"Emm ... aku denger dari Abi Umar kalo Bu Ririn lagi sakit." Hasna menatap Rayhan dengan cemas. Wajah kuyu dan lingkar mata yang kentara membuat cowok yang duduk di depannya ini terlihat kacau sekali. Sorot mata yang layu juga menyiratkan beban berat yang tengah mengganjal hati. "Gimana keadaannya?"
Rayhan tersenyum tipis, menyesap minumannya sebelum menjawab pertanyaan Hasna. "Alhamdulillah baik. Insya Allah lusa kita berangkat ke Amerika untuk berobat."
Pernyataan Rayhan sontak saja membuat hati Hasna berdesir kecewa. Akan tetapi, mendengar ikhtiar cowok itu untuk kesembuhan sang bunda membuat Hasna ikut senang. Bu Ririn adalah orang yang baik, orang yang Hasna anggap seperti orang tuanya sendiri. Kendati pertemuan mereka hanya sebentar, tetapi aura keibuan dari Ririn berhasil membawa Hasna kembali pada kehangatan almarhumah Ibu.
"Kamu apa kabar?" tanya Rayhan, mengganti sapaan untuk Hasna agar menjadi lebih akrab. "Mau ada acara di pesantren, ya?"
"Eh?" Hasna mengangkat alis setengah dengan raut bingung.
"Kamu belanja itu." Wajah Rayhan sedikit melongok untuk melirik plastik hitam di samping kaki Hasna. Tadi saat mobil Rayhan melintas hendak ke pondok pesantren, tanpa sengaja dia melihat Hasna yang sedang berdiri di trotoar di antara lalu lalang pejalan kaki sambil membawa banyak belanjaan. Rayhan pun turun dari mobilnya, mengajak Hasna agar mau diantar yang malah berakhir di warteg ini. Mereka memesan minuman dan makanan sekadarnya untuk menemani perbincangan yang ingin Rayhan lakukan. Jujur saja, Rayhan rindu dengan mata bulat yang bening, hidung mungil yang lucu, juga tawa riang Hasna yang hangat.
"Oh." Hasna tersenyum. "Besok tamunya Abi Umar mau dateng. Aku disuruh belanja buat suguhan."
"Siapa? Kamu kenal?"
"Enggak, sih." Hasna mengaduk teh manis di gelasnya dengan sedotan, masih tak lepas dari pandangan Rayhan yang tersenyum tipis di hadapannya. "Tapi kata Abi Umar aku harus ikut," lanjutnya.
Manautkan alis, Rayhan menegakkan punggung yang sedari tadi bersandar penuh pada tiang semen di belakangnya. Diletakkannya kedua tangan yang bertaut di atas meja. Siapa tamu Abi Umar itu? Bukannya semua saudara dari kedua orang tua Hasna asli daerah sini?
"Ray?" Hasna menjauhkan mangkok mi ayam bagiannya yang bahkan belum disentuh sedikit pun. Rayhan mengangkat alis, menunggu apa yang sedang cewek itu ambil dari saku rok cokelatnya. "Ini buat nemenin kamu di pesawat."
Sebuah tasbih kecil berwarna biru langit mengilap Hasna ulurkan. Sama halnya seperti bros yang pernah Rayhan kasih, pun krudung biru pemberian Ririn, Hasna juga ingin bisa memberikan sesuatu sebagai balasan. "Nggak mahal, tapi ...."
"Makasih," potong Rayhan. Menerima tasbih itu dengan senyum lebar. Perasaan sedih yang berkecamuk dalam dada perlahan mereda. Rasa nyaman saat berada di dekat bunda juga Rayhan rasakan pada diri Hasna. "Pasti gue jaga sebaik mungkin. Makasih sekali lagi."
Pipi Hasna bersemu merah, tersenyum malu-malu sambil mengangguk. Hatinya terasa hangat melihat senyum manis Rayhan yang kembali menghiasi wajah rupawannya. Kesedihan yang tersirat jelas pada sorot mata cowok itu sedikit berkurang sekarang.
•••
Mobil hitam itu melaju cepat membelah jalan raya, membaur dengan kendaraan lain yang terlihat sedikit padat dari biasanya. Rayhan menekan klakson pada mobil depan yang berhenti sembarangan di ruas tol, membuka kaca mobil lalu melongokkan kepala.
Seorang bapak-bapak berperawakan gemuk dengan perut buncit mendekati mobil merah di depan sana, memasuki kendaraan itu sebelum beberapa saat kemudian melaju, membuat mobil Rayhan dan beberapa kendaraan di belakangnya bisa kembali jalan.
Rayhan menggigit bibir bawahnya. Perasaan yang tiba-tiba berubah cemas memaksanya untuk segera pamit pulang ke Jakarta setelah meminta izin pada pihak sekolah, Abian, dan Abi Umar. Rayhan terus kepikiran bunda. Takut sekali jika sesuatu terjadi di sana, ditambah dua riwayat panggilan tak terjawab dari uti sebelum HP-nya mati karena kehabisan daya.
Mata cowok itu bergerak-gerak cepat memperhatikan jalan. Dia membuang napas berat sambil terus beristigfar, berdoa agar apa pun perasaan aneh yang sekarang singgah bukanlah pertanda buruk bagi dirinya.
Lima jam lebih perjalanan, akhirnya Rayhan sampai di depan bangunan berlantai empat ini. Matahari yang mulai tenggelam di peraduan dan belaian angin semilir dari pohon cemara di depan rumah sakit tak mampu menenangkan hati Rayhan. Kendati sang raga terasa payah, kegundahan membuatnya kian memburu langkah. Saat dilihatnya ayah, ibu tiri, serta uti duduk di kursi panjang depan ruangan bunda, Rayhan berlari agar segera mendekat ke sana.
"Bunda mana?! Kenapa kalian nunggu di depan?" tanya Rayhan dengan napas putus-putus.
Wajah itu, mata itu .... Rayhan menggeleng. Tidak mungkin bunda kenapa-kenapa, kan? Tidak! Bukan sekarang, Rayhan belum siap untuk kemungkinan apa pun.
Perlahan air mata Rayhan berjatuhan. Kakinya yang bergetar dan lemas total membuat raganya segera bersandar pada tembok. "Bunda," gumamnya.
Anjani bangkit, mendekat pada Rayhan dengan sedikit terpincang karena rematik di kaki kirinya kambuh. Wanita keriput berjilbab putih itu memeluk Rayhan, mengusap punggungnya sambil berusaha memberi wejangan agar sang cucu sabar dan tenang. Meskipun dia sendiri merasa runtuh seruntuh-runtuhnya sekarang. Menantunya sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam ruangan dingin itu, ditemani alat medis dan para dokter sebagai perantara dari Allah untuk membantu.
"Sabar, sayang. Bunda pasti baik-baik aja."
Rayhan menggeleng, menutup wajahnya menggunakan tangan kanan diiringi isakan yang tersendat. Dilepaskannya pelukan itu, lantas diluruhkannya badan ke lantai sambil menarik napas dalam.
"Serahkan semuanya pada Allah. Berserah, tawakal!
وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
'Dan milik Allah lah seluruh rahasia langit dan bumi, dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak pernah lengah dari apa yang kamu kerjakan.' (Q.S Hud: 123)."
Kata-kata Ustaz Maulana saat khotbah Jumat lalu serta satu ayat yang dibacakannya waktu itu terbesit. Terngiang semakin jelas memenuhi kepala Rayhan. Membungkam semua suara dari orang-orang yang silih berganti melewati lorong ini seraya menatap penuh iba. Sebuah tasbih dari saku Rayhan ambil. Digulirnya tasbih itu dengan wajah basah yang menunduk dalam. Berzikir.
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang (End)
Spirituelles#teen fic-spiritual C O M P L I T E D Rayhan Abimana merasa jika keputusan Bunda adalah hal salah, dan drama yang diciptakan Ayah membuatnya hilang arah. Lalu saat semua terasa buntu, Hasna datang dengan tawa cerah yang menariknya hingga berakhir di...