Mata sayu itu perlahan mengerjap lemah, bergulir memperhatikan seisi ruangan sederhana bercat putih dengan sofa coklat di samping jendela yang tirainya sudah terbuka. Aroma khas rumah sakit yang memuakkan kian tercium di hidung bangir Ririn. Wanita berjilbab instan warna putih itu mengalihkan mata dari jam dinding di depan ke arah seseorang yang duduk sambil menelungkupkan wajah di samping kirinya.
Pelan, tangan Ririn merangkak ke atas kepala Rayhan, mengusapnya penuh sayang sambil berkaca-kaca. Benarkah hari ini datang? Hari di mana semua yang coba dia rahasiakan selama satu tahun ini terbuka di depan sang putra. Bayi besarnya ini pasti sangat sedih, bukan? Bahkan, mungkin saja Rayhan menangis sambil menunggunya semalaman. Lalu, bagaimana anak itu datang kemari? Ya Allah, membayangkan semua reaksi Rayhan membuat hati Ririn terasa teriris. Aliran sungai di kedua matanya kembali merembes tanpa suara.
Ya Rabb .... Bisakah rasa ikhlas terus bersinggah? Bisakah dia melihat Rayhan mengucapkan ijab kabul di pelaminan? Mampukah raganya bertahan? Segera perempuan itu menyeka air mata saat gumaman serak lolos dari bibir Rayhan yang mulai terusik.
"Subuh, Ray," kata Ririn penuh lembut seraya menarik sudut bibir. "Udah azan."
Cowok itu menegakan badan, mengusap matanya dengan anggukan tanpa kata sebelum berderap memasuki kamar mandi yang menyatu dengan ruang inap berukuran besar ini. Sepuluh menit berlalu, Rayhan keluar dengan wajah basah dan mata yang memerah. Anak itu menangis, Ririn tahu. Sekuat apa pun putranya berusaha menyembunyikan, tetap saja naluri Ririn sebagai seorang ibu akan dengan mudah menebaknya.
"Ray, tolong ambilin mukena Bunda, dong," ujar Ririn setelah terduduk sempurna. Tayamum sebagai pengganti wudhu sudah dia lakukan sebagai syarat sah melakukan salat.
Rayhan mengangguk, lagi-lagi tanpa kata. Diserahkannya tas putih yang diambil dari lemari kecil samping ranjang dengan wajah menunduk. Saat hendak beranjak, tangan dingin bunda meraih lengannya. Digenggam erat yang tak ayal mencairkan kristal di pelupuk mata Rayhan.
"Kamu imamin Bunda ya, Ray."
Diiringi embusan napas panjang, Rayhan mengangguk dan lekas menggelar sajadah cokelat tepat di depan brankar Ririn. Dibenarkannya kopiah di atas kepala sebelum berucap takbir dengan suara bergetar. Mungkin jika bukan perpisahan yang sedang Rayhan takutkan, sekarang dia akan dengan penuh bangga menjadi imam untuk bunda. Melantunkan surat pendek yang terdengar merdu di setiap rakaat salatnya, bukan timbul tenggelam karena menahan isak pilu yang menyayat hati Ririn.
Dua rakaat salat dilaksanakan penuh duka. Tangis Rayhan lolos begitu saja. Punggung tegap cowok itu menunduk dengan guncangan yang kentara. Kedua tangan menengadahkan, memohon dengan sangat untuk kesembuhan bunda, wanita paling berharga yang menjadi dunianya.
Untuk apa pun yang pernah hamba minta, untuk semua kesalahan hamba yang mungkin tak terhingga, dengan penuh hina hamba memohon, Ya Rabb ..., sembuhkan bunda, angkat semua sakitnya. Engkau Maha Penyembuh setiap penyakit, Maha Penyayang bagi setiap hamba, dan Maha Pengabul setiap doa.
Doa panjang ditutup dengan air mata yang kembali jatuh, mengakhiri percakapan antara hamba dengan Sang Pencipta. Rayhan membalik badan, bangkit dan menghampiri Ririn yang menatapnya dengan senyum hangat seperti biasa. Ah, bunda. Rayhan meraih tangan putih itu, menciumnya begitu lama, hingga membuat Ririn tak kuasa menahan air mata.
Tidak bisa dimungkiri jika rasa takut kerap kali singgah menghantui. Ririn khawatir akan nasib Rayhan nanti saat dia sudah pergi. Ya Allah, bukan maksud Ririn ingin pesimis, hanya saja rasa itu kian nyata.
"Nak." Ririn merentangkan tangan saat Rayhan mengangkat kepala. "Bunda kangen Rayhan, lho."
Rayhan meraup wajahnya kasar, beralih menjadi duduk menggantungkan kaki di pinggiran brankar sambil menggenggam tangan Ririn. "Bunda pasti sembuh. Ray percaya." Lalu dengan pelan Rayhan memeluk tubuh bunda, menenggelamkan wajah di pundak hangat itu. "I love you."
Menganggukan kepala, Ririn mengusap tengkuk Rayhan. Diciumnya pelipis sang putra berkali kali dengan mata berkaca-kaca. "I love you too, Rayhan, anak kesayangan Bunda."
•••
"Kamu inget nggak, waktu pertama masuk SD nangis sampe pipis di celana?"
"Ck, apaan. Rayhan mana pernah gitu."
"Ih, yang pas ketemu Bu Maya itu. Kamu nangis ketakutan, lho."
"Eem," gumam Rayhan. Dia berusaha menyamankan posisi di samping Ririn yang miring memeluknya. Perasaan nyaman, hangat, dan tentram tak ayal mengundang kantuk yang perlahan datang. "Serah Bunda, deh. Rayhan iyain aja biar cepet."
Ririn terkekeh, mengangkat wajah putranya lalu mendaratkan ciuman hangat di kening Rayhan yang tertutup rambut. "Cukur nih, kamu. Gondrong banget," tambah Ririn sambil menyisir helaian rambut Rayhan menggunakan jari jemari lentiknya. "Mau bunda cukurin?"
"Nggak mau, biarin aja panjang, biar bisa diiket."
"Nggak ganteng kalo rambutmu gondrong."
"Eemm."
"Kamu udah ngantuk?"
"Belum."
"Tapi kok suaranya loyo gitu?" Ririn menurunkan pandang, memperhatikan wajah Rayhan yang sudah terkantuk di dekapannya. Dengan lembut dia mengelus punggung Rayhan, bersenandung lirih sebagai lagu pengantar tidur. Entah kapan kali terakhir dia tidur bersama Rayhan, memperlakukan bocah yang sok dewasa ini layaknya bayi kecil. Hah, waktu terasa melesat begitu cepat. Sekarang Rayhan sudah tumbuh sebagai remaja tampan tujuh belas tahun yang menjadi incaran para gadis, padahal Ririn rasa baru kemarin bocah ini belajar berjalan di halaman rumah.
Sekali lagi Ririn mencium pucuk kepala Rayhan, menikmati aroma mint sampo yang menguar dari setiap helai surai legam sang putra, lalu lirih hatinya bersuara. Ya Allah, jika pada saat hamba berpulang, tolong jaga anak hamba. Ikhlaskan hatinya, tetapkan istiqomah dalam mencari ilmu semata-mata karena ridho-mu, Ya Robb.
Malam itu, detik demi detik Ririn lewati untuk memandang wajah Rayhan, menyentuh hidung mancung anak itu yang diwariskan dari sang suami, bibir merah seperti miliknya, pun alis tegas yang indah. Sungguh, andai bisa, Ririn ingin sekali menekan tombol pause pada pergerakan di dunia, membiarkan momen indah ini berlangsung untuk waktu yang sangat lama.
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang (End)
Spiritual#teen fic-spiritual C O M P L I T E D Rayhan Abimana merasa jika keputusan Bunda adalah hal salah, dan drama yang diciptakan Ayah membuatnya hilang arah. Lalu saat semua terasa buntu, Hasna datang dengan tawa cerah yang menariknya hingga berakhir di...