part 11.

50 15 14
                                    

Waktu terasa begitu cepat berlalu. Seolah tidak lagi berjalan, melainkan berlari kencang seperti ingin cepat meninggalkan semua huru-hara dunia yang semakin panas akan persaingan.

Tak terasa seminggu sudah Rayhan di pondok pesantren Nurul Taqwa. Kegiatan-kegiatan yang awalnya masih asing kini perlahan mulai terasa biasa. Seperti bangun pada jam tiga pagi untuk sholat tahajud misalnya. Hal yang sebelumnya sangat jarang sekali Rayhan lakukan, saat ini sudah bisa menjadi kebiasaan sehingga sudah tidak perlu memasang alarm untuk membangunkan. Lingkungan sekolah barunya pun tak jauh berbeda dari sekolah di Jakarta, kecuali para murid di sekolahnya sekarang yang hanya berisi laki-laki saja. Itu tidak masalah, toh, tujuannya juga baik. Memisah laki-laki dan perempuan sebagai upaya untuk bisa menjaga sesama. Meskipun Rayhan sendiri menganggap jika memisahkan gender di area sekolahan itu sedikit berlebihan. Maksudnya, mereka di sini untuk belajar, dimana para guru selalu memantau gerak gerik siswa. Jadi, tidak mungkin lah akan terjadi zina seperti anggapan mereka.

Rayhan berjalan di koridor sekolah yang nampak hambar tanpa adanya kerumunan para cewek seperti umumnya. Cowok itu mengenakan seragam batik warna biru laut dengan celana hitam kain sebagai bawahannya.

Abian yang menunggu di ujung lorong sambil bersandar di tiang segera melambaikan tangan. Tersenyum lebar, menampilkan gingsul kanannya pada Rayhan yang juga tersenyum akrab sebagai balasan.

"Kita langsung ke pasar?" Bian memastikan. Berjalan beriringan menuju gerbang yang hanya terdapat pak satpam yang bersiap menutup pintu besinya. "Apa mau ganti seragam dulu?"

Rayhan menggeleng, melirik jam di pergelangan tangan lalu mengeluarkan selembar kertas dari saku seragam. Tadi pagi Ihsan datang ke kamar Utsman bin Affan, menyerahkan lembaran kertas itu yang berisi barang belanjaan. Memang hanya tinggal mengambilnya dari tempat langganan, dan meskipun merasa sedikit malu, Rayhan merasa segan jika harus menolak Ihsan. Untung saja Bian secara suka rela menawarkan diri untuk menemani, jadi semua barang belanjaannya bisa dibagi nanti. Alhamdulillah!

Setelah naik angkot kurang dari 5 menit dari sekolah, Rayhan dan Bian sampai di pasar tradisional pusat kota ini. Tempatnya besar, berbagai macam bahan pangan dan keperluan lain dijajalkan. Penuh sesak dengan manusia, suara berisik bersahutan, dan hawa panas yang menyengat tak menyurutkan antusiasme mereka semua.

Sedikit berdesakan untuk sampai ke tukang sayur langganan pesantren, Rayhan dan Bian harus sabar saat sesekali terinjak seseorang. Jalan tanah yang becek membuat Rayhan sedikit menyesal tidak mengganti seragam dulu barusan. Alhasil celananya kotor, sepatunya apa lagi. Penuh noda tanah di permukaan putihnya.

Rayhan menghela napas lega begitu bisa menepi dari ratusan manusia. Mengipasi wajah menggunakan kertas di tangan kanan sambil menunggu Bian mengambil belanjaan. Gerah, haus, dan pengap membuat bulir peluh merembes di dahi mulusnya.

"Tinggal apa lagi?" tanya Bian mendekat. Kedua tangannya sudah berisi kresek hitam yang berisi sayur dan buah-buahan.

Membaca kertas itu sekilas, Rayhan menatap Bian. "Tinggal ayam sama ikan. Tempatnya di mana yah? Gue lupa."

"Di deket terminal. Cepet nih, kalo lewat sini." Dagu Bian mengedik ke jalan sempit di antara meja ibu-ibu yang menjajalkan buah mangga.

"Ya udah. Sini, gue bawa satu." Satu plastik berpindah ke tangan kanan Rayhan. Bian memimpin jalan sambil sesekali menyapa para penjual menggunakan kromo halus yang Rayhan ikuti dengan anggukan serta senyum tipis.

"10 kilo, Mas," ujar pria bertopi hitam lusuh pada Bian. Berkaos putih gambar salah satu calon Gubernur tahun lalu dan satu handuk kumal melingkar di leher.

"Makasih, Bang. Aku permisi, yo. Semoga laris manis, men aged mondokaken anak, Bang," ujar Bian terkekeh.

"Aamiin, matur suwun Mas Bian. Ati-ati."

Bian dan Rayhan mengangguk.
Mengucapkan salam lalu berjalan ke arah barat menuju sebuah angkot kuning di sana.

"Lo kok bisa seakrab itu sama semua orang?" tanya Rayhan kagum. Sejak tadi dia hanya mengikuti Bian tanpa pernah sekalipun membuka obrolan lebih dulu. "Nggak takut dicuekin pas nyapa orang?"

Bian mengedikkan bahu sambil tersenyum. "Kalo dicuekin, ya anggap aja mereka nggak denger. Nabi aja selalu bersikap ramah pada kaum yahudi yang sering mencela, menghina, bahkan menyakiti. Masa kita yang cuma gara-gara dicuekin jadi malas beramah-tamah lagi."

•••

"Nggak papa 'kan, kalo ketemu sebab pengen berbagi ilmu? Nggak salah, ya kan? Semua amal tergantung dari niat, dan niatku baik jadi ...."

Hasna menggigit bibir bawahnya. Menggoyangkan kaki sambil memainkan ujung jilbab hitamnya gusar. Beberapa kali cewek berbaju abu-abu dengan rok plisket hitam itu mengedarkan pandang, berharap orang yang dia tunggu akan segera datang.

Rayhan, di mana cowok itu? Apa Hasna terlalu cepat, atau Rayhan yang batal mengajaknya bertemu? Ah, jam berapa sekarang? Bukankah di surat yang Rayhan letakan di tengah-tengah novel yang sering Hasna baca tertulis pukul 16:00?

Hasna semakin dibuat gelisah.
Pikirannya berbisik menyuruhnya pergi, akan tetapi hatinya meminta untuk terus menanti.

"Maaf telat!" Rayhan datang dengan sedikit terengah. Membuat Hasna menghembuskan napas lega dengan senyum tipis di sudut bibirnya. "Udah lama nunggu?"

"Nggak terlalu," jawab Hasna. Membiarkan Rayhan lewat lebih dulu di depannya---menuju pekarangan di belakang pesantren agar tidak ada yang mengetahuinya.

"Adem banget ya di sini," decak Rayhan, tersenyum lebar. Deret gigi putihnya terlihat rapi. Cowok itu menarik napas dalam dan dikeluarkan secara perlahan lewat mulut. "Nyaman banget rasanya."

"Kamu kaya baru ke sini aja." Hasna terkekeh. Tanpa sadar langkah keduanya kini sejajar, menginjaki ranting kering yang berserakan sehingga menimbulkan bunyi di antara seoakan angin di sekitarnya. "Padahal udah satu minggu."

"Ya, tapi rasanya kaya ada yang baru setiap harinya. Mungkin itu sebabnya gue betah di sini meski nggak boleh main HP."

"Alhamdulillah kalo kamu memang betah. Aku seneng dengernya."

Rayhan menghentikan langkah yang diikuti Hasna di sampingnya. Merogoh saku koko coklat yang dipadu sarung coklat bergaris putih, cowok jangkung itu mengacungkan sebuah bros bunga berbandul tiga bulatan kecil warna biru langit di depan wajah Hasna. "Buat lo."

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang