part 20.

33 12 0
                                    

Satu minggu sudah rasa hampa memeluk hati. Acara tahlil yang biasanya mengisi hening rumah, hari ini sudah berhenti. Rayhan bergeming di ambang pintu. Matanya berkedip dengan sorot kosong. Ada yang hilang! Sungguh, rumah ini terasa lebih luas dari yang Rayhan kira. Tembok putihnya seakan berubah menjadi benteng yang menjulang. Plafon berhiaskan lampu kristal kian menjauh, membuat Rayhan merasa kecil, serupa semut di dalam kastil tua tak berpenghuni.

Denting jam di sudut ruang terdengar. Rayhan memutar kepala, memperhatikan detik demi detik yang berjalan sangat lambat meninggalkan menit. Lalu beralih memperhatikan sofa depan TV yang kosong masih dengan tanpa ekspresi. Sekelabat bayang semu tentang bunda terlihat di sana. Duduk menyilangkan kaki dengan gerakan tangan  yang membuka lembar demi lembar buku yang kenyataanya masih tersimpan rapih di atas meja. Saat mengedarkan pandang ke arah kanan, wajah bunda yang menatapnya sambil tersenyum terlintas sebelum kembali pudar dan menghilang.

Rayhan melepas knop pintu yang sejak tadi digenggam, menutupnya dengan kaki yang sedikit menjulur kebelakang. Rapat. Membuat redup kian kentara karena korden berat jendela tidak dibiarkan dibuka. Menghalau cuaca cerah yang melambaikan sinar hangat dari luar untuk singgah bertamu. Cowok itu berjalan lunglai menaiki satu persatu anak tangga menuju kamarnya. Mengurung diri, berdiri di balkon kamar sambil menerawang jauh tak berujung. Sekarang perasaanya bukan lagi merasa sakit, tetapi lebih pada tak memilik tujuan pasti. Masih tersesat di persimpangan jalan sendirian.

Embusan angin menyapu dedaunan kering di bawah sana. Terbang rendah meliuk-liuk sebelum akhirnya kembali jatuh ke tanah. Mengangkat pandang, Rayhan amati hamparan biru berkerak awan tipis itu sesaat. Membuka celah bibirnya yang kering lalu membuang napas kecil sebelum meraup wajah kusamnya yang lelah dengan kasar. Getaran menggelitik di saku sweeter hitamnya membuat tangan Rayhan beralih tempat. Menatap sekilas layar biru di genggaman sebelum menggeser icon terima yang bergerak naik turun.

"Halo," sapa Rayhan. Menempelkan benda pipih ke telinga kanan sambil berderap menjauh dari pembatas besi di sana. Duduk di kursi rotan samping jendela, membelasakan punggung di senderan sebelum mendongakan wajah ke atas. "Kenapa?"

"Assalamualaikum, pak ustadz." ledek Udin. Terkekeh kecil dari seberang telpon.

"Nggak usah nyincong deh, lo! Gue lagi males bercanda."

"Kalem, Ray. Kalem. Jangan nge-gas, dong. Sabar, oke?"

"Buruan!"

"Iya, iya."

"Langsung ke intinya."

"Lahaula... iya, pak ustadz. Nggak sabaran banget, dah. Gini, gue nelpon tuh mau ngajak lo nongkrong. Gimana, mau dijemput apa nyusul sendiri?"

Rayhan menundukan kepala. Tangan kirinya mengetuk-etuk pinggiran kursi. "Mager gue."

"Ck ck ck, mager apa mau telponan sama ukhty manis?"

"Maksud lo?" Wajah Rayhan kembali menegak. Menatap lurus dengan alis berkerut samar.

"Alah ... cewek itu. Yang ada di hp lo, Ray. Gebetan baru yah?"

"Hasna?" gumam Rayhan.

"Oh, Hasna ..."

Kejadian saat di kamar waktu itu kembali Rayhan ingat. Sekarang dia baru tersadar jika perbuatanya mungkin saja sudah melanggar batasan Hasna. Akan tetapi ... Rayhan tidak merasa bersalah. Justru ingatan itu membuat pikirnya kembali menemukan titik terang yang sempat padam dalam diri. Hasna, iya, Hasna. Satu nama yang memiliki ruang khusus di dalam hati. Cukup lama Rayhan terdiam, sampai suara klakson mobil dari bawah membawa sadarnya kembali dalam raga. Ponsel di tangan kanan pun sudah senyap. Udin memutus panggilannya sepihak.

Rayhan berdiri, mengantongi gawai ke saku celana hitam lalu masuk ke dalam kamar bersamaan dengan daun pintu yang di buka perlahan. Menampilkan sosok pria berdada bidang yang tegap dengan senyum hangat.

"Ray, ke bawah dulu yuk. Ayah sama Mama mau bicara."

Beberapa saat membisu di tempatnya, Rayhan akhirnya bergerak. Mengayunkan kaki ke arah TV untuk mengambil remot lalu duduk di ranjang tanpa menanggapi Wisnu yang masih berdiri di ambang pintu.

Wisnu mengembuskan napas kasar. Mendekat ke arah Rayhan dan duduk di sampingnya. Harapannya pupus. Putranya masih sama, membisu bahkan seolah menganggapnya tidak ada, dan itu lebih menyakitkan dari pada melihat Rayhan melakukan pemberontakan.

"Berhubung Maria keluar dari sini, Rayhan ikut Ayah, tinggal di rumah Mama. Ray bisa sekolah lagi di SMA yang dulu."

Suara pembawa acara di TV masih berbicara panjang lebar, menjelaskan kemacetan jalanan Jakarta dengan gaya tenang khas presenter handal.

"Apa perlu dipertegas lagi," kata Rayhan. "Saya nggak perduli. Mau Anda dan wanita itu pergi atau tinggal, bukan urusan saya."

"Rayhan! mau sampai kapan kamu kayak gini?!"

"Saya rasa, Anda adalah nasib buruk untuk Bunda. Kesalahan fatal. Sebagai laki-laki saya merasa malu meliki ayah seperti anda."

Wisnu tak berkutik. Hatinya mencelos mendengar ungkapan itu dari putranya sendiri. Detik berikutnya, suara gaduh jalan raya dari berita TV mengisi hening di kamar ini. Ayah dan anak itu masih tak bergeming, menghadap lurus ke depan dengan kemelut pikirannya masing-masing.

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang