30. Terkuak

784 22 0
                                    

Happy reading ....

.

.

Sehabis menangis tadi, kini Bulan dan Fajar sedang berada di lantai tiga rumah lelaki itu, atau bisa dibilang itu adalah rooftop. Mereka duduk bersebelahan, dengan pandangan menghadap ke barat, ke arah matahari terbenam yang menampilkan sapuan warna jingga yang begitu indah.

"Sekarang aku ngerti kenapa senja kadang enggak diharapkan," ucap Fajar tiba-tiba setelah beberapa saat tadi terdiam. Pandangannya masih menerawang, seolah membelah langit yang berwarna jingga itu.

Di sebelahnya, Bulan mengerutkan dahi, kurang mengerti dengan apa yang Fajar katakan. "Kenapa?" tanyanya penasaran.

Fajar terdiam sejenak. Matanya yang sembab menutup sejenak, sebelum terbuka kembali. "Karena kehilangan terang yang terasa indah kadang menyakitkan. Aku merasa kayak bumi yang kehilangan matahari karena harus menyambut gelap. Padahal gelap itu menyakitkan."

"Aku merasa nggak siap aja hidup sendiri, Lan. Biasanya ada papa yang selalu menelepon aku kalau dia nggak di rumah. Ada papa yang nemenin makan kalau di rumah. Tapi, sekarang ... itu semua nggak akan terjadi lagi. Aku nggak tahu harus apa nanti," lanjut Fajar. Air matanya menetes kembali, ketika mengingat kenangan-kenangannnya bersama sang papa. Walaupun papanya belakangan––setelah mamanya meninggal––sedikit sibuk, tapi beliau tidak pernah lupa dengan Fajar. Mereka masih berkomunikasi lewat telepon. Dan hal itu sudah tentu akan Fajar ingat dan Fajar rindukan.

"Jar?" Bulan memegang bahu lelaki itu, membuat sang empunya menoleh, dan menatap gadis itu sendu.

"Kamu nggak akan pernah sendirian. Masih ada aku dan sahabat-sahabat kamu. Ada bang Delvin. Ada bunda sama ayah aku juga. Kami nggak akan pernah lupain kamu. Mungkin, iya, kami nggak akan bisa gantiin orangtua kamu di hati kamu, karena mereka memang tidak bisa digantikan oleh siapapun. Tapi, kami––terutama aku––akan selalu ada sama kamu. Banyak yang sayang sama kamu. Aku sayang kamu, Jar." Bulan menatap lelaki itu tepat di matanya. Menghantarkan ketulusan yang diharapkan mampu membuat kekasihnya itu percaya.

"Kamu harus ikhlas. Aku tahu ikhlas itu sulit. Tapi, aku yakin kamu bisa. Aku selalu di sini, di samping kamu. Aku akan nemenin kamu. Aku janji."

"Makasih, Lan." Fajar memeluk gadis yang dicintainya itu erat. Setidaknya, perkataan Bulan benar. Ia tidak sendiri. Ia masih punya gadis ini untuk menemaninya. Gadis yang begitu ia cintai.

Lama mereka di posisi itu, hingga Fajar melepas pelukannya dan menatap Bulan dengan dahi sedikit berkerut. Ia baru sadar ada sebuah plester yang terpasang rapi di dahi kiri gadisnya itu. "Ini kenapa?" tanyanya.

"Ini?" tunjuk Bulan pada dahinya sendiri, yang dibalas anggukan oleh Fajar. "Cuma luka kecil. Nggak pa-pa, kok."

"Tapi, kenapa bisa?"

"Jatuh di kamar. Tapi, it's okay. I'm fine."

"Beneran?"

"Iya," jawab Bulan mengangguk mantap.

"Oh, iya. Aku mau minta maaf. Maaf buat yang di kedai waktu itu. Aku beneran nggak ngapa–"

"Udah, nggak usah dijelasin."

"Tapi–"

"Aku percaya kamu. Kamu nggak mungkin berkhianat kayak gitu. Fajar-nya Bulan enggak mungkin selingkuh, kan?" tanya Bulan dengan senyum manisnya.

"Bentar." Fajar menatap Bulan seakan memastikan sesuatu. "Ingatan kamu udah balik?" tanyanya dengan bola mata sedikit membesar.

"Menurut kamu?"

Good Bye Backstreet [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang