Rayhan mengubah posisi tidurnya. Terlentang, menekuk lengan kanan di atas dahi dengan tatapan lurus menyorot plafon putih polos di atasnya.
Suara ketukan pintu terdengar, lalu wanita berkerudung hitam dengan daster panjang sederhana masuk membawa segelas susu coklat di genggaman. Diletakan di atas nakas sebelum duduk di samping Rayhan yang masih bergeming di posisi awal. Dengan lembut Ririn menyentak tangan putranya, membuat Rayhan mengerjap dan lekas terduduk dengan posisi kaki menggantung di pinggiran ranjang.
"Bunda kapan masuk?"
"Baru aja," jawab Ririn tersenyum tipis. Mengelus rambut Rayhan penuh sayang. "Lagi ngelamunin apa, hm? Sampe nggak sadar Bunda ketuk pintu."
Rayhan menunduk, menggeleng kecil lalu mengangkat wajah dengan seulas senyum paksa.
"Diminum dulu susunya, nanti kita makan malam, yah?"
"Rayhan nggak laper."
Ririn menghela napas, menyunggingkan senyum lebih lebar lalu berujar, "Uti ke sini, lho. Nggak enak, atuh."
Membuang muka, Rayhan menghembuskan napas kasar. Makan malam dengan lelaki itu? Rasa-rasanya sekarang Rayhan ingin sekali menendang lelaki itu pergi dari rumah ini, menjauhkannya dari bunda, bahkan menghapus statusnya sebagai ayah di akte kelahiran. Jangankan berada dalam satu meja, tinggal satu atap pun Rayhan sangat muak dan berang setengah mati. Bagaimana lelaki itu menghianati sang bunda sudah berhasil membuat hati Rayhan mengeras sekeras baja, hingga saat mengingat bahwa dia pernah merasa kagum pada sosok itu, Rayhan menyesal.
Ayahnya yang dia anggap super hero, ayahnya yang jadi anutan, ayahnya yang hebat tiada bandingan sekarang berubah menjadi lelaki banci yang tega menyakiti wanita setulus bunda.
Entah apa alasan kukuhnya bunda yang memilih untuk bertahan, membuat Rayhan bertanya-tanya tentang apa baiknya bersama dari sebuah hubungan yang memang sudah rusak ini. Padahal berpisah adalah cara terbaik untuk semua. Ayah bisa hidup bersama wanita gatel dan anaknya itu, sementara dia dan Bunda bisa melanjutkan hidup berdua dengan bahagia. Tetapi apa daya, jalan pikir dari sang bunda terlalu sulit untuk dimengerti. Tidak tegas, terlalu baik, dan selalu bersikap seolah tegar.
"Nanti Rayhan turun," jawabnya setelah diam cukup lama.
"Ya sudah, Bunda keluar dulu.
Jangan lupa diminum. Keburu dingin." Ririn bangkit, mencium pucuk kepala putra semata wayangnya sebelum keluar dari kamar luas bernuansa abu-abu dengan banyaknya komik dan action figure di lemari kaca; kasur king size bersprei biru laut yang mengarah ke jendela balkon; dan lemari baju besar di pojok ruang.Sepeninggalan Ririn, Rayhan kembali merebahkan badan jangkungnya. Berbalut celana hitam pendek selutut yang dipadu kaos oblong hitam longgar.
"Gimana caranya biar bunda ngerti kalo bajingan itu nggak pantes di pertahanin?" gerutunya kesal.
"Kamu kenapa pulang, si? Baru empat hari, lho, di sini."
Sayup rendah suara seorang perempuan yang sedang bercakap terdengar memecah hening yang singgah. Rayhan bangkit dari tidur, berderap ke arah balkon lewat jendela, kemudian berdiri sambil menopangkan kedua tangan di pembatas untuk menyapu pandang ke sekitar. Lampu-lampu putih yang sudah menyala terang di penjuru rumah, membuat wajah dua wanita di bawah---di taman belakang hasil kreasi bunda menjadi sangat kentara. Satu di antaranya bernama Maria---asisten rumah tangga di rumah ini yang sudah lama Rayhan kenal, tetapi cewek yang perkiraan seumuran dengan Rayhan---berjilbab hitam lebar dengan baju biru panjang dan rok hitam menyentuh tanah itu terasa tidak familiar. Rayhan yakin betul jika ini kali pertama dia melihatnya, tetapi tawa cerah yang terdengar riang itu langsung menarik perhatian untuk terus diperhatikan. Bermata bulat bening, wajah cantik yang ramah, dan lesung pipi manis di kedua pipi cubinya.
"Kamu tanya gitu udah enam kali, lho," jawab cewek berjilbab itu. "Jawabanku masih sama."
"Hasna, kamu kok tega sama aku." Maria terlihat memberengut, menggeser duduknya seakan sedang merajuk. "Aku suka banget temenan sama kamu. Kalo kamu pulang, ntar aku kesepian lagi."
Cewek bernama Hasna itu menggeser tubuh. Mendekat, lalu memeluk lengan Maria. "Kita masih bisa temenan, kok."
"Tapi kan jauh. Nggak bisa curhat-curhat lagi. Padahal keadaan rumah ini lagi panas, lho."
"Ish." Hasna menyenggol bahu Maria. "Jangan suka ngurusin hidup orang. Kita kerja itu nyari duit, jangan nyari cerita."
"Makanya kamu di sini aja. Jangan pulang."
Hasna menggeleng. Melepaskan tangan Maria. "Keputusanku udah bulat. Nggak bisa diganggu gugat.
Mau kamu nangis guling-guling pun keputusanku nggak berubah.""Tega banget, sumpah."
Hasna terkekeh, bangkit dari kursi besi putih taman sambil membetulkan bros di pundak kirinya. "Bakal lebih tega kalo aku nyiksa diri aku sendiri, Kak. Aku kan nggak betah, masa iya dipaksain terus. Kadang, kita perlu sedikit egois untuk beberapa hal."
Rayhan terus menyimak dan memperhatikan dua wanita beda penampilan itu. Bahkan saat keduanya pergi meninggalkan taman belakang, Rayhan masih bergeming di sana.
"Hasna?" Gumam Rayhan.
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang (End)
Spiritual#teen fic-spiritual C O M P L I T E D Rayhan Abimana merasa jika keputusan Bunda adalah hal salah, dan drama yang diciptakan Ayah membuatnya hilang arah. Lalu saat semua terasa buntu, Hasna datang dengan tawa cerah yang menariknya hingga berakhir di...