Happy reading ....
.
.
"NGGAK MUNGKIN, BANG! NGGAK MUNGKIN!" teriak Bulan sembari menggelengkan kepalanya. Mata gadis itu berkaca-kaca menatap Delvin yang ada dihadapannya.
"Lan, Abang enggak bohong. Kamu harus ikhlas, ya? Om Fathan emang udah nggak ada." Delvin memegang kedua bahu adiknya.
Sekarang mereka tengah berada di kamar rawat Bulan. Tadi, ketika mereka ingin pulang, Delvin mendapat info dari Bobi kalau Fathan sudah tidak ada. Sebenarnya, Delvin agak takut memberi tahu adiknya. Mengingat kondisi gadis itu yang masih belum stabil. Tetapi, ia juga tidak mungkin merahasiakan ini. Lelaki itu sadar betapa dekatnya Bulan dan Fathan. Bagaikan ayah dan anak. Jadilah, ia memberi tahu Bulan, dan berakhir Bulan yang tidak percaya.
"Ta–tapi kenapa bisa, Bang?" tanya Bulan lemah. Air matanya sudah merembes membasahi pipinya yang putih.
"Ikhlas, ya, sayang." Delvin membawa Bulan ke dalam pelukannya. "Ini semua sudah jalannya, Lan. Tuhan lebih sayang om Fathan. Biar beliau nggak sakit lagi. Kamu harus ikhlas dan sabar, ya? Kamu harus tegar. Ada Fajar yang membutuhkan kamu saat ini."
Mendengar nama Fajar, Bulan jadi ingat kalau dia sama sekali belum menghubungi lelaki itu. "Fajar di mana, Bang?"
"Dia masih ngurus jenazah papanya. Tadi kata Bobi, mereka rencananya akan langsung memakamkan om Fathan."
"Kita ke sana, ya, Bang? Gue mau ketemu Fajar." Bulan melepas pelukan kakaknya dan bergegas turun dari ranjang.
Delvin mengangguk. Mereka lalu keluar dari kamar itu, setelah Delvin mengambil tas yang berisi beberapa keperluan Bulan saat di rumah sakit.
***
Jalanan macet, membuat Bulan cemas di tempatnya. Sedangkan Delvin yang berada di balik kemudi berusaha tenang. Jam-jam sekarang biasanya tidak terlalu macet, karena belum masuk jam pulang kantor. Tetapi, karena ada kecelakaan di depan sana, jadilah jalanan jadi macet seperti ini.
"Bang? Gue turun di sini, ya? Kalau kayak gini bisa-bisa kita telat," ucap Bulan memandang ke arah luar jendela.
"Nggak! Kamu masih belum pulih. Nanti kalau ada apa-apa gimana? Pokoknya Abang nggak izinin kamu jalan kaki," jawab Delvin tak terbantahkan. Kalau sudah seperti itu, Bulan tidak akan bisa membantah kakaknya itu.
"Tapi, ini nggak jalan-jalan, Bang," cemas Bulan.
"Sabar. Berdo'a aja supaya cepet lancar."
Tanpa merespon lagi apa yang Delvin katakan, Bulan memilih diam. Dia benar-benar kesal, karena ponselnya tidak terbawa saat dirinya dibawa ke rumah sakit. Jadinya, ia tidak bisa menghubungi Fajar. Pasti Fajar berpikir kalau dirinya masih marah pada lelaki itu saat ini.
Mungkin siapapun yang berada di posisi Bulan akan sama cemasnya dengan gadis itu. Dan macet adalah hal yang paling menjengkelkan ketika di jalan raya. Terlebih kita sedang dalam kondisi buru-buru. Ingin rasanya Bulan menerbangkan mobil Delvin, agar mereka bisa terbebas dari kemacetan ini. Tapi, sayang. Ia tidak punya kemampuan seperti itu.
Akhirnya, setelah kurang lebih satu jam lebih terjebak dalam kemacetan yang menjengkelkan itu, mobil yang dikemudikan oleh Delvin bisa bergerak, walau tidak terlalu lancar.
"Akhirnya!" pekik Delvin senang.
Ketika mereka sampai di kediaman Fajar, keadaan di sana sudah tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir di halaman rumah berlantai dua milik keluarga Fajar. Apa mereka terlambat?
Kakak beradik itu lalu turun dari mobil, lalu melangkahkan kaki mereka menuju pintu utama rumah. Di dalam terdapat sekitar lima belasan orang yang dikenal oleh Bulan dan Delvin. Ada om dan tante Fajar, sepupu Fajar, kedua sahabat Fajar, dan kedua sahabat Bulan. Mereka tengah duduk di ruang tamu, dengan raut sedih yang begitu kentara. Tapi, ada yang ganjil. Bulan tidak melihat kekasihnya.
Fajar mana? tanya Fajar dalam hati.
"Bulan?" Gina adalah orang pertama yang menyadari keberadaan Bulan dan Delvin. Ia yang tadi duduk terdiam di samping Agnes, langsung berdiri. Gadis itu menghampiri sahabatnya yang terlihat sedikit pucat itu.
"Gimana keadaan lo? Udah baikan?" tanya Gina ketika sudah berdiri di hadapan kakak beradik itu.
"Iya, Lan? Lo udah sehat?" Agnes yang ikut menghampiri Bulan––diikuti oleh Bobi dan Irfan––ikut bertanya.
"Fajar mana?" Bulan tidak menghiraukan pertanyaan kedua sahabatnya itu. Ia mengedarkan pandangannya kembali, berharap objek yang ingin ia lihat menjangkau pandanganya. Tapi, nihil. Lelaki yang berstatus kekasihnya itu tidak ada di ruangan ini.
"Fajar di kamarnya. Dia syok banget, Lan. Dia emang nggak nangis, tapi kita tahu kalau dia kehilangan banget sekarang. Dia tadi juga nggak bilang apa-apa pas balik dari makam," jelas Bobi, membuat pandangan Bulan beralih pada lelaki itu.
"Kayaknya dia butuh waktu sendiri, Lan," sambung Irfan.
Tanpa berkata apapun lagi, Bulan langsung berlari menuju lantai dua, letak kamar Fajar. Ia tidak menghiraukan Delvin yang berteriak menyuruhnya hati-hati. Yang ada di pikiran Bulan saat ini adalah keadaan Fajar.
Bulan terdiam sebentar ketika sudah berada di depan pintu kamar Fajar. Pintu berwarna hitam yang isi di balik pintu itu sudah gadis itu hafal, karena sering masuk ke sana. Biasanya Bulan masuk ke sana karena ingin membangunkan Fajar, atau hanya sekedar ingin saja. Dan Fajar tidak pernah melarangnya untuk memasuki ruangan yang kental dengan privasi miliknya itu.
Tok tok tok
"Jar? Ini aku Bulan. Kamu di dalem, 'kan?" panggil Bulan.
Tok tok tok
Tepat ketika Bulan ingin kembali bersuara, pintu di depannya itu terbuka, menampilkan Fajar yang nampak sedikit berantakan. Rambut yang acak-acakan, kemeja hitam yang kusut, dan mata yang memerah. Jelas sekali kalau lelaki itu habis menangis.
"Jar, kamu–"
Belum sempat Bulan meneruskan perkataannya, tubuhnya sudah lebih dulu didekap oleh Fajar. Badan lelaki itu bergetar. Membuat Bulan tahu kalau kekasihnya itu sedang menangis sekarang.
"Papa pergi, Lan. Papa pergi," lirih Fajar di sela-sela tangisnya. Hati Bulan teriris mendengar itu. Ia ikut merasakan betapa sedihnya lelaki yang mendekapnya ini. Tangannya lalu terangkat dan mengelus punggung Fajar lembut.
"Aku gagal jaga papa, Lan. Padahal mama suruh aku jaga papa. Tapi aku nggak lakuin itu." Fajar kembali berucap dengan nada yang sendu. Bulan memejamkan matanya mendengar itu. Tak terasa air matanya juga ikut terjatuh.
"Jar." Bulan melepas pelukannya. Dilihatnya wajah kekasihnya itu yang basah karena air mata. "Kamu nggak gagal, Sayang. Kamu nggak gagal. Papa pergi karena Tuhan lebih sayang papa. Tuhan nggak pengin papa sakit terus."
"Tapi, papa ninggalin aku, Lan. Dia nggak ngajak aku. Aku sendiri sekarang, Lan." Tangis Fajar kembali pecah. Badannya merosot dan bersimpuh di lantai, kedua tangannya memegang rambutnya yang basah karena keringat. Bulan yang di depannya menutup mulut. Ia tidak tahan melihat Fajar seperti ini.
"Kamu masih punya aku, Jar. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku milik kamu selamanya," ucap Fajar ikut bersimpuh dan kembali memeluk lelaki yang begitu ia cintai itu.
Keduanya saling berpelukan dengan air mata yang sama-sama membasahi pipi mereka. Kesedihan yang mereka alami begitu mengiris siapapun yang melihat itu. Termasuk sahabat-sahabat mereka yang mengintip dari arah tangga. Bahkan mereka juga meneteskan air mata.
Kehilangan seseorang yang kita sayang memang bukanlah sesuatu yang mudah. Terlebih itu adalah orangtua kita sendiri. Orang yang sudah merawat kita sedari kita dilahirkan. Orang yang sudah membesarkan kita dengan penuh kasih sayang. Orang yang sudah bekerja keras agar kita bisa hidup layak. Dan hingga tiba waktunya untuk kehilangan mereka, membuat siapapun tidak akan siap dengan hal itu. Tapi, semua sudah takdir. Semua yang bernafas akan ada waktunya untuk kembali ke dalam pelukan Yang Maha Pencipta. Karena pada dasarnya, tidak ada yang abadi. Termasuk kehidupan itu sendiri.
***
Hallo readers, maaf ya ini sedikit pendek. Tapi aku usahain part selanjutnya lebih panjang, jadi tetap lanjut ya. See you semua
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Bye Backstreet [COMPLETED]
Novela JuvenilBulan dan Fajar merahasiakan hubungan mereka dari khalayak ramai. Hanya keluarga keduanya, dan sahabatnya Fajar saja yang mengetahui, sedangkan sahabat Bulan tidak. Bukan tanpa alasan mereka melakukan hal itu. Hanya saja, mereka takut kejadian di ma...