part 9.

63 17 0
                                    

"Shadaqallahulazim." Jaka menutup Al-Qur'an, mencium sampulnya selama beberapa detik sebelum meletakkannya kembali ke dalam lemari kaca di pojok mushala.

Rayhan yang sejak tadi bersila di samping Jaka, menyimak setiap ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dilantunkan sangat merdu oleh Jaka---suara serupa yang Rayhan dengar saat berkeliling pesantren kemarin sore---dibuat terkejut, takjub, terperangah, dan terkesima.

Entah, Rayhan pun tak habis pikir. Bagaimana bisa wajah petakilan seperti Jaka memiliki suara seindah itu? Logat medok yang cempreng saat berbicara seketika berubah lembut dan mendayu-dayu. Makhraj huruf demi huruf yang terlafal sempurna membuat rasa insecure pada diri Rayhan meronta. Dia yang selama ini dipuja-puja banyak kaum hawa, digaungi di dunia nyata maupun maya, sampai diberi julukan most wanted di SMA-nya dulu, kini merasa begitu jengah. Sebab sosok seperti Jaka-lah yang seharusnya menjadi idola kaum milenial. Cowok yang tidak pernah mengumbar ke ta'atan serta kesalehannya di sosial media. Benar-benar tersembunyi tanpa ingin dipuji, membaginya dengan rendah hati. Bahkan, pengetahuan Jaka tentang sejarah islam pun luas. Anak itu banyak mengetahui kisah-kisah mulia baginda Rasulullah dan para sahabatnya. Tidak seperti Rayhan, yang bahkan tidak tahu tentang kisah yang sangat familiar di telinga umat islam. Contohnya kisah Tabi'ah bin Ka'ab, pemuda miskin tak memiliki keluarga dan tempat tinggal yang sangat mencintai sosok Rasulullah, menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani segala keperluan baginda nabi. Hingga pada saat Rasulullah bertanya, "Wahai Rabi'ah bin Ka'ab, katakanlah permintaanmu, nanti kupenuhi!"

Kabi'ah bin Ka'ab menjawab, "wahai Rasulullah, saya mohon untuk dido'akan kepada Allah agar menjadi temanmu di syurga."

Atau kisah tentang Bilal bin Raba'ah. Mu'azin masjid Nabawi yang sangat mengagumi pribadi Rasull. Seseorang yang menahan begitu kesedihan sampai suaranya bergetar saat mengazani jenazah nabi sebelum dimakamkan.

Ternyata memang benar, jika rupa seseorang tidak menjamin akhlak dan perilaku orang itu sendiri. Rayhan jadi teringat satu sabda Rasulullah yang pernah dia baca. Artinya; "Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian." (HR. Muslim) Hadits ini juga sejalan dengan salah satu firman Allah dalam Al-qur'an yang artinya, "Sesungguhnya orang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu". (QS Al-Hujurat: 13)

Naudzubillah, rugi sekali orang-orang di luaran sana yang berlomba-lomba agar dikenang dunia hanya karena urusan "dunia." Mempercantik rupa dengan berbagai cara agar menarik jutaan mata, memamerkan harta kekayaan di semua sosial media, dan yang lebih memalukan, membuat postingan tak beretika agar viral. Entah berapa juta mata yang berzina, entah berapa banyak orang yang merasa iri, dan berapa juta otak manusia yang sudah di bodohi.

Astagfirullah! Rayhan beristighfar dalam hati, sadar akan semua postingannya di sosial media yang sering mengundang decak kagum wanita.

"Kuy! Kita makan dulu," ajak Jaka.

Rayhan berdiri. Membenarkan peci hitam di kepala yang dipadu kaos hitam panjang dan sarung kotak-kotak warna biru.

"Lo tau kisah-kisah tadi dari mana?" tanya Rayhan di teras mushala. "Punya bukunya?"

Jaka yang sedang memakai sandal menyengir konyol. "Ada di perpustakaan pesantren."

"Serius, lo?"

"Ho'oh." Jaka merangkul Rayhan.
Keduanya berjalan beriringan menuju dapur pesantren di bagian belakang. "Lumayan banyak di sana. Pemberian para orang dermawan."

"Tempatnya di mana?" tanya Rayhan semangat. Dia benar-benar bertekad untuk mengejar keterlambatannya dalam belajar agama. Dimulai dari kebiasaan membaca kisah mulia Rasulullah dan para sahabat sebagai inspirasi, mengikuti ngaji subuh tingkat ula bersama para anak-anak SD, dan tentu saja rajin menyimak saat Jaka dan Abian mengaji. Kendati Rayhan pun bisa mengaji, akan tetapi mendengarkan lantunan dari seseorang bisa memberinya perasaan nyaman.

"Di luar majelis ini. Deket juga sama majelis santriwati. Itu, lho, tempat yang tadi kita lewati pas pulang Jum'atan."

"Di deket koperasi?"

Jaka menganggukkan kepala. "Betul. Emang kenapa?"

"Gue mau ke sana," kata Rayhan melepaskan rangkulan Jaka. "Lo makan dulu aja. Jangan nunggu gue."

"Nggak makan dulu aja, ntar ke sananya bareng."

"Ck, nggak usah. Gue bisa sendiri."

"Oke, hati-hati ya. Di sana tuh ...," Jaka menggantung ucapannya sambil cengengesan. "Jangan nutup pintu lah, pokoknya."

Rayhan menautkan alis. Menelisik cowok berkoko putih dengan sarung hitam itu lamat. "Emang ada apa? Hantu?"

Bukannya menjawab, Jaka justru berjalan mundur sambil cengar cengir. "Jangan nutup pintu. Inget. Oke!"

Memutar bola mata malas, Rayhan berbelok arah. Andaikan saja setelah salat Jum'at Abian tidak harus kembali ke sekolahan---sekolah yang insha Allah akan Rayhan masuki pada hari senin untuk melanjutkan pendidikannya di Jakarta, sudah pasti Rayhan akan bertanya pada Bian saja.

•••

"Ish! Halimah nih," decak Hasna sambil berjalan ke luar dari area majlis. Mendekap sebuah buku dengan sampul wanita bercadar itu di tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya menggenggam segerombolan kunci yang disatukan dalam satu lingkaran gelang besi. "Gara-gara dia lupa ngasih novelnya ke mbak Yumna, aku harus balikin sendiri ke perpustakaan."

Hasna menghembuskan napas, membuka pintu kayu bercat hijau itu dengan perlahan. Membiarkannya terbuka lebar sementara dia sendiri masuk ke dalam. Dilihatnya buku-buku yang tak tertata, ditumpuk sembarang, pun beberapa yang terjatuh di bawah rak. Jumlahnya tidak banyak, hanya ada empat rak berukuran sedang yang hampir seluruh bukunya berasal dari sumbangan.

"Astagfirullah." Hasna menggelengkan kepala. Sobekan buku berserakan di pojok ruangan. "Buku itu jembatan ilmu, kok ya pada dirusak ngene."

Sigap, cewek bergamis merah itu mengambil sapu. Sedikit menaikan jilbab abu-abu lebarnya yang menjuntai sampai ke perut. Asyik dengan kegiatan bersih-bersih, Hasna baru tersadar saat tiba-tiba ruangan menjadi lebih gelap dari sebelumnya. Hasna membalik badan, matanya membulat dengan gelengan. "Ya Allah!" Cewek itu berlari kecil. meraih knop pintu, menggoyangkannya beberapa kali tapi hasilnya nihil. Pintu terkunci.

"Permisi!" teriak Hasna, menggedor pintu. "Aku ke kunci di sini. Siapa pun di luar, bisa tolong bukain! Mbak! Mas! Tol ...."

Hasna mengerjap saat sebuah tangan ikut meraih knop pintu. Mengangkat wajah was-was, Hasna menatap tanpa berkedip wajah rupawan cowok di sampingnya.

Ya Allah, ampuni hamba karena nggak bisa jaga mata ... MasyaAllah, itu hidung mancung banget. Mata tajam, alis tebal, sama dagunya ya bagus pisan.

Tbc ...

A/N
Ini cerita spiritual pertamaku, jadi, maaf, kalau kesan agak sok. Btw, ini part terakhir aku update di Wattpad. InsyaAllah, part seterusnya sampai end bakal ada di KaryaKarsa. Tenang, gratis, kok. Username-ku sama kaya yang di WP. ┌(・。・)┘♪

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang