Keputusan ada di tanganmu, Nduk. Abi sama umi cuma melaksanakan amanah alm. Bapak-ibumu. Nggak papa kalo seandainya Hasna mau nolak.Hasna menghela napas dalam. Membuka kotak kecil yang ada di atas meja kamar asramanya. Sebuah bros cantik berwarna biru langit diambil dan diangkat di depan wajah, dipandangi dalam diam dengan suara kipas angin yang berputar di pojok kamar atas sebagai teman. Percakapan antara dirinya dan umi Salamah kemarin terus berputar dalam kepala. Tentang keputusan itu, Hasna masih bimbang. Antara keinginan alm. Bapak dan ibu, atau menuruti hati kecilnya. Memang, semuanya diserahkan pada Hasna. Akan tetapi bisakah Hasna menolak? Lalu, mampukah dia menahan hati untuk abai pada rasa yang tumbuh mekar akhir-akhir ini? Ya Allah, hati Hasna terasa gundah sekali. Detak jantungnya selalu bergedup kencang saat memikirkan keputusan apa yang harus diambil. Dari awal Hasna sudah tahu jika hari ini pasti akan tiba. Namun, dia tidak pernah menyangka akan secepat dan semendadak ini.
Rayhan! Wajah cowok itu terus terbayang, bergantian dengan kilasan wajah alm. Bapak-ibu yang membuat Hasna semakin sulit memutuskan.
Cewek itu menurunkan tangan, meletakan bros itu kembali ke tempat semula sebelum menghempaskan punggung ke kasur sederhana berbalut seprai bunga berwarna biru. Terlentang dengan posisi kaki menggantung di pinggir ranjang. Kerudung himar maroon yang senada dengan gamis longgarnya sudah dilepas, memperlihatkan rambut hitam sebahu yang terurai indah.
Halimah yang baru masuk langsung memutar kunci kamar. Ikut melepaskan jilbab hitamnya lalu di letakan di kepala ranjang. Suasana malam yang sudah larut menciptakan hening di sekeliling. Tidak ada suara sedikitpun selain detik jarum jam dan suara kipas angin yang bergabung bagai orkestra.
"Hasna," panggil Halimah. Duduk di tempat tidurnya sambil memangku bantal di atas kaki yang bersila. "Hasna!"
Hasna menoleh dengan mata mengerjap. "Iya?"
"Kamu lagi kenapa, si? Ngelamun terus dari kemarin."
Tersenyum tipis, Hasna menggeleng. "Nggak papa."
Halimah mendengkus kecil, bangkit dari kasur setelah meletakan bantal dan buku. "Ayolah, cerita ke aku."
"Cerita apa? Aku nggak punya cerita, Halimahku sayang."
"Jangan bohong." Halimah menarik tangan Hasna sampai badan mungil sang teman terduduk sempurna. "Apa soal pertemuan sama temenya abi Umar dua hari lalu?"
Hasna menipiskan bibir. Menatap Halimah yang berdiri di depannya sambil menimang suatu pertanyaan yang ingin dia tanyakan.
"Hal, aku mau tanya pendapatmu. Tapi, janji jangan ngeledek, apalagi bercanda. Ini penting."
Mendengar keseriusan dari nada ucapan Hasna, Halimah pun segera menarik kursi belajar. Duduk di depan temannya itu dengan tatapan penuh selidik. "Tanya soal apa?"
Jari kelingking Hasna diangkat tepat di depan wajah Halimah. Halimah yang bingung ferleks mengernyitkan dahi.
"Janji dulu," kata Hasna. "Jangan ketawa, jangan bercanda, sama jangan kepo."
Mengangguk patuh, Halimah menautkan kelingkingnya pada kelingking Hasna. "Janji."
•••
Kedatangan Rayhan kembali ke Pondok Pesantren Nurul Takwa disambut hangat oleh abi Umar dan umi Salamah. Kedua pasutri itu langsung saja mengajak Rayhan masuk ke rumah alih-alih diantar ke Pesanten.
"Kamu apa kabar, Nang?" ucap abi Umar. Duduk di sebelah, pun melingkarkan tangan di punggung Rayhan. Beliau mengelusnya lembut sebagai bentuk dukungan moral. "Nggak nyasar naik bis?"
Rayhan tersenyum segaris ke arah umi yang datang membawa minuman dan sepiring mendoan anget. Suara radio yang disetel kini memutar sholawat 'Ya Asiqol.'
"Alhamdulillah kabar Ray baik, Bi. Ke sini tadi pakai bis yang satu jurusan."
"Monggo dimakan dulu, Ray. Mumpung masing anget," kata umi Salamah setelah menyimpan nampan ke belakang.
"Matursuwun, Mi."
"Lah!" Abi Umar terkekeh, menepuk-nepukan tangan di punggung Rayhan sambil menatap umi Salamah yang juga tersenyum lebar. "Bisa bahasa Jawa, Mi."
"Sedikit," imbuh Rayhan, meringis.
Seorang gadis mengucap salam. Masuk ke dalam setelah dijawab serempak oleh Rayhan, abi, dan umi.
Hasna, cewek itu mematung sesaat, beradu pandang dengan Rayhan yang menyambutnya dengan senyum.Ya Allah, tetapkan hati hamba untuk memutuskan pilihan tanpa ragu, kata Hasna dalam hati. Membalas senyuman itu singkat sebelum segera berlalu ke dapur. Umi Salamah bangkit, izin ke belakang, mengekori Hasna yang sudah tertelan dibalik korden merah di sana.
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang (End)
Spiritual#teen fic-spiritual C O M P L I T E D Rayhan Abimana merasa jika keputusan Bunda adalah hal salah, dan drama yang diciptakan Ayah membuatnya hilang arah. Lalu saat semua terasa buntu, Hasna datang dengan tawa cerah yang menariknya hingga berakhir di...