part 3.

88 15 0
                                    

Makan malam bersama, jelas jauh dari harapan, di mana tak ada percakapan harmonis, suasana hangat, dan raut bahagia di setiap individunya. Karena yang ada hanyalah sebuah kecanggungan, seolah pagar sekat menjulang tinggi di antara meja makan bundar yang besar itu. Makanan lezat yang seharusnya menggugah selera pun serta merta berubah menjadi hambar, pahit, bahkan memuakkan. Rasa syukur yang seharusnya terucap atas nikmat rezeki dari Allah terkubur oleh besarnya ego yang menguasai jiwa.

Rayhan bangkit dengan mendorong kursi kasar, rahang tegasnya mengerat diiringi napas yang seperti tertahan.

"Mau ke mana, Ray? Habiskan dulu makanannya," kata uti Anjani. Wanita tua berkacamata yang duduk tepat di samping Wisnu---berhadapan dengan kursi Rayhan.

"Rayhan enek, pengen muntah," sarkas Rayhan, mlirik tajam pada sang ayah.

Mendengar itu, Ririn bangkit. Menyibak poni Rayhan yang sudah lebih tinggi darinya dengan cemas. "Kamu sakit, Ray?"

''Lebih dari sekedar sakit, Bun. Hancur." Kata hancur ditekankan. Wisnu yang sepertinya tau arah ucapan putranya lekas meletakan sendok dan garpu ke piring. Menatap manik sang putra yang langsung dibalas sorotan tajam penuh kilatan kebencian oleh Rayhan. "Ray ke kamar dulu."

Ririn hanya tersenyum tipis.
Dia tahu betul jika Rayhan memang menderita di posisi sekarang. Dimana anak seumurnya yang dipaksa mengerti keadaan yang suami dan dirinya sebabkan. Masalah pelik yang jelas masih jauh dari jangkauan remaja, perpisahan yang dikira mudah, bertahan yang dianggap bodoh. Ririn tau itu semua, tetapi berpisah tidak lebih baik dari mencoba sabar dan tawakal pada Sang Khaliq. Karena sejatinya, Allah selalu memberi cobaan disertai dengan solusinya.

"Ya sudah. Tapi jangan langsung tidur, ya, Ray. Makruh."

Dengan langkah lebar, Rayhan keluar dari ruangan besar bergaya simple dan minimalis yang didominasi warna putih, serta coklat pada meja, kursi, juga lemari gantung di dapur kecil yang menyatu dengan ruang makan. Dia menuju taman belakang rumah lalu segera melepas kaos hitamnya dan dilempar asal ke rerumputan.

"Bangsat!" teriaknya sambil menendang udara. Lalu memukul samsak tinju yang memang sudah ada di sana dengan brutal, melampiaskan amarah yang dia tahan selama kurang dari sepuluh menit berada di satu meja bersama Wisnu. "Dasar keparat!"

Cowok itu meraup wajahnya kasar, berjongkok dengan wajah tertunduk serta napas yang naik turun tak beraturan. Situasi ini benar-benar membuat dadanya sesak. Ibarat sebuah wadah yang diisi ranjau lalu ditutup rapat dengan pita merah muda bersimpul cantik dan menawan. Memaksanya terus meredam bom waktu yang siap meledak kapan pun diberi kesempatan.

Rayhan menghela napas dalam berkali-kali, mengusap ekor matanya yang basah lalu lekas memungut baju dari tahan.

"Astagfirullah!" Seseorang menjerit dari belakang.

Rayhan terkesiap dan lekas membalik badan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang cewek sedang menutup matanya dengan kedua tangan.

"Maaf, aku mau nyari bandul brosku yang jatuh," kata Hasna sedikit mengintip dari balik ruas jarinya. Mengerjap-erjap kemudian terpejam sangsi.

Rayhan segera memakai baju, menutup badan putih atletis yang jelas saja mengundang syahwat bagi yang melihatnya. Berdeham beberapa kali, Rayhan sedikit menyingkir guna menambah jarak. Dis menggaruk belakang kepalanya dengan kikuk. "Lo udah bisa buka mata."

Hasna melepaskan napas yang sejak tadi terasa tertahan, menggigit bibir bawahnya lalu mengangguk. Menundukkan wajah dan lekas mengais rumput menggunakan kaki beralas sandal jepit warna pink.

Demi apa pun, sekarang hatinya sedang jumpalitan. Entah kenapa musibah barusan justru terasa seperti ... berkah.

Eh!

Astagfirullah, Hasna beristighfar dalam hati. Mencoba menghilangkan bayangan roti sobek yang tadi dia lihat beberapa detik itu.

"Nggak ada yah. Em... kayaknya jatuh di kamar mandi, deh," gumam Hasna keki.

"Ini?" Hasna mendongakkan pandang saat suara Rayhan menginterupsi. Namun baru sebentar wajah cewek itu kembali tertunduk sambil mengangguk kaku. "Tadi ada di deket kursi."

"Ah, iya, makasih." Sedikit rikuh Hasna menerima bandulan bulat warna biru langit yang Rayhan ulurkan. "Makasih sekali lagi."

Kemudian Hasna berbalik badan. Melangkah buru-buru sampai sesekali menginjak roknya sendiri.

***

"Astagfirullah, mataku udah nggak perawan," gumam Hasna, mengusap matanya beberapa kali. "Ya Allah... mimpi apa aku semalam sampe lihat kek beginian."

Maria yang datang dengan tiba-tiba hampir saja membuat Hasna histeris sangking takutnya. Temannya itu memakai baju putih dengan rambut panjang yang terurai. "Kamu itu ngagetin!" Pekik Hasna, mengelus dada sambil beristigfar lirih.

Terkekeh kecil, Maria memukul pelan lengan Hasna. "Maaf, habisnya kamu ngelamun di depan kamar mandi. Kesurupan ntar."

"Ish, siapa yang ngelamun.
Wong aku mau wudhu."

"Wudhu?" Maria mengerutkan dahi. "Bukannya tadi kamu udah salat, ya?"

Hasna mengangguk, melepaskan jilbabnya---menyisakan ciput putih yang membebat kepala. "Iya, wudhu sebelum tidur itu disunahkan dalam agamaku."

"Sunah?" Maria membeo.

"He'em. Hal yang kalo dilakuin itu dapat pahala, tapi kalo ditinggalin ya nggak papa. Nggak dosa."

Maria hanya mengangguk-anggukan kepala. Menyingkir dari ambang pintu untuk memberi jalan pada Hasna. Kepercayaannya yang berbeda dari temannya itu kadang membuat Maria suka bertanya-tanya banyak hal. Terlebih saat menyadari Hasna yang selalu bangun tepat jam tiga dini hari. Meski berbeda, tetapi berteman dengan Hasna selalu membuatnya merasa nyaman. Cewek mungil itu tidak pernah menyebut dalil-dalil yang jelas tidak Maria tahu saat menjawab pertanyaan tentang agama Islam. Semua dijelaskan tanpa menyudutkan, atau mengunggulkan sebelah pihak.

"Udah. Kamu mau ke kamar mandi, 'kan?" tanya Hasna begitu keluar dari kamar mandi. Wajahnya basah, kedua lengan bajunya juga nampak basah di bagian ujungnya.

"Aku nggak mau ke kamar mandi," jawab Maria, membuat alis Hasna bertaut. "Aku ke sini karena bingung mau ke mana."

"Bingung kenapa?"

"Bu Ririn sama uti lagi ngobrol di dapur. Kayaknya serius banget," bisik Maria was-was.

Hasna tersenyum. Menggandeng tangan Maria untuk menjauh dari sana. Rupanya ucapan sederhananya waktu itu tentang ruginya mencampuri urusan orang benar-benar didengar dan diaplikasikan oleh Maria---wanita yang dua tahun lebih tua dari Hasna.

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang