24. Kepercayaan

334 16 0
                                    

Happy reading ....

.

.

BRAKKK!!!

Gallen menendang sebuah kursi kayu yang ada di ruangan itu, hingga terpental dan menimbulkan bunyi yang cukup keras. Emosinya naik berkali-kali lipat, ketika mendengar kabar kalau Bulan sudah bangun dari komanya. Sia-sia sudah rencananya dan Hanna jika pada akhirnya berakhir seperti ini. Walaupun sebenarnya rencananya itu tidaklah terlalu gagal. Karena ada efek besar dari kecelakaan itu. Bulan amnesia. Dan hal itu tentu tidak akan disia-siakan begitu saja oleh Gallen. Ia akan menggunakan itu sebagai alat untuk balas dendam selanjutnya.

"AHHHH!!!" teriak Gallen. "Kenapa harus bangun, sih? Kenapa nggak mati aja sekalian? Apa Tuhan nggak ngizinin gue buat liat Fajar kesiksa? Atau emang hanya gue yang ditakdirkan buat ngerasain ditinggal orang yang gue sayang? Nggak adil!"

"Liat aja lo, Jar! Gue akan buat Bulan ngeluapin lo untuk selama-lamanya. Dia akan gue buat nggak ingat lo sama sekali. Dan lo akan rasain gimana sakitnya kehilangan seseorang, walaupun orang itu masih hidup. Liat aja lo entar!"

Mata Gallen mengkilat menyalurkan api dendam yang masih memenuhi setiap rongga tubuh lelaki itu. Tangannya terkepal, tapi bibirnya malah tersenyum. Namun ingatlah, itu bukan senyum semanis gula yang bisa melelahkan siapa saja. Karena nyatanya itu adalah senyum dari iblis yang bersemayam dalam raga seorang Gallen Narendra.

"Wait and see the next game."

***

Taman rumah sakit cukup gelap. Akibat dari pencahayaan yang minim di sana. Langit pun juga enggan berbahagia malam ini. Para bintang dan sang rembulan mungkin sedang bersedih, hingga tidak ingin menampakkan diri. Sepertinya mereka mengikuti bagaimana suasana hati seorang Fajar, yang sekarang sedang ditutupi oleh awan kelabu yang menimbulkan gerimis.

"Kenapa harus?" tanya lelaki itu entah pada siapa. Ia menunduk sembari memegang kepalanya. Air matanya juga sudah menganak sungai sedari ia tiba di sini.

"Kenapa harus kamu, Lan? Kenapa harus kamu yang ngelupain aku?" Diiringi oleh angin yang berhembus menghantarkan hawa dingin di malam gelap ini, Fajar kembali mencurahkan isi hatinya.

"Apa aku punya salah, sampai kamu harus ngeluapin aku? Maafin aku, Lan, jika aku emang salah. Tapi aku mohon, jangan lupain aku. Aku akan ngelakuin apa aja kalau kamu mau inget aku lagi."

Mungkin bila ada orang yang melihat atau mendengar semua yang dilakukan Fajar saat ini, mereka pasti akan prihatin dengan lelaki itu. Lelaki muda yang biasanya kuat dan tegar, kini telah berubah menjadi lelaki muda yang rapuh.

"Jar!" panggil seseorang yang duduk di sebelah Fajar. Ia adalah Irfan. Tadi, setelah Fajar keluar dari ruang rawat Bulan, dan tidak ada yang mengetahui, Irfan-lah orang yang pertama kali sadar. Maka dengan segera ia ikut melangkah keluar, dan mengikuti langkah lelaki yang menjadi sahabatnya itu.

"Fan?" Fajar menoleh dan menghapus air mata yang masih mengalir di pipinya.

"Nangis aja! Gue nggak akan ngetawain lo karena lo nangis. Gue paham apa yang lo rasain. Jadi, keluarin aja. Gue bakal di sini nemenin lo." Irfan merangkul bahu Fajar, menyalurkan semangat.

Irfan paham betul bagaimana dalamnya perasaan Fajar untuk Bulan. Mengetahui seluk-beluk perjuangan mereka berdua dari SMA, membuatnya sadar, bahwa keduanya memang sudah saling mengikat satu sama lain. Saling mencintai sepenuh hati mereka.

"Gue gagal, Fan, gue gagal," lirih Fajar kembali menangis. Kata orang, titik ketulusan seorang lelaki mencintai seorang perempuan adalah ketika lelaki itu menangis karena takut kehilangan perempuan itu. Dan di sinilah kita bisa melihat, bahwa Fajar begitu tulus menyayangi dan mencintai seorang Bulan Aurora Wijaya.

Good Bye Backstreet [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang