Acara haul di pondok Pesantren Nurul Taqwa begitu meriah. Dihadiri banyak sekali ulama-ulama dari berbagai kota. Semua santri dan santriwati juga berkumpul dalam satu tempat---menyiapkan dan mengontrol apa-apa saja yang diperlukan di sana. Aroma khas minyak misik, busana muslimah, serta suka-cita dari warga sekitar yang ikut menyemarakan acara sukses membuat pelataran Pesantren Nurul Taqwa sesak padat. Karpet merah terbentang luas sepanjang mata memandang, sekat kain berwarna biru setinggi setengah meter menjadi pembatas akhwat dan ikhwan.
Di atas panggung besar dengan backround banner gambar Pesanten Nurul Taqwa, abi Umar dan para ulama lain tengah duduk bersila, menundukkan wajah serta menggulir butiran tasbih di jari-jemari tangan kanan. Kompak berbusana serba putih, para ulama-ulama di depan sana nampak khusuk memanjatkan do'a yang diiringi ucapan 'Aamiin' oleh setiap pengunjung.
Atmosfer sakral menguar sangat kentara saat suara asmaul husna yang dilantunkan bersama kian terdengar khidmat. Berbagai kalangan, berbagai usia, berbagai ras suku berkumpul menjadi satu kesatuan. Sama rata tanpa pembeda. Memanjatkan doa untuk sanak saudara yang sudah tiada, menyambung ukuah islamiah, juga ajang temu dengan para guru Besar sebagai bagian dari mencari ridho Allah melalui mereka.
Rayhan dan Abian duduk di antara santri putra dan bapak-bapak di bagian kanan. Sementara bagian kirinya di isi oleh para perempuan yang terlihat hanyut dalam suasana. Bahkan banyak di antara mereka yang menangis haru dan tersentuh, membuat Rayhan beberapa kali melirik saat celah dari sambungan kain pembatas tersingkap hembusan angin.
Hasna, gadis mungil itu juga terlihat tersedu-sedu---duduk tak jauh dari Rayhan bersama Halimah dan mbak Yumna, menundukan wajah sambil sesekali menyeka air mata.
Rayhan iri melihat itu. Dia merasa jika mungkin hatinya sudah terlalu keras hingga tak bisa seperti para wanita-wanita itu, atau beberapa teman Rayhan yang ikut menundukkan wajah sangat dalam. Termasuk Jaka, anak itu tidak sedikitpun mengangkat wajah dari kertas do'a di pangkuannya. Rasa takut akan mengerasnya hati membuat Rayhan gelisah. Dia tahu jika seburuk-buruknya manusia adalah manusia yang berhati mati, seperti sabda Rasulullah; 'Ketahuilah, dalam tubuh manusia itu terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, seluruh tubuh akan baik. Jika daging itu rusak, seluruh tubuh juga akan rusak. Ingatlah, segumpal daging itu adalah sebuah hati” (HR Bukhari dan Muslim).
Rayhan ingat betul tiga belas ciri-ciri hati yang mati, yaitu;
1. Tidak gelisah saat meninggalkan ibadah.
2. Berani meninggalkan shalat.
3. Tenang saat melakukan dosa.
4. Tidak tersentuh saat mendengar ayat Al-Qur'an.
5. Terus menerus berulang maksiat.
6. Sibuk mengumpat, fitnah, dan berburuk sangka.
7. Membenci nasihat baik dan para ulama.
8. Tidak ada rasa takut akan peringatan kematian, kuburan dan akhirat.
9. Gila pada dunia tanpa takut dosa.
10. Senang melihat orang susah dan menderita.11. Tidak pernah bersyukur pada Allah.
12. Tidak berbakti pada orang tua (suami jika sudah berkeluarga.)
13. Selalu memiliki rencana keburukan.Astagfirullah. Rayhan mengusap wajahnya sambil beristigfar beberapa kali. Menyadari banyak sekali ciri-ciri dari hati mati pada dirinya. Cowok berkoko putih itu menghembuskan nafas dalam. Dadanya terasa penuh dengan perasaan bersalah dan menyesal pada bunda, satu nama yang Rayhan sebut dalam doa panjangnya. Teman, mereka yang sekarang Rayhan sesalkan karena tidak pernah dia ingatkan untuk kebaikan, malah kadang kala Rayhan sendiri ikut terjerumus berbuat ke maksiatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang (End)
Spiritual#teen fic-spiritual C O M P L I T E D Rayhan Abimana merasa jika keputusan Bunda adalah hal salah, dan drama yang diciptakan Ayah membuatnya hilang arah. Lalu saat semua terasa buntu, Hasna datang dengan tawa cerah yang menariknya hingga berakhir di...