part 24.

35 11 0
                                    

Lantunan isntrument piano yang lembut mengalun dari bok musik berbentuk minuman kaleng di samping Hasna. Beradu indah dengan suara angin yang menyeok dedaunan di sekitarnya. Kubangan pikiran yang terus bertalu membuat Hasna terbawa dalam angan, jatuh tereposok pada lubang remang tanpa tau kapan bisa pulang. Menyediri, duduk di bangku bambu di belakang majlis setiap ba'da ashar. Kerudung hitam lebarnya terkibar, rok hitam menjuntai panjang yang dibiarkan menyentuh permukaan rumput kering di bawah kakinya.

Detik demi detik terus berjalan, bok musik yang mengalun sebagai teman sudah dimatikan, menyisakan hening panjang yang menyelimuti pendengaran. Semburat jingga dari cakrawala kian menegas, memberi sinyal jika sang malam akan segera menjalankan tugas. Hasna bangkit, mengantongi bok musik ke dalam saku besar baju kremnya, lalu menepuk-nepuk rok sebelum pergi dari sana. Jam lima sore lebih seperempat. Waktunya bersiap untuk menunaikan salat magrib yang akan diimami abi Umar di mushala.

Dari jarak lima meter, seorang cowok berdiri menatapnya. Hasna pun mematung dengan perasaan berat untuk tidak kembali menatap dan melangkah meninggalkan tempat. Seolah Rayhan adalah lilin yang berpijar di lorong remang dalam kepalanya. Cowok itu terus memangkas jarak, membelai rumput gersang dengan langkah lebar, yang membuat detak jantung Hasna berpacu semakin cepat.

"Hai," sapa Rayhan. Menyorot manik legam Hasna dengan gurat sendu yang terpancar. "Udah mau balik ke majlis?"

Hasna tidak lantas menjawabnya. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu, kosa kata yang terpendahara di kepala lesap di serap ruang hampa dalam hatinya. Perlahan mata Hasna tertunduk, menikmati belaian angin yang menyibak ujung jilbab dan ujung roknya. Menautkan jemari letik di depan badan, dengan napas naik turun menyesap aroma tanah kering yang menguar.

"Na?" panggil Rayhan lirih. Hasna yang masih berat mengangkat pandang, menipisan bibir sambil menggeleng pelan. "Lihat aku, Na."

"Em ... maaf, Ray. Aku harus pergi, sebentar lagi azan maghrib."

Langkah kaki Hasna berayun berat. Bergerak dua langkah sampai tarikan halus di lengan kanan mengentikan semua tekad menjauh yang berusaha dikuatkan. Desakan sesak di tenggorokan, pun cairan yang terkumpul di pelupuk mata semakin tak bisa ditahan. Hasna menggigit bibir bawahnya erat. Mengacuhkan raga jangkung yang berdiri tepat di depannya. Bahkan ujung sepatu Rayhan hanya berjarak dua jengkal saja dari sandal pink miliknya.

"Kenapa kamu ngindarin aku?" Embusan napas Rayhan terdengar hampa. "Pelukan waktu itu, aku minta maaf. Nggak ada maksud lancang nerobos batas privasi kamu, cuma ...." kalimat itu dibiarkan mengambang, terbawa udara yang mulai terasa dingin menusuk pori kulit. Mengiringi sang surya yang perlahan kembali ke peraduan.

"Nggak pa-pa. Aku tau, kamu nggak bermaksud apa-apa. Tapi, maaf." Hasna melepaskan tangan Rayhan di lengan atasnya. "Aku beneran harus pergi. Nanti Halimah nyari-nyari."

"Apa semuanya emang udah jelas buat kamu, Na?" sambar Rayhan cepat. "Apa dari awal memang cuma aku yang memupuk rasa?"

Hasna mengangkat wajah. Kristal bening yang terkumpul meleleh menyusuri pipi mulusnya. Apa tadi Hasna tidak salah dengar? Benarkah cowok itu mempunyai perasaan yang sama dengannya? Ya Allah, kenapa keputusan ini terasa semakin menyakitkan? Kenapa pengakuan ini justru membuat Hasna menyesal?

"Abian? Apa kamu orangnya, cewek yang dijodohkan sama Abian?"

"Maaf, Ray," suara Hasna bergetar. "Aku minta maaf."

"Aku nggak mau kamu minta maaf. Yang aku mau itu penjelasan kamu, Na."

Dengan linangan air mata, Hasna menundukkan lagi wajahnya. Membuat desir sakit kembali mengoyak hati Rayhan yang masih retak. Cowok itu tersenyum miris, memalingkan wajah lalu meraupnya kasar.

Suara azan berkumandang lantang. Semburat orange yang menghias langit perlahan hilang di telan petang. Burung-burung di atas sana pun mulai berkicau riang, terbang searah, menyudahi pencarian rezeki yang Allah sebar diseluruh alam.

Rayhan menyingkir, memberi jalan pada Hasna untuk berlalu. "Udah azan. Kamu harus pergi."

Melangkah lunglai, Hasna mengepalkan tangan. Menata ulang perasaanya untuk kembali siap memasang wajah ceria di depan Halimah, abi Umar, dan seluruh teman-temannya. Rayhan masih bergeming di sana, menatap lekat punggung yang ingin dia rangkul itu kian menjauh dari pandangan. Titik Terang yang Rayhan kira berpancar untuk lorong gelapnya, ternyata tercipta untuk mengisi lorong terang seseorang yang sanggup melengkapi sinar pancarannya.

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang