part 6.

68 17 7
                                    

Rayhan membuka laci meja belajarnya. Cowok yang mengenakan kaos putih lengan panjang, dengan jeans hitam itu mengambil sebuah kertas brosur warna hijau yang terlipat rapi di sana. Terdapat beberapa foto kegiatan santri, foto bangunan dua lantai yang besar bernuansa islami, beserta halaman luas di depannya. Ada mushala di bagian timur bercat hijau pupus pisang, dan beberapa pemuda berpeci yang tengah berkumpul di terasnya.

Termenung cukup lama sambil memandang brosur yang dia terima dari supir taxi beberapa hari lalu---brosur milik Hasna---Rayhan menghela napas berat. Perkataan dari bocah kecil yang dia temui tadi masih terngiang di kepala.

Jadi, setelah bersitegang dengan bunda, Rayhan putuskan untuk keluar sekadar mencari udara segar. Duduk-duduk di cafe langganannya dengan segelas kopi yang bahkan tak bergeser sedikit pun dari tempat pertama kali pramusaji itu letakan. Eksterior kekinian serta dinding yang terbuat dari kaca transparan---mengarah langsung ke jalan raya membuat Rayhan betah berada cukup lama di sana. Menyorot lurus tanpa ekspresi pada setiap kendaraan yang melintas, atau pun lalu lalang manusia yang sibuk dengan urusannya.

Helaan napas dalam kembali mengudara. Obrolan bising pengunjung cafe yang semakin penuh membuat kepalanya terasa berdenyut. Rayhan bangkit, meninggalkan lembaran uang lima puluh ribuan yang diletakan di bawah cangkir putih mungil itu. Saat hendak menghampiri motornya di parkiran---paling pojok di antara mobil sedan hitam dan mobil sport merah---tanpa sengaja Rayhan menangkap sosok mungil yang tengah kesusahan hendak menyebrang jalan. Satu tongkat di tangan kanan, baju hitam kumal dengan celana kain biru muda sebatas lutut yang kotor dan lusuh.

Segera Rayhan menghampiri. Berdiri di sampingnya lalu menggandeng tangan kurus kering itu dengan erat. Merentangkan tangan guna memberi tanda pada setiap pengendara, Rayhan dan bocah laki-laki itu berjalan perlahan menerobos padatnya lalu lintas sore Jakarta.

"Makasih, Bang," ucap bocah itu sungkan. Gigi depan rumpang, rambut cepak yang sepertinya dicukur asal-asalan membuat Rayhan memperhatikan iba.

"Lo udah makan?" tanya Rayhan sambil memegang pundak kanan bocah setinggi perutnya itu. Bocah itu menggeleng kecil. Rayhan tersenyum ramah---serupa seperti yang Ririn punya. "Gimana kalo kita makan dulu?"

"Nggak bisa, Bang," jawabnya mantap. Rayhan mengernyit, menelisik wajah itu yang jelas sekali terlihat letih. "Bentar lagi azan ashar, aku mau ke Masjid dulu."

Rayhan sedikit tercenung mendengar jawaban itu. Menoleh ke kanan-kiri lalu menunjuk arah kanan dengan dagunya. "Masjid itu?"

Bocah itu mengangguk, menyamankan letak tongkat kayu di ketiak kanannya. "Mari, Bang."

"Eh!" Cegah Rayhan. "Gue anterin sampe sana. Nama lo siapa?"

"Oji, Bang."

Tanpa menunggu lama, mereka berdua berjalan dengan posisi Rayhan merangkul Oji. Membaur dengan pejalan kaki di trotoar sana sampai ke teras bangunan agung nan megah ini. Arsitekturnya kental bernuansa timur tengah dengan pilar besar yang berjejeran di samping kanan dan kiri, pintu kusen berlapis cat keemasan yang senada dengan kubah super besar di atasnya. Cat putih di setiap inci tembok bangunan bertingkat dua ini menambahkan kesan suci juga sakral.

Setelah Oji masuk ke dalam---bersama orang-orang yang kebanyakan laki-laki bersorban putih, Rayhan memutuskan untuk menunggu di luar, duduk di undakan Masjid itu sambil menopang kedua tangan di atas kedua lutut.

Tak lama, sekitar lima belas menit kemudian, para jama'ah keluar dengan raut berseri. Bocah lusuh itu ada di antaranya, menghampiri Rayhan bersama seorang bapak paruh baya ber koko biru muda yang membantunya.

"Terima kasih, Pak," ucapnya pada bapak baik tersebut.

"Sama-sama. Saya duluan. Mari."

Baik Rayhan maupun Oji, keduanya sama-sama mengangguk dengan senyum simpul.

"Abang masih di sini nungguin aku?" tanya Oji sambil memakai alas kaki.

"Kan, tadi gue ngajak lo makan."

Terkekeh senang, Oji berujar, "makasih, Bang. Ngomong-ngomong, Abang non Muslim?"

Rayhan menggaruk tengkuknya, menggeleng kikuk yang dibalas kernyitan dahi oleh Oji. "Nggak salat?"

Kedua bahu Rayhan diangkat tak acuh. "Allah lagi marah sama gue.
Percuma gue salat. Nggak didenger."

"Astagfirullah! Orang ganteng plus keren kayak Abang, kok, ngomongnya nggak keren, sih." Lantas Oji duduk di tempat Rayhan tadi. Dengan sedikit kesusahan meluruskan kakinya yang kurang sempurna itu. "Allah itu maha penyayang, Bang."

"Kalo maha penyayang, kenapa Allah memberi kesulitan pada hambanya?" Rayhan duduk di samping Oji sambil menautkan tangan di atas paha. Tatapannya lurus memperhatikan tiga bapak-bapak yang mengobrol di depan gerbang Masjid. "Lo anak yang saleh, tapi Allah malah memberi cacat." Di akhir kalimat, Rayhan menoleh ke arah Oji yang justru tersenyum untuk menanggapi ucapannya.

"Cobaan itu nggak mandang bulu, Bang. Karena bagi seorang muslim, nggak ada cobaan yang berupa hukuman, melainkan sebagai bentuk kasih sayang Allah pada hambanya. Oji pernah denger salah satu hadist, bunyinya gini kalo nggak salah, 'Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik maka dia akan diberi-Nya cobaan.' (H.R.Bukhari)

Sebab, cobaan itu bisa menggugurkan dosa, mengangkat derajat kita, dan membuat kita senantiasa dekat dengan-Nya. Rugi banget 'kan, pas diberi cobaan sebentar bukanya jadi ladang pahala malah jadi pintu ke neraka. Kufur dan ingkar nikmat yang sudah lebih lama Allah berikan dengan nggak mau salat. Padahal dosanya nggak main-main.

Satu kali nggak salat Dzuhur dosanya setara membunuh 1000 orang umat Islam. Satu kali nggak salat Ashar dosanya setara menutup atau meruntuhkan Ka'bah. Satu kali nggak salat Maghrib dosanya setara berzina sama kedua orang tua. Satu kali nggak salat Isya setara nggak dapet ridho tinggal di bumi atau di bawah langit serta makan dan minum dari nikmat Allah. Satu kali nggak salat Subuh setara masuk neraka selama 30 tahun, sedangkan satu hari di neraka sama dengan 60.000 tahun di dunia.

Naudzubillah ... padahal mati nggak ada yang tahu, dan amalan utama yang bakal dihisab itu salat. Kalau salat kita bener, semua amalan kita juga bener. Pun sebaliknya." Oji berhenti sejenak. Membuang napas dari hidung dengan senyum sendu. "Alm. Nenekku pernah bilang, katanya, 'semiskin atau secacat apa pun fisikmu, kamu akan menjadi sempurna dan merasa kaya jika iman selalu kau tetapkan dalam hati.'"

Saat itu, Rayhan benar-benar dibuat bungkam. Usia Oji yang tak lebih tua darinya justru menasehati dengan dewasa. Lalu setelah mentraktir Odi makanan, Ibam putuskan pulang. Kembali masuk ke kamar dan merenung panjang.

Dari luar, ketukan terdengar. Membuyarkan pikiran Rayhan. Lantas dia menghembuskan napas, menutup lagi laci meja belajarnya sebelum berderap untuk membuka pintu.

Bunda! Dengan senyum ramah seperti biasa. Membawa nampan berisi makanan dan susu kesukaan Rayhan.

"Bunda taruh meja, yah," kata Ririn memasuki kamar putranya. Meletakan nampan plastik bulat putih itu, lalu mulai memungut baju, bantal, selimut, dan buku yang berceceran. Meletakan kembali ke tempatnya, tak terkecuali pakaian Rayhan yang jelas akan dibawa ke belakang.

"Bun?"

Ririn memutar badan berbalut daster bermotif bunga warna kuning panjangnya. Tersenyum tipis menunggu ucapan Rayhan dilanjutkan.

Rayhan mendekat, menuntun Ririn agar duduk di ranjang. "Ada apa, Nak. Kamu sakit? Kok, badanmu panas gini," kata Ririn menelisik wajah sang putra.

Bukanya menjawab, Rayhan justru melingkarkan tangan ke pundak Ririn. Menduselkan kepalanya ke tengkuk bunda, mencari sebuah kenyamanan di sana.

"Maafin Rayhan, ya, Bun. Rayhan udah keterlaluan."

Ririn mengelus lengan kekar bayi besarnya itu. "Enggak, ini bukan sepenuhnya salah Ray, kok. Bunda ngerti. Sekarang Ray istirahat. Bunda mau ambil obat dulu."

"Ntar aja, Ray masih mau kayak gini."

"Ada yang lagi manja ceritanya, hm?" Goda Ririn, tertawa pelan.

Rayhan melepas rengkuhannya. Menatap wajah Ririn yang kali ini hanya berbalut ciput putih sebatas telinga. "Rayhan pengen mondok, Bun. Di Pondok Pesantren Nurul Taqwa."

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang