19. Bulan Kecelakaan

454 21 0
                                    

Happy reading ....

.

.

"Lo yakin, Gal? Kita udah siapin rencana kemarin dengan baik, loh! Dan lo ... lo mau main ubah aja, gitu?!" tanya Hanna tak percaya dengan perkataan Gallen yang duduk di depannya. Gadis itu memejamkan matanya untuk mengurangi luapan emosi yang hampir menguasainya. Astaga! Hanna tidak habis pikir dengan lelaki ini. Bagaimana bisa ia mengubah rencana mereka untuk balas dendam pada Bulan dan Fajar? Apakah Gallen tidak tahu kalau Hanna sudah menyiapkan rencana ini dengan begitu baik?

"Han!" panggil Gallen tegas. Ia menatap Hanna yang masih memejamkan mata itu, membuat gadis itu perlahan membuka matanya.

"Gue tahu lo kecewa karena gue ubah rencana kita gitu aja. Tapi, gue udah pikirin ini matang-matang. Lo tahu 'kan kalau Bulan itu susah gue deketin?" Hanna mengangguk sebagai balasan.

"Itu alasan kenapa gue ubah rencana. Kalau kita terus pakai rencana itu, di mana gue harus deketin Bulan lebih dulu. Sampai monyet bertelur juga nggak bakal mau dia kenalan sama gue. Dia itu tipe cewek setia. Kalau udah punya cowok, dia gak bakal buka celah buat cowok lain masuk ke kehidupan dia. Makanya enggak ada gunanya kita bertahan pada rencana itu. Tapi, lo nggak usah khawatir. Gue yakin rencana ini bakal berhasil. Dan kita sama-sama mendapatkan apa yang kita inginkan," jelas Gallen dengan senyuman iblis menghiasi wajahnya.

"Tapi, kalau kita masuk penjara gimana?" Jujur ini yang Hanna takutkan dari rencana Gallen. Ia masih muda. Bagaimana nasibnya kalau ia sampai ditangkap oleh polisi dan masuk penjara? Apa dia harus menjadi perawan tua kalau masuk penjara terlalu lama?

Gallen tertawa. "Lo jangan takut. Gue udah atur semuanya. Kita nggak mungkin masuk penjara. Percaya sama gue."

Mau tak mau, Hanna sedikit lega mendengar perkataan Hanna. Namun begitu, ia masih merasa takut. Polisi itu punya banyak cara untuk mengungkap kasus-kasus besar, apalagi kasus seperti ini? Dan sekarang, Hanna hanya berdo'a agar Tuhan sedikit berbaik hati pada mereka.

***

Bulan benar-benar kesal sekarang. Bagaimana tidak? Ini sudah hampir gelap, dan ia tidak bisa pulang karena ponselnya kehabisan daya. Ia pun sudah berdiri di halte yang tidak jauh dari kampusnya untuk menunggu angkutan umum, dari setengah jam yang lalu. Namun, emang dasarnya sial, tak satupun angkutan umum lewat sekarang.

Andai saja dosennya itu tidak membuat kelas pengganti hari ini, mungkin ia sudah pulang dari tadi siang bersama Gina dan Agnes. Fajar juga sudah pulang karena harus ke rumah singgah, untuk mengurus kasus kakak Alin yang masih belum ada perkembangan sampai hari ini.

Ngomong-ngomong soal kasus Sabi––kakaknya Alin–– kata polisi, pelaku kemungkinan adalah predator anak yang mempunyai bisnis jual beli organ tubuh manusia, dan bertransaksi ke luar negeri. Mengingat itu membuat hati Bulan miris. Kenapa ada orang yang tidak punya hati melakukan bisnis sekeji itu? Apakah mereka tidak memikirkan perasaan keluarga korbannya? Dasar hati batu.

Mengenyahkan pikirannya mengenai kasus kakaknya Alin, Bulan melangkahkan kakinya menjauhi halte. Ia sudah lelah menunggu angkutan yang tidak kunjung datang. Jadi, ia memutuskan berjalan kaki saja menuju rumahnya yang sebenarnya tidak sampai membutuhkan waktu tiga puluh menit kalau berjalan kaki dari sini. Cukup dekat, kalau menurut Bulan.

Sebuah mobil berwarna silver terparkir di pinggir jalan yang tidak jauh dari halte tempat Bulan menunggu tadi. Sang pemilik mobil berdiam diri di dalamnya dengan memakai masker berwarna hitam, topi hitam, dan hoodie hitam. Ia tersenyum miring melihat Bulan mulai berjalan menjauh.

"Lo menjemput kematian diri lo sendiri, Bulan," monolognya sembari melajukan mobilnya menuju ke arah Bulan.

Bulan tidak tahu kalau bahaya sedang mengintainya. Ia berjalan dengan santai, sembari bersenandung kecil. Sudah lama ia tidak berjalan kaki seperti ini, terakhir mungkin ketika SMP karena jarak rumahnya dengan sekolah tidak terlalu jauh.

Good Bye Backstreet [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang