part 8.

62 17 7
                                    

Setelah berkeliling ke penjuru pondok pesantren bersama Ihsan---laki-laki berusia dua puluh dua tahun yang berperan sebagai salah satu pengurus, Rayhan sampai ke kamar asramanya. Kamar Utsman Bin Affan. Terletak di paling pojok, di antara enam kamar lain yang berjejeran dengan bentuk pintu yang sama---kayu jati warna putih tulang bermodel kotak-kotak di permukaannya.

"Makasih, Bang. Udah ditemenin keliling," ujar Rayhan kaku. Laki-laki setinggi pelipisnya itu memancarkan aura yang belum Rayhan lihat sebelumnya. Selain wajah putih bersih yang gagah dengan jenggot tipisnya, Ihsan juga sangat kalem, berwibawa, dan ... gorgeous di waktu yang bersamaan. Jujur saja, Rayhan merasa segan berada di dekat laki-laki itu. Merasa aneh dan terintimidasi. Mengingat cara bicara Ihsan yang diselingi kosakata Arab yang jelas tidak Rayhan pahami saat membalas sapaan beberapa anak, ditambah banyaknya santriwan yang terlihat sedang melafalkan hadits-hadits berhasil membuatnya menundukkan wajah. Bahkan beberapa kali Rayhan dibuat terpana dengan suara merdu muraja'ah Al-Qur'an para cowok seumurannya yang menyebar di beberapa tempat. Benar-benar menggetarkan hati. Membuat Rayhan tersadar seberapa bodohnya dia dalam masalah agama.

"Afwan. Semoga kamu betah, ya, di sini. Jangan sungkan-sungkan. Aja rikuh."

"Iya, Bang."

Setelah menepuk pundak Rayhan, Ihsan pamit untuk kembali melanjutkan kegiatan. Rayhan mengangguk, menjawab salam Ihsan lalu membuka pintu kamarnya perlahan.

Tiga ranjang single bed berjejeran dengan sekat setengah meter satu sama lainnya, ruangan sederhana bercat abu-abu usang, serta banyaknya buku-buku di dua rak yang berbeda.

Menghela napas kasar, Rayhan duduk di pinggiran ranjang paling pojok. Ranjang paling rapi jika di bandingkan dua lainnya.

Kembali menyapu pandang, cowok berhoodie abu-abu itu memperhatikan tata ruang yang akan menjadi kamarnya untuk ..., entah berapa lama nanti. Mencoba menempatkan diri dan siap berbagi apa pun dengan teman sekamarnya yang bahkan belum Rayhan temui.

Lama termenung dalam kemelut pikirnya sendiri. Rayhan dikagetkan dengan suara berisik seseorang dari luar, yang pada detik berikutnya membuka lebar pintu kamar asrama ini.

"Assalamualaikum!" Seru seorang cowok pendek berkulit sawo matang dengan lantang. Disusul cowok jangkung yang menoyornya dari belakang. "Ya Allah, sesungguhnya doa orang yang teraniaya itu mustajab. Maka kabulkan doa hamba. Amiin," katanya mengelus dada dengan wajah dramatis.

"Eh!" Sambung cowok tadi begitu menyadari keberadaan Rayhan di sana. "Ada warga baru."

Cowok tinggi di belakangnya menyingkirkan tubuh pendek cowok berkoko hitam dipadu sarung biru laut itu. Melangkah masuk sambil melepas peci hitam yang melengkapi busana; koko putih, sarung merah, dan sebuah kitab tipis berwarna coklat yang digulung di saku koko. "Hai, Bro," sapanya sok akrab. "Udah lama?"

Rayhan bangkit. Menggelengkan kepala kikuk. "Baru beberapa menit lalu."

"Wah! Ganteng pisan sampean. Mirip artis," kata cowok pendek yang tadi mengucap salam. Berdiri di samping cowok tinggi putih sambil cengengesan. "Perkenalkan. Namaku Jaka bukan kendil. Panggil aja Jaka."

Menerima uluran tangan, Rayhan berusaha memasang wajah seramah mungkin tanpa mengindahkan perkenalan absurd barusan. "Rayhan Abimana."

"Abian Shaputra," Sambung cowok tinggi, mengacungkan kepalan tangan yang dibalas dengan hal yang sama oleh Rayhan. "Panggilnya Bian aja."

"Rayhan."

"Wes! Penghuni Utsman Bin Affan komplit lagi," seloroh Jaka. Merangkul pundak Rayhan meskipun harus sedikit berjinjit karena selisih tingginya yang hanya sebatas pundak Rayhan. "Jangan malu-malu, coy.
Kita mah, biasa malu-maluin."

"Cuma kamu! Aku mana pernah malu-maluin," elak Abian. Menggaplok lengan Jaka menggunakan peci yang masih di tangan. Membuat Jaka misuh-misuh, sekaligus tawa kecil di bibir Rayhan.

"Ya Rabb! Tabahkanlah hamba-Mu dalam menghadapi calon mayat yang satu ini."

"Aamiin!" jawab Abian seraya meraupkan kedua tangannya ke wajah, disertai kekehan khas yang menawan dengan gingsul gigi di sebelah kanan.

Obrolan tiga remaja itu berlanjut lama. Membicarakan kegiatan pondok yang Rayhan respon dengan anggukan dan sedikit bertanya tentang apa-apa saja yang akan dia lakukan nanti. Karakter Jaka yang mengingatkan Rayhan pada Udin membuatnya tidak terlalu sulit beradaptasi. Sementara untuk Abian, cowok itu tidak kaku seperti image anak pondok yang selama ini Rayhan kira, tetapi juga tidak sepetakilan Jaka yang bisa dibilang hiperaktif.

Bahkan, selama mereka mengobrol di atas tempat tidur Rayhan, Jaka paling sering melontarkan guyonan garing dengan gerak tangan heboh mengikuti setiap kalimat yang keluar. Membicarakan idol dari negeri gingseng, Yoona, anggota girl band SNSD, wanita cantik yang Jaka harapkan bisa menjadi istri seimannya. Atau khayalan konyol Jaka yang berandai-andai memiliki tiga istri sekaligus, yang lagi-lagi mendapat toyoran dari Abian yang merasa jengah.

Rayhan merasa bersyukur, karena lingkungan pertemanan baru ini tak seserius perkiraan, tetapi juga tidak sefrontal teman-teman Rayhan di Jakarta yang sering mengucapkan kata-kata kasar sebagai bagian dari kosakata yang sepertinya sudah terlapal sempurna di kepala.

Sampai pada akhirnya adzan magrib berkumandang lantang. Menghentikan sementara obrolan mereka bertiga untuk pergi ke mushala. Melakukan salat magrib berjamaah, dzikir dan membaca surah Yasin sambil menunggu waktu isya. Setelahnya, dilanjut dengan membaca Al-qur'an surah Al-kahfi secara bersama-sama. Surah yang dianjurkan dibaca pada saat terbenamnya matahari di hari Kamis hingga terbenamnya matahari di hari selanjutnya, yakni hari Jumat.

Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri juga menyebutkan bahwa dari Rasullulah SAW bersabda:

مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

“Barangsiapa membaca Surat al-Kahfi pada malam Juma'at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul ‘atiq ( Ka'bah) .” (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al-Nasai dan Al-Hakim serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 736)

Masya Allah, malam ini Rayhan kembali mengingat apa yang pernah bundanya tuturkan dulu. Jaka juga menambahkan jika dia ingin memberikan surah Al-Kahfi sebagai salah satu mahar pada calon istrinya kelak. Dan saat Rayhan tanya kenapa? Cowok itu menjawab dengan mantap, "kita tuh hidup di zaman akhir, coy. Kalo kita sebagai calon imam nggak hafal surah Al-Kahfi, kita nggak bisa nyelamatin anak dan istri dari fitnah dajjal yang keji."

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang