10. Kedai kopi

491 33 0
                                    

Happy reading ....

.

.

Seminggu telah berlalu, hari kembali pada tanggal yang biasa dicetak dengan tinta merah di kalender, hari Minggu. Hari di mana orang-orang akan menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang, atau hanya sekedar bermalas-malasan saja. Tapi, tidak sedikit pula orang-orang akan tetap bekerja, untuk mendapatkan rupiah agar bisa makan. Hidup memang keras, kalau tidak berusaha, maka kelaparan akan melanda.

Hari ini rencananya Bulan akan ke kedai kopi milik Fajar. Entahlah, ia hanya ingin ke sana. Sekedar mencari suasana berbeda untuk mengerjakan tugas. Bulan merasa bosan jika mengerjakan tugas di kamar terus.

Tugas kampus yang sedikit menumpuk membuat kepala Bulan sedikit pusing. Dan untungnya ia tidak malas untuk mengerjakannya, jadi ia tidak akan kelabakan ketika tugas itu sudah harus dikumpulkan atau dipresentasikan.

"Hari ini mau kemana, Sayang?" tanya sang bunda saat Bulan bantu-bantu di dapur. Gadis itu memang cukup mahir jika menyangkut pekerjaan rumah, termasuk memasak. Ia pun tak segan untuk membersihkan rumah, walau ada ART yang siap melakukan itu. Tapi, ia ingin belajar terbiasa dengan pekerjaan rumah. Ia tidak ingin nanti ketika ia menikah, ia tidak bisa untuk sekedar membersihkan rumah.

"Rencananya Bulan mau ke kedainya Fajar, Bun. Tapi, nanti agak siangan. Sekalian mau buat tugas juga." Bulan mengaduk nasi goreng yang dibuatnya, sedangkan sang bunda, tengah menggoreng telur untuk pelengkap nasi goreng.

"Ngomong-ngomong gimana keadaan papanya Fajar?" tanya Kirana ––bunda Bulan–– saat mendengar nama Fajar disebut. Beliau jadi teringat dengan papa lelaki itu yang tengah sakit. Bunda dan ayah Bulan memang sudah menjenguk calon besannya itu sehari setelah kepulangan mereka dari luar kota. Tapi, setelah itu ia tidak sempat menanyakan kondisi Fathan lagi, karena kesibukannya di toko.

"Udah jauh lebih baik, Bun. Tapi, Fajar masih ngelarang papa buat kerja lagi. Dia takut papanya kambuh," jawab Bulan.

Fathan memang sudah keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu. Keadaanya sudah jauh lebih baik, seperti apa yang dikatakan oleh Bulan. Pria paruh baya itu kini dalam masa pemulihan di rumah, karena larangan sang putra ––Fajar–– untuk kembali bekerja. Padahal, ia sudah sangat bosan berdiam seperti itu. Namun, apalah daya. Putranya itu sangat kekeh melarangnya.

"Fajar pasti khawatir, Lan. Apalagi anak itu masih trauma sama sakit kanker." Kirana mematikan kompor karena telah selesai menggoreng telur. Sekarang hanya perlu menunggu nasi gorengnya matang, dan mereka bisa sarapan.

"Iya, sih, Bun," setuju Bulan. Gadis itu jadi berpikir, pasti sangat berat menjadi Fajar. Walau di luar terlihat biasa-biasa saja, pasti di dalam hatinya ia sedang kacau. Laki-laki itu memang hebat menyembunyikan perasaannya.

"Pagi Bundanya Delvin!" sapa seorang lelaki berkaus putih yang dipadukan celana hitam pendek. Dia Delvin, kakak Bulan. Lelaki itu sedang libur kuliah, dan hari Rabu besok baru akan kembali ke Bandung.

Delvin mencium pipi bundanya dengan sayang. Sudah lama ia tidak seperti ini. Sebab hampir sebulan dirinya tidak pulang, karena kesibukan kuliah dan membantu pekerjaan di kantor ayahnya.

"Bulan nggak disapa, nih?" tanya Bulan pura-pura merajuk.

Delvin terkekeh. "Pagi adik kesayangannya Abang Delvin!" Delvin menghampiri adiknya dan mengacak-acak rambut Bulan yang diikat satu itu.

"Berantakan, Bang!" Bulan menatap kakaknya kesal. Kakaknya ini memang suka sekali membuat rambutnya berantakan.

"Nggak pa-pa. Lo masih cantik kok. Kalau nggak cantik lo pasti udah diputusin sama si Fajar." Delvin terkekeh melihat Bulan yang semakin kesal. Senang rasanya ia bisa menjahili adiknya seperti ini. Karena ini adalah caranya untuk menyalurkan betapa besarnya ia menyayangi Bulan. Adik satu-satunya yang harus ia jaga, sampai ada seseorang yang suatu saat nanti akan membahagiakan Bulan, dan menjadikannya pendamping hidup.

Good Bye Backstreet [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang