part 19.

34 13 0
                                    

Hukum alam berkata, setiap yang bernyawa pasti akan pergi untuk kembali kepada Sang Pencipta. Namun, sakit yang tertinggal dari sebuah perpisahan tidak pernah cukup diungkapkan melalui suara ataupun diksi dalam goresan pena. Ada banyak sesal yang kian timbul menghakimi hati, rasa tidak adil atas kehendak Ilahi, serta kata 'andai' yang sering kali terucap sebagai bentuk ketidak-ikhlasan diri.

Seperti halnya Rayhan. Cowok berbaju koko putih itu terus larut dalam deraian luka bertemankan hampa. Separuh hidupnya pergi, diiringi embusan angin lembut jam lima pagi, isakan tangis dari ayah dan uti, serta kenangan indah yang berputar dalam memori. Dunianya seakan runtuh. Belasan belati runcing seperti sedang berlomba menancap di dadanya. Besok, semuanya tidak akan sama lagi. Seorang bidadari yang dipanggil bunda sudah tidak ada. Senyum ramah, jemari lentik yang mengusap lembut, serta pundak hangat sebagai sandaran tatkala hati gundah sudah diambil Allah dari sisinya.

"Bunda!" Lagi, Rayhan berujar kacau, mengguncang pelan tubuh pucat Ririn di atas brankar. Wisnu maju hendak melerai, tetapi dengan segera Anjani menahannya. "Nggak usah bercanda, deh. Apaan sih main prank-prank-an gini! Garing banget tau nggak!"

Tetesan air mata tak henti-hentinya meluruh, melewati pipi sampai jatuh di ujung dagu, mengenai bantal yang Ririn singgahi. Wajah pucat itu terlukis damai, mata teduh penuh kasih kini terpejam rapat dalam abadi. Rayhan menggeleng, mengacak rambutnya frustrasi lalu berjongkok dengan punggung terguncang hebat bak kapal yang diterjang deru ombak di tengah lautan berkabut pekat.

"Nggak!" Rayhan kembali bangkit. Tangannya merogoh saku baju, kemudian melemparkan tasbih biru pemberian Hasna ke sembarang tempat, membuat manik-manik berjumlah 32 itu terlepas---menyebar hampir ke seluruh permukaan dingin ubin putih ini. "Allah nggak adil!" teriaknya menggema, mendongakkan wajah seolah ingin menantang takdir yang sudah tertulis di lauhul mahfudz. "Gue udah berusaha buat jadi anak yang baik, jadi hamba yang baik! Tapi apa? Sekarang Allah malah tega ambil Bunda!"

"Rayhan, istighfar," tegur Anjani dengan suara retak.

"Bunda, bangun!" Tak mengindahkan ucapan Anjani, Rayhan meraih tangan dingin Ririn, menggenggamnya erat penuh harap. "Oke! Rayhan kalah. Come on, ini beneran nggak lucu. Plis-lah, Bun!"

Tak ada sahutan. Hanya suara denting jam yang terdengar nyaring, beradu dengan suara sholawat dari salah satu masjid di dekat sana.

"Bun, Rayhan udah siapin kado buat ultah Bunda," ujar Rayhan lirih. "Emang baru sepuluh hadis sama artinya, tapi Ray janji bakal lebih rajin lagi biar jadi kayak yang Bunda ingin."

Helaan napas berat dari Wisnu serta isakan terenyuh dari Anjani menyahuti ujaran Rayhan. Kini hatinya yang teriris terasa seperti ditaburi garam untuk menutupi semua luka tanpa darah di dalam dada.

Pintu kayu cokelat ruangan tiba-tiba terbuka. Dua sosok lelaki muda berseragam putih lengan pendek muncul dari sana, mendekat penuh rasa belasungkawa dan berdiri di belakang Rayhan yang memeluk jasad wanita berkerudung putih itu. Salah satu dari keduanya menoleh, menganggukkan kepala pada Wisnu untuk memberi aba-aba.

Wisnu mendekat dengan langkah bergetar, menepuk pundak Rayhan pelan. "Ray, udah yuk. Biarin bunda tenang."

Tak mengacuhkan ucapan sang ayah, Rayhan mengurai pelukan, melangkah sambil terhuyung ke arah ujung brankar. Dibukanya kain putih itu, lalu diciumnya kaki Ririn dengan air mata tanpa jeda. "Rayhan minta maaf, Bunda. Rayhan minta maaf. Rayhan minta maaf."

•••

"Innalillahi wa innailahi rajjiun." Keterkejutan Abi Umar mengundang rasa khawatir Umi Salamah. Wanita berbusana hitam syar'i itu menghampiri sang suami dengan alis bertaut. "Aamiin, Ya Allah, aamiin. Insya Allah, iya, Pak. Waalaikumsalam warahmatullah."

"Ada apa, Bi? Siapa yang meninggal?" tanya Umi Salamah.

Abi Umar duduk kembali di sofa, diikuti Umi Salamah di sebelahnya. "Ibu Ririn meninggal. Subuh tadi, Mi."

Umi Salamah menyentuh dadanya, refleks. "Innalillahi wa innailaihi raji'un."

"Umi, minta tolong bilang sama Ihsan buat siapin mobil. Kita ke Jakarta sekarang."

"Hasna ikut." Abi Umar dan Umi Salamah menengok serempak. Hasna Keluar dari dapur sambil menyeka air mata menggunakan lengan baju biru mudanya. Bu Ririn? Ya Allah, bagaimana keadaan Rayhan? Jika Hasna saja yang orang luar merasa sangat kehilangan, apalagi cowok itu. Bahkan, hampir saja Hasna melepaskan gelas teh di tangan saking lemasnya mendengar kabar ini. "Boleh ya, Bi. Hasna mohon."

Setelah mendapat persetujuan dari Abi Umar, Hasna dan Umi Salamah segera bergerak, menyampaikan kabar duka ini pada seluruh santri, pun mengundurkan jam temu antara Abi Umar dan kawan lamanya.

Seisi pondok berdukacita. Kendati tidak mengenal sosok tersebut, berita duka dari sesama saudara muslim patutlah untuk didoakan bersama.

Mobil hitam yang Abi Umar minta sudah ada di depan rumah, bertengger kusam dengan deru mesin gaduh di antara sejuk sepinya pemukiman ini. Tanpa menunggu lama, Abi Umar, Umi Salamah, serta Hasna yang mencangklong tas selempang putih masuk ke mobil. Abi Umar duduk di samping Ihsan yang menjadi pengemudi hari ini, sementara Hasna dan Umi Salamah duduk di belakang.

Perjalanan berlalu tanpa obrolan. Hingga saat petang memeluk sang atap dunia, berhiaskan semburat jingga yang tergores indah, bermainkan burung kecil yang terbang melintas, pun cahaya merah dari tower tinggi di banyak titik, Abi Umar dan rombongan tiba. Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah mewah yang di buka lebar. Lampu-lampu yang menyala terang, suara tahlil yang terdengar hingga depan, serta banyaknya sandal di teras rumah terlihat mencolok di antara sepinya kompleks perumahan elit ini.

Hasna mengeratkan genggaman pada tas selempangnya. Desiran darah di dalam dada terasa mencubit seluruh tubuhnya. Kaki itu perlahan masuk, mengekori abi dan umi.

"Hasna sama Umi ke belakang saja. Abi mau langsung ikut tahlil," perintah Abi Umar. Umi Salamah mengangguk, meraih tangan Hasna yang dingin untuk digenggam erat menuju samping rumah---mengikuti seorang wanita tua---melewati taman belakang yang sontak membuat Hasna mendongakkan wajah. Diperhatikannya kamar gelap itu dengan mata berkaca-kaca.

"Rayhan," rintih Hasna, menurunkan lagi matanya ke tanah.

Begitu masuk ke dalam, hawa hangat langsung menyergap. Banyaknya wanita yang sedang berbincang sambil mempersiapkan kotak makanan membuat suasana menjadi hidup.

"Hasna pamit dulu, Mi. Mau ketemu temen Hasna yang kerja di sini."

Setelah mendapat anggukan, Hasna berlalu, naik ke lantai dua sambil menggigit bibir bawahnya. Tarikan napas panjang diembuskan perlahan. Dia berdiri di depan pintu putih itu lalu mengetuknya beberapa kali. Tidak ada jawaban, tetapi suara TV yang menyala membuat Hasna memberanikan diri untuk masuk.

Gelap! Hanya penerangan dari sorotan TV yang memudahkan Hasna melihat sosok cowok berbaju hitam yang duduk bersandar di pinggiran ranjang---menekuk satu kaki dan menopang satu tangannya di sana.

"Ray," kata Hasna bergetar. Tangannya menekan sakelar lampu guna mengusir gelap sendu. Pintu pun ditutup. Hasna berjalan penuh keraguan ke arah Rayhan. "Rayhan," panggilnya rendah. Dia meneteskan air mata, duduk bersimpuh di samping cowok itu.

"Bunda udah pergi, Na," adu Rayhan lirih, menoleh ke arah Hasna dengan sorot redup. "Nggak ada."

Tangan Hasna bergerak gelisah di pangkuan. Ingin rasanya menggenggam tangan Rayhan, sayangnya dia tidak bisa. Namun, tanpa Hasna duga, cowok itu justru menempelkan kepala di pundak kirinya, tersedu-sedu hingga membuat Hasna menegang di tempat tanpa bisa menolak atau menghindar.

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang