part 1

175 19 8
                                    

Ruangan minimalis bercat putih lapuk itu penuh dengan huru-hara, kulit kacang dan kaleng bekas minuman soft drink berserakan di meja, karpet, juga di ubin putihnya.

Tiga cowok dengan seragam putih abu-abu terlihat asyik bermain game yang mengeluarkan suara tembak dan gemerincing pedang di gawai canggihnya. Mereka sesekali berteriak keras, mengumpati tokoh virtual yang sedang dikendalikan.

Cowok berhidung mancung serta pahatan rahang tegas itu meluruskan kaki, menghela napas dalam lalu menyandarkan punggung pada pinggiran sofa setelah kembali mengantongi gawai. Tiga hari pergi dari rumah, asyik bermain bersama teman, membuat gaduh kosan Udin---tamannya, ternyata tidak bisa membuat pikiran lupa tentang masalah keluarga. Pelipur yang sengaja dia buat sendiri pun malah membuat hatinya terasa semakin hampa.

"Bro!" Udin––cowok pendek berambut sedikit keriting itu bangkit, diikuti Bayu yang kemudian menarik jaket parasut hitam di sandaran sofa. "Nongkrong kuy. Bosen nge-game terus," imbuh Udin.

Rayhan menegakan punggung. Mengangkat alisnya dengan sorot malas. "Sekarangan banget?"

"Yo'i," jawab Bayu. Menyugar rambut gondrongnya sambil bercermin di layar gelap gawai tipis di tangan kanan. "Bentar lagi para ciwi-ciwi pada dateng. Parfum mereka itu udah kaya charger pikiran, man. Seger! Mubazir lah kalo dilewatin."

Niat awal Rayhan menginap adalah untuk mencari hiburan. Jadi meskipun sangat tidak berselera, cowok jangkung itu menyetujuinya. Mungkin saja kali ini berhasil membuat pikirannya teralihkan.

Setelah mengenakan hoodie marun dan memakai tudungnya, Rayhan menyambar tas dan kunci di atas sofa. Menyusul dua temannya yang sudah bersiap di atas motor masing-masing.

"Duluan, Bro!" seru Bayu bersemangat. Mesin motornya berderum ribut di tengah kesunyian area kosan berlantai dua ini.

"Woy!" Udin berdecak kesal. Memakai helm hitam full face-nya lalu menyusul Bayu. "Ray, buruan."

Rayhan hanya bergumam. Menyambar helm di stang motor sebelum seorang wanita berjilbab putih yang kontras dengan gamis hitamnya datang. Membuat Rayhan meletakan lagi helm ke tempat semula lalu berbalik badan hendak kembali ke dalam.

"Rayhan,'' panggil wanita cantik itu lembut.

Rayhan bergeming dengan embusan napas yang tertahan. "Bunda mau apa ke sini?" tanya Rayhan tanpa berbalik badan. "Ray nggak mau pulang sebelum laki-laki brengsek itu pergi."

"Nak, nggak boleh gitu sama Ayah."

"Ayah?" Rayhan berdecih. Senyumnya tersungging miris sambil mengepalkan kedua tangan di samping badan. "Apa dia masih pantas disebut Ayah?"

Ririn berderap maju. Mengusap punggung putranya penuh kelembutan. "Bunda tau Ray marah. Bunda juga tahu kalo ini sulit, tapi ayo, kita hadapi sama-sama."

"Dengan wanita itu?" Membalik badan, Rayhan menyorot geram. "Bunda tau 'kan apa yang harusnya dilakuin? Cerai Bun, bukan malah coba dipertahanin. Nggak papa kalo emang harus berakhir kayak gini."

Air mata yang sejak tadi menggenang perlahan berjatuhan. Senyum ramah yang terpatri apik di bibir tipis Ririn tak mampu menutupi fakta jika ada hati yang lara di dalam sana. Lantas dia meraih tangan Rayhan, terisak lirih sambil terus mencoba agar terlihat tegar. "Pulang ya, Nak. Bunda kangen sarapan bareng Rayhan."

"Bun ...,"

"Sayang, demi Bunda," potong Ririn cepat. "Plis, Nak. Demi Bunda, hm?"

Rayhan meraup wajah kasar. Menghela napas berat lalu mengusap pipi sang bunda dengan lembut. Semarah dan sebenci apa pun keadaan ini, tetapi tetap saja, melihat bunda menangis tidak pernah gagal menurunkan egonya. Ditambah sampai memohon seperti tadi. Rayhan tidak tega.

"Rayhan ambil barang dulu di dalem," ujar Rayhan sambil menuntun Ririn ke bangku semen di depan kosan. "Bunda tunggu di sini aja, ya?"

Ririn mengangguk paham. Seulas senyum lembut dan manis kembali tersungging apik, ucapan syukur pada Sang Khaliq tak henti-hentinya terapal dalam hati.

Berlalu masuk, Rayhan mengambil gawai di saku sweater. Berderap ke kamar kos Udin lalu membuka lemari putih untuk mengambil jaket kesayangannya. Panggilan ke seberang tak kunjung mendapat jawaban. Hingga pada percobaan kedua, suara berisik derum kendaraan terdengar bersahutan dengan suara gaduh beberapa orang yang bercakap sambil tertawa.

"Lo sampe mana?"

"Gue nggak jadi ikut,'' jawab Rayhan diiringi embusan napas singkat sambil menutup lemari. "Nyokap datang."

"Woy kampret! Liatnya biasa aja!
Wah, mesum ni, si Bayu. Masih sore, oy, inget!"

"Eh, setan!" Rayhan berdecak kesal. Suara tawa yang ikut terdengar semakin keras membuatnya mendengkus.

"Eh, lo ngomong apa?"

"Gue nggak jadi nyusul, pe'a. Lo lagi di mana si, berisik banget."

"Lagi di warungnya bang Muis. Banyak cewek-cewek cakep, man. Bodinya mantep banget! Pahanya mulus-mulus."

Rayhan memutar bola mata malas.
Mematikan sambungan lalu memasukan jaket hitamnya ke dalam tas sebelum keluar menemui bunda yang sedang mengobrol bersama ibu-ibu berdaster kuning di sana.

"Ayo, Bun," ajak Rayhan.

"Saya permisi dulu ya, Bu. Mari"

Keduanya berlalu beriringan. Ririn menggandeng lengan kekar Rayhan, mengusapnya beberapa kali sampai melewati gang sempit---tepat di mana mobil hitamnya terparkir.

"Bunda kenal orang tadi?" Rayhan membukakan pintu mobil untuk Ririn. Mengitarinya lewat depan lalu duduk ke kursi pengemudi setelah melempar tas ke jok belakang. "Kok akrab banget."

"Nggak, baru tadi Bunda ketemu."

"Jangan terlalu ramah sama orang asing deh, Bun." Setelah memasang sabuk pengaman, Rayhan menyalakan mesin mobilnya. Sesekali melirik ke spion samping sambil bergerak mundur perlahan. "Takutnya keramahan Bunda malah dimanfaatin sama orang."

"Ish, nggak boleh su'udzon. Lagian, ramah dan penyayang pada sesama itu sikap yang Islam ajarkan. Perkara bagaimana seseorang membalasnya itu urusan nanti.

Karena habluminallah dan habluminannas itu ibarat dua sisi sebuah koin. Nggak bisa dipisahin. Menjaga Habluminallah adalah bentuk iman kita sebagai seorang hamba yang pasti akan kembali. Sementara menjaga Habluminannas itu keharusan kita sebagai makhluk sosial yang nggak bisa hidup sendirian.

Saat kita susah, kita butuh orang lain untuk membantu. Saat kita meninggal, kita butuh orang lain untuk mengurus jasad kita. Dan lagi, satu kebaikan yang orang lain kenang saat kita udah meninggal itu jadi pahala. Sementara keburukan yang diingat mereka bakal jadi dosa buat kita."

"Apa berlaku juga buat wanita jalang itu?" seloroh Rayhan sinis.

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang