"Kamu yakin, Nak? Nggak mau dipikirin lagi?"
"Insa Allah, Rayhan yakin, Yah."
"Kita pergi sekarang?"
"Rayhan ada perlu sebentar. Ayah tunggu di mobil aja."
Sebuah buku bersampul biru muda dikeluarkan dari tas hitam punggung. Dipandangi beberapa saat sebelum membalik badan untuk menuju perpustakaan. Meninggalkan pelataran rumah abi Umar. Berjalan sangat pelan sambil sesekali berhenti sekadar mengamati setiap inci suasana kampung asri ini. Tempat Rayhan singgah selama kurang lebih tiga bulan, merangkai berbagai kisah kasih yang tidak akan pernah terlupakan. Rayhan menyunggingkan senyum mengingat kilasan-kilasan dirinya di sini. Gelak tawa, canda gurau, pun tentang bagaimana ikatan teman terjalin erat. Semuanya terasa indah.
Menarik napas kecil, Rayhan kembali melangkah. Bertegur sapa dengan orang-orang yang berpapasan. Entahlah, menyapa lebih dulu, atau bahkan bersalaman pada setiap lelaki yang lebih tua saat bertemu kini terasa menjadi kebiasaan.
"Rayhan!" kang Ihsan melambaikan tangan. Sepertinya pria itu baru keluar dari perpustakaan.
Rayhan tersenyum, membalas lambaian tangan seraya mendekat ke teras perpustakaan. Kang Ihsan sudah duduk di bangku semen sana sambil membetulkan kopiah hitamnya yang miring.
"Ck ck ck." Menggelengkan kepala, bibir kang Ihsan tertarik lebar. Garis senyumnya nampak menawan, menimbulkan lubang kecil di pipi kanannya. "Keren bener jaketmu, Ray."
"Ah, bisa aja." Rayhan terkekeh. Duduk di sebelah kang Ihsan sambil memasukan kedua tangannya di saku boomber armi keluaran brand kenamaan itu. "Bang Ihsan lebih keren. Gagah, pinter ngaji, banyak fansnya lagi."
"Alhamdulillah, ada yang ngakuin," kelakar kang Ihsan. Membuat kekehan kembali terdengar mengisi sepi di sekiar. Perpustakaan sudah kosong, anak-anak kecil yang tadi mengisi sesak sekarang sudah kembali pulang. "Kamu udah dijemput?"
"Udah," jawab Rayhan. Menatap lurus ke jalanan tanah di depannya yang sesekali di lewati kendaraan motor. Kedua tangan yang sejak tadi di sembunyikan di dalam saku dikeluarkan, menopang di atas kaki yang menggantung. "Ayah lagi nunggu di mobil."
"Ray." Tangan kanan kang Ihsan mendarat di pundak Rayhan. Empunya menolehkan wajah dengan kedua alis bertaut. "Ana curiga kalo kamu pulang sebab kata-kata ana waktu itu."
Menyemburkan tawa, Rayhan menuduk singkat lalu membuang napas lewat mulut. "Ah! Itu udah dua bulan lalu, Bang. Lagian, kayaknya gue emang udah harus pulang, deh."
•••
Para bocah itu berhamburan keluar mushala sambil memdekap jilid di dada. Berteriak girang, saling kejar, pun tertawa terbahak karena guyonan. Mereka nampak sangat bahagia, layaknya taman bunga dengan pelangi cantik yang mengelilinginya. Tidak seperti Rayhan. Cowok yang kini bersender di tiang lorong pesantren sambil memperhatikan sekumpulan bocah tadi. Wajahnya sayu pun tangan yang terlipat di bawah dada.
Suara di dalam kepalanya terus bising, hingga keramaian di sekitar lorong itu tak dapat terdengar. Lalu lalang manusia-manusia berkoko dengan kopiah tak sedikitpun mengusik lamunannya. Hasna, haruskah dia menyerah atas cewek itu? Tetapi kenapa hatinya merasa tidak pantas untuk meraih Hasna. Mengingat cowok yang akan disandingkan adalah Abian.
Kang Ihsan menyugar rambutnya ke belakang, kembali memakai kopiah hitamnya lalu menghampiri Rayhan. "Galau, bos?" Ucapnya sambil terkekeh. "Kenapa, hm?"
"Eh, Bang Ihsan." Rayhan tersenyum culas. Menggerakan kepala ke kanan dan ke kiri dengan raut bingung. "Nggak ngajar ngaji, Bang. Kok, tadi keluarnya dari kantor bukan dari mushala?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang (End)
Spiritual#teen fic-spiritual C O M P L I T E D Rayhan Abimana merasa jika keputusan Bunda adalah hal salah, dan drama yang diciptakan Ayah membuatnya hilang arah. Lalu saat semua terasa buntu, Hasna datang dengan tawa cerah yang menariknya hingga berakhir di...