part 16.

32 15 0
                                    

Suara ribut dari sepatu yang menghantam keras ubin putih itu bersahutan dengan sayup rendah obrolan pasien dan sanak saudaranya di lorong panjang berpilar. Aroma obat semerbak menghunus penciuman. Hilir mudik brankar yang didorong cepat menimbulkan bunyi yang memekakkan.

Rayhan memacu langkah, tergesa. Wajahnya merah, air mata yang hampir tumpah. Dipaksanya raga lemas itu untuk terus tegap. Hati yang remuk redam berusaha ditegarkan dengan sugesti penyemangat. Cowok berkaus hitam dengan jeans berwarna senada itu sesekali menggeleng kecil, menyeka air matanya kasar menggunakan lengan sambil menghela napas berat berulang kali.

Sampai di depan pintu kayu cokelat bertuliskan Ruang Cempaka, Rayhan kembali menghela napas sebelum tangannya yang semakin gemetar meraih kenop pintu. Dalam hati yang gusar, kalimat istigfar terus terlafal, meyakinkan diri jika apa yang terjadi sekarang tidaklah benar. Pembicaraan singkat yang akhirnya Rayhan lakukan dengan ayah kemarin hanya rekayasa dan guyonan. Bunda baik-baik saja, bunda tidak mungkin sakit separah ini tanpa memberitahunya, bunda pasti hanya demam biasa, bunda ....

Rayhan mematung di ambang pintu bersama deraian air mata. Tenggorokannya serasa tercekat. Lidahnya getir disertai sesak yang teramat. Bunda, orang yang biasa menyambut kedatangan Rayhan dengan senyum lembut kini tengah terbaring lemah di ranjang pesakitan. Berhiaskan selang infus di punggung tangan kanan, bunda tampak damai dibalut selimut putih yang membebat separuh badan.

Sangat pelan Rayhan melangkah, menguatkan seluruh persendian yang lemas total agar kuat menopang berat badan.

"Bunda," gumam Rayhan, memperhatikan setiap lekuk wajah ayu sang bunda yang kehilangan rona. Mata itu memejam rapat. Bibir yang biasa melengkung manis kini terkatup pucat. Rayhan memejam saat kilasan di mana sang bunda menangis karena ulahnya terbayang jelas. Rasa sesal yang semakin mengungkung batin tak ayal menimbulkan kata bersalah di benak Rayhan.

Dasar anak nggak berguna lo, Ray. Tolol!

•••

"Mau apa Anda ke sini?" Rayhan menatap sinis ke arah Wisnu, melayangkan tanya yang terdengar kasar hingga Wisnu hanya bisa diam dengan helaan napas yang tertahan. "Saya tidak punya banyak waktu. Jadi, segera utarakan maksud dan tujuan Anda."

Suasana kantor pengurus yang sengaja dikosongkan untuk memberi ruang bagi pasangan anak dan ayah ini terasa menyempit. Keheningan yang tercipta cukup lama membuat atmosfer panas kian kentara. Rayhan sama sekali tak beralih pandang dari sorot kesal ke sembarang tempat, sementara sang ayah terpaku dalam pikiran yang bercabang. Kata-kata dalam kepala lelaki berkepala empat itu seakan lesap diserap ruang hampa. Bibir yang sudah dipersiapkan untuk melontar kata mendadak kelu.

Apa yang harus dilakukan sekarang? Wisnu tidak tahu. Cara meyakinkan sang putra tentang apa yang akan dia sampaikan pun mendadak mengambang. Sekali lagi embusan napas berat mengudara, berbaur dengan suhu ruangan yang hanya difasilitasi jendela terbuka sebagai pendingin. Wisnu berdeham, menetralkan keraguan yang bertamu di hatinya. Bangkit dan berpindah tempat ke samping Rayhan, tangan beratnya bertaut di atas paha.

Rayhan mengerlingkan mata, memasang raut tidak suka yang masih bertahan dari detik awal bertatap muka. Apa pun perihal yang ingin ayah sampaikan, dia berharap itu bukan sesuatu hal yang bisa membuatnya naik pitam, seperti basa-basi sekadar berucap rindu layaknya seorang ayah luar biasa. Jengah, Rayhan jengah.

Lama terpaku dalam diam, Rayhan memutuskan bangkit dari sofa biru muda yang meski terbuat dari busa, tetapi terasa keras untuk diduduki berlama-lama.

"Rayhan." Wisnu angkat bicara, menghentikan tungkai jenjang Rayhan beranjak dari sana. Bangkit dengan perasaan campur aduk, Wisnu memberanikan diri meraih kedua pundak sang putra. "Kita duduk dulu. Ada hal penting yang harus ayah omongin."

"Hal penting apa!" Suara Rayhan dingin. Dia mengenyahkan tangan berat itu secara kasar. "Ayah mau cerai sama wanita jalang itu?"

Tak bisa dimungkiri jika ucapan Rayhan sedikit memantik emosi Wisnu. Wanita yang sudah resmi menjadi istri dan ibu bagi anak keduanya jelas tidak pantas disebut jalang, apalagi oleh Rayhan---anak sulung dari istri pertamanya. Berusaha menebalkan sabar, lelaki berkemeja hitam dengan celana kain abu-abu tua itu kembali duduk, diikuti Rayhan yang duduk di samping dengan gamang dan segan.

"Bunda sakit," kata Wisnu lirih. Rayhan menautkan alis, menatap wajah Wisnu yang terlihat sendu dengan debaran yang perlahan tidak karuan. Wisnu membuang napas. "Hepatocellular carcinoma."

Mata Rayhan memicing. Wajahnya memerah. Tulang rahang yang mengerat hingga urat di lehernya terlihat jelas. Apa-apaan ayah ini? Tega sekali mengatakan jika bunda memiliki penyakit mematikan itu. Apa sebenci ini ayah pada bunda?

"Jangan membual!" gertak Rayhan penuh emosi. "Anda ingin berdrama dengan saya?!"

"Ray!" Wisnu meraih pundak Rayhan yang mulai menegang. "Ayah bukan orang tolol yang sudi mengarang cerita hanya karena ingin menarik anak lelakinya. Ini kanker, bukan penyakit remeh yang bisa dengan mudah Ayah atau bunda omongin ke kamu. Ayah tau kalo posisi Ayah memang sudah hilang, tapi untuk yang satu ini, Ayah tidak mau menanggung sesal karena tetap diam. Kamu berhak tau!"

Untuk sesaat Rayhan bergeming dengan suara lara yang membawanya pada jurang nestapa. Air mata yang berlinang perlahan meluruh. Persendian di sekujur tubuh seolah kehilangan fungsi untuk digerakkan. Lemas total. Semua hancur. Rencana masa depan beserta bunda di dalamnya lebur bahkan sebelum selesai dibangun. 

Apa ini, ya Allah? Kenapa harus bunda, wanita paling berharga yang menjadi tujuan hidupnya?

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang