12. Rumah Singgah

534 23 0
                                    

Happy reading ....

.

.

Mobil yang Fajar kendarai melaju membelah jalanan. Entah kemana tujuan mereka kali ini. Yang jelas, baik Fajar maupun Bulan belum buka suara dari pertama kali mereka memasuki mobil. Mereka sama-sama fokus pada kegiatan masing-masing. Bulan dengan pikirannya, dan Fajar yang fokus menyetir.

Fajar menoleh ke arah Bulan, saat lampu berubah menjadi merah. Lelaki itu agak khawatir akan kondisi kekasihnya itu. Ia tahu Bulan bukanlah orang yang suka berdiam seperti ini saat bersamanya. Karena Bulan akan berubah menjadi sedikit cerewet kalau mereka sedang berdua.

"Kamu nggak kenapa-napa?" tanya Fajar sambil menggenggam tangan kanan Bulan. Membuat gadis itu tersentak, dan menoleh ke arahnya.

"Aku baik-baik aja kok. Cuma nggak nyangka aja gitu. Hubungan kita terbongkar dengan cara kayak gini. Aku takut kalau Gina sama Agnes bakal marah sama aku. Mustahil memang kalau mereka berdua nggak marah. Secara kita bohongin mereka lama banget," ucap Bulan sambil menyandarkan kepalanya ke jendela.

Fajar mengusap punggung tangan gadis di sampingnya itu. "Mungkin udah takdir, Lan. Soal Gina sama Agnes, aku yakin mereka pasti ngerti. Sejauh aku mengenal mereka, mereka bukan orang yang seperti itu. Aku yakin mereka ngerti sama alasan kenapa kita milih backstreet. Nanti kita jelasin sama-sama."

"Yang jelas, mulai sekarang kita harus selalu sama-sama. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Kamu dengar sendiri 'kan kalau Hanna ngancam kamu tadi. Jujur aku khawatir, Lan," lanjut Fajar.

"Kamu jangan khawatir. Aku juga sebenarnya agak takut. Tapi ... aku yakin kita pasti bisa lewatin ini semua sama-sama. Jangan pernah tinggalin aku, ya?"

"Aku nggak akan tinggalin kamu. Apapun yang terjadi," sahut Fajar tegas, membuat Bulan tersenyum.

Semoga kita bisa selalu bersama selamanya, Jar, batin Bulan. Ia tak ingin kalau suatu saat nanti, ia dan Fajar harus berpisah. Ia sudah terlanjur mencintai lelaki itu. Ia tidak siap kalau harus melepas Fajar.

"Ngomong-ngomong kita mau kemana?" tanya Bulan saat mobil sudah berjalan karena lampu sudah berubah hijau. Ia mengenyahkan pikirannya tentang kemungkinan-kemungkinan kalau suatu saat nanti Fajar akan pergi dari hidupnya. Atensi gadis itu kembali mengarah pada jalanan yang dilalui oleh kendaraan-kendaraan yang lewat.

"Ke tempat yang bisa buat kamu senyum lagi," jawab Fajar misterius.

***

Senyum Bulan sekarang terukir jelas di bibirnya yang hanya dipoles lipbalm. Binar matanya sudah jauh berbeda dari di mobil tadi. Karena di tempat inilah ia bisa menemukan arti bersyukur yang sesungguhnya. Sebuah tempat yang mungkin bagi kebanyakan orang adalah tempat yang tidak pantas dikunjungi. Tempat kumuh yang berada dekat tempat pembuangan akhir atau TPA.

Di tempat ini ada belasan anak usia sekolah yang harus menahan bau, agar bisa mendapatkan rupiah. Mereka mengais sampah, untuk menemukan barang yang setidaknya bisa dijual ke pengepul. Mereka tidak sekolah, karena orangtua mereka tidak punya biaya. Dan juga, sebagian dari mereka adalah anak-anak jalanan yang tidak memiliki keluarga, atau dibuang oleh keluarganya karena tidak sanggup menanggung beban ekonomi. Miris. Itu yang kerap kali merasuki hati Bulan maupun Fajar.

Sekitar satu tahun yang lalu, Fajar tidak sengaja melihat seorang anak lelaki yang mengais tong sampah di dekat jembatan. Entah kenapa, lelaki muda itu meminggirkan mobilnya dan menghampiri anak itu. Ia bertanya kenapa anak itu memilih memulung di saat anak seusianya sedang belajar di sekolah. Anak itu dengan tenang menjawab kalau ia sudah tidak punya orangtua, dan ia tidak punya uang untuk sekolah.

Good Bye Backstreet [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang