20. Koma

464 21 0
                                    

Happy reading ....

.

.

Fajar berlari di lorong rumah sakit tempat Bulan dirawat. Ia berusaha menahan tangis dan rasa khawatirnya yang begitu dalam. Tadi, saat Irfan meneleponnya dan mengatakan kalau Bulan kecelakaan, Fajar seakan bermimpi. Ia bahkan mengatai Irfan nge-prank dirinya. Ia tidak percaya kalau Bulan-nya kecelakaan.

Kaki lelaki itu berhenti melangkah, saat melihat orangtua Bulan, kedua sahabatnya, dan kedua sahabat Bulan  di depan ruang UGD, dengan raut wajah yang tegang. Dengan perlahan lelaki itu berjalan mendekat.

"Ayah, Bunda," panggil Fajar pelan. Membuat keenam orang yang ada di sana menoleh ke arah Fajar.

"Fajar," gumam mereka pelan.

"Bulan gimana?" Fajar melirik ke arah pintu UGD yang masih tertutup rapat. "Dia baik-baik aja, 'kan?"

"Jar, Bulan masih ditangani dokter. Kamu berdo'a, ya, supaya dia baik-baik aja." Riko menjawab sembari tetap duduk di samping Kirana yang masih belum tenang.

"Ini salah Fajar, Yah, Bun. Seharusnya Fajar jemput Bulan sebelum ke kantor tadi. Kalau saja Fajar nyempetin waktu. Mungkin ... mungkin Bulan nggak kayak gini," kata Fajar menundukkan kepalanya, dan berlutut di depan kedua orangtua Bulan. Fajar menangis.

"Fajar ... ini bukan salah kamu, Nak. Ini udah takdir Tuhan. Kita semua nggak ada yang ingin seperti ini. Kamu jangan nyalahin diri kamu sendiri. Kamu harus kuat demi Bulan, ya?" Kirana memegang bahu pemuda itu dan menyuruhnya berdiri. 

Fajar menurut. Lelaki muda berkemeja putih tulang itu duduk di samping Kirana. "Tapi, Fajar nggak bisa jaga Bulan, Bun."

"Jar ... ini bukan salah lo. Lo emang tahu bakal kayak gini? Enggak, 'kan? Apa lo berpikir dengan adanya lo Bulan nggak bisa kecelakaan? Nggak, Jar! Ini udah takdir Tuhan yang nggak bisa dihindari. Ikhlas, Jar. Lo harus ikhlas." Bobi yang melihat Fajar terus menyalahkan dirinya sendiri jadi kesal. Ini bukan salah Fajar. Tapi, ini sudah menjadi garis takdir dari Sang Maha Kuasa.

"Tap–"

Pintu ruang UGD terbuka, membuat Fajar yang ingin membalas ucapan Bobi terhenti. Ia berdiri diikuti oleh semua yang ada di sana.

"Dok, gimana keadaan anak saya?" tanya Riko lebih dulu.

"Begini, Pak. Anak Bapak mengalami benturan yang cukup keras di kepalanya, menimbulkan pendarahan di bagian otak. Maka dari itu, kami tim dokter akan melakukan operasi, agar pendarahannya tidak semakin parah dan berakibat fatal. Selain itu, lengan kanan pasien juga patah, karena sepertinya pasien jatuh dengan posisi menyamping," jelas dokter itu dengan name tag dr. Septian Anugraha.

Hancur. Kata itulah yang menggambarkan keadaan ketujuh orang yang berarti dalam hidup Bulan itu. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya bulan. Terlebih gadis berusia 20 tahun itu harus di operasi pada bagian kepala. Mereka merasa ngeri mendengar hal itu.

"Lakukan yang terbaik untuk putri saya, dok," ucap Riko dengan muka memohon.

"Kami akan melakukan yang terbaik, Pak," jawab dokter itu. "Kalau begitu saya permisi, Pak, Bu, semuanya. Saya  harus menyiapkan operasi untuk Bulan."

"Iya, dok. Terima kasih," jawab Riko.

***

Seorang lelaki berpakaian serba hitam memasuki sebuah rumah berlantai dua, setelah memarkirkan mobilnya di garasi. Ia melepas masker dan topi yang ia pakai, ketika dirinya sampai di ruang tamu. Di sana sudah ada seorang gadis tengah menunggunya, sembari memainkan ponsel berwarna pink.

Good Bye Backstreet [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang