Hamparan sawah hijau membentang luas. Sekumpulan burung kecil yang sekadar singgah berterbangan saat angin menyapa dedaunan, serta tanaman kacang panjang yang berderet di pinggiran beberapa sawah menambah kesan sejuk dan asri sejauh mata mengedar.
Abi Umar sesekali menunjuk seseorang bertopi di ujung sana. Membisikan namanya pada Rayhan lalu meminta Rayhan melambaikan tangan untuk menyapa. Dengan senang hati Rayhan melakukannya, bersua kabar ala warga desa yang terkenal ramah tamah. Tidak sedikit orang yang memuji wajah Rayhan, bertanya di mana Rayhan tinggal, dan sudah berapa lama Rayhan mondok di pesantren Nurul Taqwa. Sambil tertawa kecil, abi Umar menanggapi semua pertanyaan yang diselingi guyonan. Rayhan yang berdiri di sampingnya hanya mengangguk membenarkan.
"Monggoh dilanjut, kula permisi," kata abi Umar santun. Kendati beliau adalah seorang kiai yang di segani, akan tetapi tutur katanya selalu sopan pada setiap orang. "Assalamualaikum."
"Mboten nderek ngopi riyin, pak Yai," sahut bapak-bapak di gubuk deket sana.
"Matursuwun, Pak. Mari."
Abi Umar berlalu setelah menganggukan kepala, ramah. Diikuti Rayhan yang melakukan hal serupa di belakangnya. Berjalan perlahan di pinggiran sawah yang nampak kering di belai kemarau panjang menuju gubuk di ujung sana. Gubuk kecil bermatrial bambu dan beratap daun kelapa kepunyaan saudara abi Umar.
"Gimana, sejuk toh?"
Rayhan menganguk. Duduk di samping abi Umar diatas bangku bambu yang tersedia di dalam gubuk tanpa pintu ini.
Suara berisik dari orang-orangan sawah bersahutan dengan suara tepok tangan disertai sorakan. Burung-burung kecil lantas terbang secara bersamaan, menciptakan harmoni indah di langit biru yang tersenyum cerah.
"Ayahmu tau kamu ke pesantren lagi?"
Sudut bibir Rayan yang terangkat tipis perlahan pudar. Raut wajahnya berubah keruh sambil menyorot datar. Pikirnya, untuk apa melibatkan lelaki itu dalam urusan ini. Toh, tidak berpengaruh juga bagi Rayhan. Bunda sudah tidak ada, bukankah sekarang Rayhan sendirian?
Abi Umar menghela napas. Menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan murid didiknya itu. Melingkarkan tangan di punggung Rayhan lalu mengusap lengannya pelan. "Jangan gitu, Nang. Ayahmu pasti khawatir. Telpon dia, minta izin, sebab ridho Allah ada pada ridho orang tua."
"Apa nggak ada orang tua yang durhaka sama anak, Abah? Kenapa selalu anak yang harus tunduk meski sudah didustai?"
Mendengar pertanyaan polos muridnya itu, abi Umar lantas terkekeh pelan. Menggelengkan kepala lalu mengeratkan tubuh itu agar lebih rapat dengan badan gemuknya. "Ada. Orang tua yang durhaka sama anak itu ada."
Rayhan menoleh, menatap wajah keriput yang terlihat ramah itu dengan seksama. Abi Umar mengangguk samar dengan senyum, menyorot hamparan hijau di depannya. "Satu, orang tua yang memberi nafkah dari hasil kerja, atau usaha yang haram. Dua, orang tua yang merendahkan anaknya (menelantarkan). Tiga, orang tua yang tidak memberikan teladan baik pada anak. Seperti tidak mengajari salat, berpuasa, mengaji, dan mengenal islam. Empat, orang tua yang melarang anaknya menikah dengan orang sholeh atau sholehah hanya karena tidak punya harta dan tahta." Abi Umar menepuk-nepuk lengan atas Rayhan. Masih merengkuhnya seolah tidak ingin cowok berkaos hitam panjang itu bergeser sedikitpun. "Apa ayahmu ada di antara ciri-ciri tadi?" Di akhir kalimat, abi Umar menoleh ke arah Rayhan.
Tidak ada yang bisa Rayhan katakan. Dia hanya menatap tanah kemerahan kering di bawahnya. Rasanya ayah tidak pernah melakukan pekerjaan haram, merendahkan Rayhan pun tidak pernah. Belajar salat, ngaji, puasa, itu juga sudah Rayhan dapat dari ayah dan bunda.
"Abi memang enggak tau apa yang Rayhan rasakan, tapi abi pernah muda, pernah punya pikiran kaya Rayhan, dan sekarang abi sudah tua, sudah tau rasanya jadi ayahmu. Suatu saat Rayhan pun akan jadi seorang ayah, orang yang mati-matian nyari nafkah halal untuk anak dan istrinya. Terus ...."
"Apa menghianati istri dibenarkan dalam Islam?" potong Rayhan cepat. "Bukankah itu nggak adail?"
Angin kembali berembus kencang, suara kaleng dari orang-orangan sawah pun ikut menemani percakapan.
"Apa bener ayahmu menghianati Bunda?"
"Jelas!" Tanpa sadar suara Rayhan meninggi. Kedua tangan terkepal berang. "Ayah selingkuh."
Lagi, abi Umar terkekeh.
"Poligami sama selingkuh itu beda, Nang. Kalo selingkuh cuma sebatas hubungan, dan dilakukan di belakang. Sementara poligami adalah hubungan didasari ikatan sah pernikahan yang dilakukan seorang pria yang sudah beristri. Islam memperbolehkan poligami, asal suami itu bisa berlaku adil, dan atas seizin dari sang istri. Kamu tau, Ray, apa hadiah dari Allah untuk istri yang sabar dan tetap ta'at pada suaminya?" Abi Umar berhenti sejenak. Lalu melanjutkan,
"إذا صلت المرأة خمسها وصامت شهرها وحصنت فرجها وأطاعت زوجها قيل لها : ادخلي الجنة من أي أبواب الجنة شئت
'Jika seorang wanita menunaikan salat lima waktu, berpuasa (pada bulan Ramadhan), menjaga kemaluannya, ta'at kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu sukai."
"Apa berarti setiap wanita yang mau dipoligami masuk surga?" tanya Rayhan menautkan alis.
"Perkara surga atau enggak, itu wallahua'lam. Hanya saja, dari hadist sahih tadi, wanita yang dimaksud adalah wanita solehah yang ta'at pada suaminya. Sebab ta'at pada suami itu ibarat pintu, dan ta'at pada Allah adalah kunci dari pintu tersebut. InsyaAllah."
Perlahan tatapan Rayhan melunak. Anak itu menunduk. Matanya berkaca-kaca mengingat wajah sang bunda. Bunda, apa ini sebabnya bunda kukuh, memilih bertahan sampai saat terakhir?
"Nang." Abi Umar bersuara lembut. "Jika Ayahmu sudah membuatmu sakit hati, maafkan beliau. Luruskan semuanya sebelum terlalu jauh. Kembalilah menjadi putra kebanggaan, hormati, dan muliakan ayah seperti yang seharusnya. Sebab beliau juga sangat kehilangan bunda, wanita yang sudah lama mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Menjajaki pahit manis rasanya kehidupan. Tidak apa kalo kamu sebel sama Abi karena banyak ngomong, dan sok tau. Tapi sebagai gurumu, Abi menanggung dosa besar kalo membiarkanmu tersesat sendirian. Alm. Bu Ririn dan orang tua semua santri menitipkan tanggungjawabnya di sini." Abi Umar menepuk pundaknya. "Di pundak Abi. Jadi, Abi tidak akan bosen ngingetin kamu atau santri lain untuk melakukan hal benar. Telpon ayahmu, Nang. Ikhlaskan semua, yakin jika Allah adalah sebaik-baiknya penyusun skenario untuk hambanya."
Tbc ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang (End)
Spiritual#teen fic-spiritual C O M P L I T E D Rayhan Abimana merasa jika keputusan Bunda adalah hal salah, dan drama yang diciptakan Ayah membuatnya hilang arah. Lalu saat semua terasa buntu, Hasna datang dengan tawa cerah yang menariknya hingga berakhir di...