part 12.

50 15 6
                                    

Hari Rabu, tepat jam empat pagi aku sampai di Jakarta. Meninggalkan rumah, teman, dan ayam peliharaan yang sebenarnya berencana aku jual sama pak Karma sebelum berangkat kerja.

Nggak tau si, tapi rasanya deg-degan sampe tanganku dingin pas pertama kali masuk rumah yang aku bilang mirip kaya rumah di sinetron misteri ilahi yang dulu sering aku tonton di rumah Putri---temanku. Pemiliknya bernama bu Ririn. Orangnya ayu, berjilbab, dan suaranya alus pisan. Ada satu lagi perempuan, namanya Maria. Aku kira dia anaknya, ternyata dia juga kerja di sini. Dia Kristiani, tapi baik, dan asyik banget. Nggak nyangka bakal bisa akrab, si.

Hari itu aku langsung aja kerja, bersih-bersih seluruh rumah sehabis subuhan. Sementara Maria bersihin halaman yang nggak kalah luas.

Aku kaget banget pas nggak sengaja denger suara barang dibanting dari kamar sebelah---terletak di lantai dua.
Seorang cowok berkaos merah keluar dari kamar itu sambil bawa tas punggung yang diseret kasar. Kayaknya lagi marah banget.

Aku yang masih ngumpet di balik tembok bisa lihat semuanya. Bahkan pas bu Ririn nangis saat keluar dari kamar itu. Cowok itu jahat banget.

Hasna tersenyum membaca diary-nya. Mengingat kembali serangkaian pertemuannya dengan Rayhan bahkan dari hari pertama. Waktu itu Hasna pernah menganggap Rayhan anak durhaka karena membuat Ririn menangis. Sampai akhirnya Hasna tahu cerita pelik yang ternyata bersemayam apik di kediaman bak istana itu. Sekarang Hasna merasa bersalah pernah beranggapan demikian, karena faktanya cowok itu, Rayhan, saat ini berubah menjadi sosok mengagumkan. Sosok yang akhir-akhir ini terus saja menari-nari di dalam kepala Hasna. Siang, sore, malam, sampai pagi lagi, Hasna selalu ingin bisa melihat badan jangkungnya, senyum menawan, dan mata indah Rayhan yang berkilauan. Sungguh, perasaan aneh yang sebelumnya belum pernah Hasna rasakan, sekarang bermekaran seperti taman seribu bunga yang tumbuh di dalam hatinya. Entahlah, cewek mungil bergamis krem itu tidak tahu harus menyangkalnya seperti apa, karena yang jelas Rayhan berhasil membuat hatinya berdegup kencang seolah ingin melompat dari dadanya. Ditambah, cara cowok itu mengirim sticky note di tengah novel untuk sekedar bertegur sapa sangat manis. Seperti sore tadi, saat Hasna pergi ke perpustakaan untuk membaca, sticky note berisi ucapan 'makasih' kembali ada di halaman tengah novel.

Meletakan sticky note warna pink di tengah buku, Hasna menopang dagu menggunakan tangan kanan dengan senyum yang masih mengembang sempurna di wajahnya. Rayhan, astagfirullah, nama itu lagi yang berputar di kepalanya. Hingga kedatangan Halimah yang sudah mengetuk pintu pun tidak disadari Hasna.

"Ngelamunin apa?" tanya Halimah. Duduk menggantung di tepian ranjang milik Hasna sambil membaca sekilas sticky note di atas meja itu. "Makasih?" Kening Halimah berkerut.

"Eh!" Hasna segera menutup diary-nya. Menyimpanya ke dalam laci lalu memutar badan menatap Halimah. "Gimana hafalannya?" tanyanya mengalihkan obrolan.

Halimah menyipitkan mata, tersenyum jahil sambil menoel pinggang Hasna. Membuat Hasna menjingkut geli. "Hayoh, 'makasih' dari siapa?"

"Ish, apaan. Itu bukan dari siapa-siapa, kok," jawab Hasna gelagapan. Membenarkan himar pingnya yang masih rapih beberapa kali.

Halimah memberenggut tidak percaya. Tetapi tujuannya datang ke mari lebih penting dari pada sibuk menerka-nerka siapa orang yang sudah membuat Hasna sering melamun akhir-akhir ini. Bahkan saat di kelas pun begitu.

"Ini." Halimah mengulurkan paper bag yang dia pangku di atas paha. "Ada kiriman buat kamu."

"Dari siapa?" tanya Hasna menautkan alis. Menerima sedikit gamang paper bag itu.

"Kata kurirnya dari bu Ririn Damayanti."

Mata Hasna membulat. Segera mengeluarkan isinya yang ternyata sebuah kerudung kain warna biru muda yang sangat halus.

"Subhanallah, apik pisan, Na," kata Halimah, girang. Ikut membelai bahan kerudung itu yang menjuntai. "Enak banget ini kalo dipake."

Tersenyum lebar, Hasna mengangguk. Membiarkan Halimah mengambil alih kerudung itu, sementara dirinya membaca secarik kertas yang ikut serta di dalam paper bag.

Assalamualaikum, Hasna.

"Wa'alaikum salam," jawab Hasna lirih. Bibirnya komat-kamit membaca rangkaian kata yang tertulis di sana. Ririn bercerita sedikit tentang Jakarta, Maria yang ikut menitip salam, dan tentang krudung itu yang Ririn beli saat akan pulang dari pasar.

"Na!" Hasna mengangkat wajah. Alisnya terangkat menatap Halimah. "Kamu juga dipanggil ke rumah abi Umar."

"Serius!"

Halimah mengangguk. Melepas jilbab instan warna hitamnya, menyisakan ciput hitam di kepala.

"Kira-kira ada apa ya, Hal?"

"Katanya si, suruh bantu-bantu buat nyiapin Haul di ndalem. Sama mbak Yumna juga."

•••

"Assalamualaikum!"

Rayhan menoleh saat suara familier itu terdengar. Kontan dia tak berkutik, menatap Hasna yang mengenakan kerudung biru laut dengan gamis senada di ambang pintu bersama mbak Yumna.

Cantik sekali cewek itu, pikir Rayhan. Auranya yang mahal, teduh, dan anggun nyaman saat dipandang—dalam artian lain. Berbeda sekali dengan cewek-cewek di luaran sana yang biasanya terlihat membosankan. Baju ketat, aurat di umbar bebas, pun gaya make up yang kelewat menor. Rayhan gerah.

Umi Salamah mempersilahkan Hasna dan Yumna masuk ke dalam dapur. Sempat beradu pandang, Hasna tersenyum pada Rayhan yang masih bengong di karpet---menata box makanan bersama Jaka dan Abian.

Rayhan tersentak dan langsung menoleh saat ada tangan yang menepuk pundaknya.

"Tolong ambilin minuman gelas di dapur, Ray," kata Abian menyengir. Rayhan menggaruk bagian belakang telinga, lalu mengangguk terpaksa. "Makasih, Bro."

Bismillah, ucap Rayhan dalam hati. Aneh sekali, kenapa sekarang dia merasa berdebar saat berdekatan dengan Hasna?

"Misi, mau ambil kardus minuman gelas," kata Rayhan.

Hasna menggeser badan. Membiarkan Rayhan mengambil kardus di samping kakinya.

Cowok berkaos hitam panjang dengan training hitam abu-abu itu keluar sambil membopong kardus. Sesekali melirik ke belakang, tersenyum tipis saat melihat Hasna tersenyum lebar sambil memotong bawang merah. Bros pemberian Rayhan waktu itu ada di pundak kirinya, membuat Rayhan menahan senyum yang mengembang lebar. Bros murahan yang dia beli dengan harga sepuluh ribu rupiah---harga yang sangat murah untuk sebuah hadiah terima kasih atas jasa Hasna dalam membantunya menghafal sepuluh hadist selama satu minggu.

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang