.

Hubungannya dengan Justin semakin tak tentu arah, semakin hari semakin terasa asing dan jauh. Adellia pesimis, rasanya tak mungkin pernikahannya berlangsung lama jika begini terus.

Dirinya dan Justin bak kubu magnet sama yang tak dapat disatukan.

Disatu sisi ia menolak Bulan, namun disisi lain..

Tak dapat Adellia pungkiri, ia pun tumbuh dalam kasih sayang seorang ibu tiri. Adellia pun tak dapat memungkiri bahwa sisi hatinya yang lain terketuk untuk menerima Bulan sebagai anak sambungnya. Membesarkan dan mengasuh Bulan sama seperti apa yang bundanya lakukan padanya.

Namun Adellia sadar, semua ini tak akan mudah. Ia bukan tipikal orang pemaaf, setiap kali ia melihat Bulan ia selalu teringat dengan semua kebohongan dan kebusukan Justin.

Andai..
Andai Justin jujur sejak awal.

Disisi lain, Justin dalam posisi tidur sambil memeluk selimut Bulan kini nampak menitikan air matanya. Ia lemah.

Ia ingin egois untuk mendapatkan Bulan dan bertahan dengan Adellia, menepaki biduk rumah tangga hingga ajal memisahkan mereka.

Membesarkan Bulan bersama Adellia, memberikan banyak adik untuk Bulan. Menjalani semuanya seolah-olah mereka adalah keluarga harmonis pada umumnya.

Namun sayang, itu hanya terjadi dalam angan-angannya.

"Mi.. Justin nggak akan bisa dan nggak aka mau memilih antara Adell atau Bulan."

Adeliya yang sejujurnya tak tega memisahkan anak dengan cucunya itu berusaha nampak tegas.

"Mami tidak menyuruh kamu memilih J! Ini keputusan mami! Mami akan kirim Bulan ke Jogja untuk tinggal bersama pengasuhnya disana."

Justin sontak berdiri dari posisi berlututnya.

"Justin nggak akan biarkan itu terjadi!"

Adeliya tak gentar "oh silahkan! Lakukan apapun yang kamu mau! Mami juga bisa bertindak lebih kejam! Kamu tau itu J. Mami nggak pernah main-main dengan ucapan mami."

Pada akhirnya Justin mengalah.

Ia bagaikan orang bodoh tanpa kuasa apapun dalam tekanan orangtuanya dan keluarga Adelliya.

Malam itu juga Bulan dikirim ke Yogyakarta.

Pagi menjelang.

Meski hubungan mereka tidak baik, Justin dan Adellia tetap sarapan bersama.

Dalam keadaan sunyi mereka menyantap nasi goreng seafood buatan Adellia.

"Setelah ini ada yang ingin saya bicarakan." Ujar Justin formal selepas melahap suapan terakhir nasi goreng itu.

Adellia mendongak, untuk beberapa detik ia menatap Justin. Ada nyeri yang tak terdefinisikan menyelinap masuk ke hatinya.

Gadis itu mengangguk "uncle bisa ngomong sekarang."

Justin mengambil nafas, ini adalah hari ketiga selepas Bulan pindah ke Jogja.

"Keadaan anak saya belum membaik. Dia masih demam dan terus menangis. Siang ini saya akan berangkat ke Jogja."

Adellia belum memberika reaksi apapun, bohong kalau ia tidak khawatir.

"Saya tidak sedang meminta izin. Dengan atau tanpa izin kamu, saya akan tetap berangkat." Ujar Justin menatap Adellia lurus.

Pikiran pria itu benar-benar sedang kacau.

Sesaat keduanya sama-sama terdiam.

"Ad---

"Aku ikut. Aku siap-siap sekarang" Pungkas Adellia beranjak dari kursinya.

Ini spontan keluar dari mulut Adellia.

Ingatan Adellia meluncur kala dirinya berusia empat tahun.

Kala itu dirinya merasakan kesakitan, badannya terasa sangat panas.

Tak ada satu orang pun disisinya kecuali pengasuh.

Itu menyakitkan.. ia mencari daddy-nya tapi kala itu Bram sedang bekerja, sedangkan ia kala itu tak mengenal mommynya.

Sisi kemanusiaan Adellia tak membiarkan ada anak lain yang merasakan kesakitan itu, meski masih terlalu kecil untuk Bulan dapat mengerti.

Justin duduk di ruang tamu sambil memandangi foto yang baru saja pengasuh Bulan kirim, gadis kecilnya sedang tertidur dengab hidung memerah dan bekas lelehan air mata.

Itu menyakiti hati Justin. Ia merasa tak berguna.

Adellia turun dari tangga dengan setelan kaos v neck hitam dan celana kulot bermotif batik "Ayo berangkat. Kita ke kantor daddy, aku sudah mengutus orang untuk mengurus penerbangan kita ke Jogja sekarang." Ujar gadis itu sembari mengenakan kacamata hitamnya melewati Justin begitu saja.

Justin mengikuti langkah Adellia, keduanya tiba di depan pintu utama bersamaan dengan kedatangan Ares, asisten Justin.

"Selamat pagi Pak, Bu."

"Kami sedang buru-buru. Om Ares kalau mau ngobrol sama uncle nanti aja." Ujar Adellia mendongak menatap Ares yang tinggi menjulang dihadapannya.

Ares menundukkan pandangannya.

"Saya hanya mau menginformasikan kepada Bapak kalau jet kantor sedang dalam proses pengechek-an rutin. Sor--

"Cancel saja, saya akan berangkat bersama istri saya." Titah Justin.

Yogyakarta

Sebuah rumah sederhana yang cukup luas dengan suasana rimbun dan asri, lengkap dengan berbagai macam bunga dan kolam ikan sukses membuat Adellia merasa nyaman seketika.

Dirumah ini lah Bulan tinggal bersama dua orang pengasuh, ART dan seorang satpam sekaligus tukang kebun.

"Kamu bisa istirahat di kamar ini. Saya ada di kamar Bulan, kalau kamu butuh sesuatu katakan saja." Terang Justin sembari menatap Adellia.

Gadis itu menggeleng.

"Kita nginep?"

Justin berbalik lagi, dan menatap Adellia.

"Beri saya waktu dua jam, setelah itu kalau kamu mau pulang, kita pulang."

Adellia menghela nafasnya sambil menutup mata kala Justin keluar dari kamarnya, gadis itu membanting tubuhnya ke kasur.

"Semoga gue bisa bertahan."

Cuttt

          Cuttt
Cuttt

Uncle's Little Wife [END/COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang