Sabtu pagi, di rumah besar nan megah dengan beberapa pilar menjulang ini diwarnai drama perpisahan yang dramatis. Hasna yang sudah bersiap dari subuh untuk pergi ke stasiun menuju kampung halaman ikut berkaca-kaca melihat Maria. Temannya itu menangis, bahkan semalam dia tidak mau tidur di tempat tidurnya. Terus menempel pada Hasna dan masih kukuh membujuk Hasna agar urung pulang dari sini. Memang, pertemanan keduanya baru berjalan selama sepuluh hari, tetapi kedekatan dan rasa nyaman membuat Maria tidak rela. Andaikan saja bisa, Maria ingin ikut bersama Hasna. Orang yang sudah dia anggap sebagai adik, teman, saudara, dan ... keluarga. Mengisi kekosongan di tanah rantau, bersedia mendengar curhatannya, dan tidak lupa memberi masukan yang selalu saja berguna.
Hasna memeluk Maria erat, membuat empunya kian terisak hingga jadwal keberangkatan Hasna harus diundur beberapa menit dari rencana. Ada rasa berat dan tidak tega, berada di rumah besar ini pun sebenarnya sudah bisa membuatnya nyaman. Akan tetapi ada amanah yang harus dia penuhi di kampung halaman, ada janji besar yang memaksanya harus kembali ke tanah kelahiran. Iya, sekarang ada orang yang ingin menanggung dirinya. Ada abi Umar dan umi Salamah yang mewanti-wanti Hasna untuk ikut bersamanya di pesantren Nurul Taqwa.
"Kamu jangan nangis, dong. Aku jadi nggak tega," kata Hasna, lirih. "Insya Allah aku bakal sering telpon kamu."
"Sumpah!" Maria menarik cairan di hidungnya. Suaranya parau karena menangis terlalu lama. "Aku bakal kesepian banget. Nggak ada lagi temen curhat buat ungkapin semua keluh kesahku."
Selama ini, Maria sangat susah akrab dengan orang. Beberapa teman sesama ART-nya dulu menganggap Maria itu menyebalkan karena terlalu banyak bicara, lebay, berlebihan, dan berbeda. Iya, Maria pernah mendengarnya secara tidak langsung waktu itu. Bahkan, ada salah satu yang pernah terang-terangan keluar dari tempat kerja karena tidak nyaman dengan Maria.
"Curhatin semua sama Tuhan-mu. Jangan jadiin aku sebagai sarana utama ngeluarin keluh kesah. Aku cuma manusia biasa yang kadang kala punya niatan buruk untuk mengumbar rahasia atau aib sesama," ujar Hasna, mengingat cerita almarhum bapak tentang seorang salaf yang melihat seseorang sedang berkeluh kesah pada orang lain, kemudian berkata;
إِذَا شَكَوْتَ إِلَى ابْنِ آدَمَ إِنَّمَا … تَشْكُو الرَّحِيْمَ إِلَى الَّذِي لاَ يَرْحَمُ
Jika engkau mengeluhkan (kondisimu) kepada anak Adam maka sesungguhnya... Engkau sedang mengeluh-kan Allah Yang Maha Penyayang kepada anak Adam yang bukan penyayang.
Maria mengurai pelukannya. Menggeleng kecil sambil sesenggukan. "Kamu temen yang baik, Na. Nanti kapan-kapan aku mau main ke tempat kamu, yah?"
Dengan senyum tulus disertai anggukan, Hasna mengelap pipi Maria mengenakan kerudung bergo jumbo warna hitam yang menjulur sampai pusar. Dipadukan dengan gamis abu-abu gelap panjang yang ujungnya sedikit menyapu ubin. "Nanti aku siapin dodol sama jalabia."
"Yang banyak," gurau Maria. Menaruh tas jinjing hitam Hasna di pundak kiri.
"Siap 45."
Setelahnya kekehan kecil menemani langkah keduanya keluar dari kamar sederhana yang letaknya di belakang. Menuju ruang tamu di mana Bu Ririn berada untuk berpamitan.
"Bu," panggil Hasna. Membuat Ririn lantas bangkit dari duduknya. Menghampiri Hasna dan Maria yang berdiri bersisian dengan raut tidak rela. "Hasna pamit ya, Bu. Maaf kalo Hasna ada salah, baik yang disengaja atau nggak disengaja. Makasih juga buat kebaikan Ibu dan keluarga."
Wanita ayu bergamis coklat dengan jilbab instan putih itu tersenyum, memeluk Hasna singkat. "Saya minta maaf juga, Na. Barangkali selama kerja di sini kamu merasa kurang nyaman."
"Sama-sama, Bu."
"Kamu mau ke stasiunnya pake apa?"
"Pakek taxi online," jawab Hasna. "Sudah dipesenin tadi sama Maria."
Ririn melirik Maria. "Udah deket?"
Maria mengeluarkan gawai di saku rok merah selututnya. Mengecek aplikasi---memastikan pertanyaan Ririn barusan. "Udah ada di sekitar sini, Bu. Delapan menit lagi sampe."
Mengangguk kecil, Ririn kembali menatap Hasna. Bertepatan dengan suara derit pintu dari pintu utama yang dibuka.
"Ray!" Panggil Ririn. Rayhan menoleh, mengangkat kedua alis tegasnya. "Kamu mau ke mana?"
"Mau ambil motor di kosan Udin, Bun. Kenapa?"
Rayhan mendekat saat Ririn melambaikan tangan. Tudung hoodie putihnya diturunkan dari kepala.
"Bunda boleh minta tolong?"
"Ngisi galon?" Tebak Rayhan.
"Bukan." Ririn terkekeh. Kebiasaannya meminta tolong Rayhan mengisi galon ternyata sudah bisa ditandai oleh sang putra. "Kamu anterin Hasna ke stasiun, yah?"
"Nggak usah, Bu," ujar Hasna cepat. Menggeleng tak enak. "Hasna sendirian juga bisa."
"Biar sekalian, lho. Kebetulan Ray juga mau keluar. Jadi sekalian nganter kamu sama bantu cek ini-itu. Takutnya kamu bingung, kan?"
"Iya, nggak papa, Na. Ibu ada benarnya juga, tuh," timpal Maria.
"Gimana, Ray? Mau yah?" Ririn menambahi. "Nanti kamu ke kosan Udin minta dijemput dari Stasiun. Pulangnya pake motor."
Rayhan menimang. Sebenarnya dia tidak keberatan jika memang harus mengantar Hasna ke stasiun. Hanya saja, cowok mancung itu bingung harus berinteraksi seperti apa. Sebab cewek seperti Hasna jelas akan risih jika berdekatan dengan laki-laki.
"Oke," jawab Rayhan akhirnya.
Ririn tersenyum senang. Mengambil alih tas jinjing di pundak Maria dan menuntun Hasna ke luar karena mobil jemputan sudah di depan gerbang. Diikuti Rayhan dan Maria, tentu saja.
"Tolong ya, Pak," pesan Ririn pada lelaki paruh baya. Mungkin berusia di atas lima puluh tahun, terlihat dari uban di rambut cepak dan kumis tipisnya.
Hasna masuk mobil biru itu setelah menyalami Ririn dan berpelukan singkat dengan Maria. Rayhan yang sudah dulu ada di dalam terlihat sedang asik bermain gawai.
"Pamit, yah. Assalamualaikum." Hasna melambaikan tangan, mobil yang ditumpanginya berderap perlahan meninggalkan kompleks perumahan elit ini.
Sepanjang perjalanan, Hasna tak henti-hentinya mengobrol ringan dengan pak driver di depan. Dari mulai saling menyebutkan nama yang mengalir ke beberapa hal lainnya.
Rayhan menyimak sambil bermain ponsel. Cewek di sampingnya ini sekarang sedang tertawa kecil menanggapi pak supir. Sampai tanpa sadar, perjalanan lima belas menit mereka telah tiba di tujuan.
"Terima kasih, Pak," kata Hasna setelah keluar dari mobil tepat di pinggir trotoar.
"Sama-sama, Neng. Kalo boleh, kasih bintang lima, yah?"
"Siap, Pak. Nanti saya suruh temen saya yang tadi mesenin supaya ngasih review bagus."
Setelahnya Hasna mengekori Rayhan di depan. Menyampirkan tas hitam berisi baju, dan tas selempang kecil warna putih di pundaknya.
"Rayhan!" Panggil Hasna. Berjalan tergopoh-gopoh menyusul cowok jangkung itu yang kontan menghentikan kaki, berdiri membelakangi. Hasna menempatkan diri di hadapan Rayhan, melanjutkan, "Makasih udah mau nganterin. Maaf kamu jadi repot."
"Nggak masalah."
Hasna tersenyum tipis, tak berani menatap mata Rayhan. "Aku pamit. Sampai jumpa lagi. Assalamualaikum."
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang (End)
Spiritual#teen fic-spiritual C O M P L I T E D Rayhan Abimana merasa jika keputusan Bunda adalah hal salah, dan drama yang diciptakan Ayah membuatnya hilang arah. Lalu saat semua terasa buntu, Hasna datang dengan tawa cerah yang menariknya hingga berakhir di...