part 5.

76 16 1
                                    

Warung kecil bermaterial lempengan kayu usang yang berada di pinggir jalan---tak jauh dari area sekolah itu terasa sesak dan pengap. Kipas angin yang berputar di atasnya tak mampu mengenyahkan kepulan asap benda nikotin yang terus mengudara dari kumpulan cowok berseragam SMA yang tengah asyik bermain kartu di sana. Berteriak mengabsen nama binatang, tertawa keras, hingga mengundang atensi para pejalan kaki yang melintas karena suara gaduh tercipta.

Ke sepuluh siswa itu sepertinya terlalu terbuai sampai melupakan kewajipan sebagai seorang pelajar, juga sebagai seorang muslim yang sepatutnya melaksanakan salat begitu azan berkumandang---menyerukan pada setiap umat Islam agar menghentikan semua aktifitas duniawinya. Menghadap Sang Pencipta, bersujud dengan penuh kerendahan untuk berserah, dan menengadahkan tangan, doa, meminta ampunan serta pertolongan hanya pada-Nya.

Akan tetapi godaan setan serta lalainya manusia membuat seolah meninggalkan salat adalah hal biasa. Padahal sudah sangat tegas dijelaskan dalam firman-firman Allah, dan hadist-hadist shahih lainnya. Salah satunya firman Allah dalam Q.S. Al Qalam 68] : 43

يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ (42) خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ (43)

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Q.S. Al Qalam [68] : 43)

Astagfirullah, Ya Rabb.

Lagi lagi Rayhan melupakan nasehat bunda untuk tetap menjaga salatnya. Dan justru tak acuh, menggilas puntung rokok dengan sepatu, lalu mengambil botol aqua yang tersedia di meja. Meneguknya setengah habis, sebelum beranjak dari bangku kayu panjang yang dia dan temannya duduki.

Udin yang sadar akan itu ikut mengekori. Menepuk punggung tegap Rayhan saat sudah berdiri berjajar di luar. "Ada apa, Bro?"

Rayhan berdecih dengan senyum miring. Menyingkirkan tangan Udin sebelum menyandarkan bahu kirinya ke pinggiran kusen pintu.

"Ye! Si anying," kesal Udin karena tak mendapat respon dari Rayhan. "Kayak cewek aja lo, ah!"

"Bacot! Udah sono masuk." Rayhan mendorong Udin menggunakan kakinya. Meninggalkan bekas debu pada celana abu-abu cingkrang Udin di bagian paha. "Main yang bener biar menang."

"Kotor bego!" Sembur Udin sambil mengusap bekas sepatu Rayhan. Rayhan terkekeh kecil, tatapi hanya sebentar. Karena setelahnya, embusan panjang nan berat mengudara. Membuat Udin---cowok berkulit sawo matang dengan rambut sedikit keriting itu kembali mendekat, menepuk pundak sang teman untuk kesekian kalinya. Paham untuk memberi Rayhan privasi. "Gue ke dalem dulu. Take your time."

"Hmm."

Sungguh, kepala Rayhan saat ini berdenyut dan terasa sangat berat seperti tertindih bongkahan batu besar. Entah kenapa hari ini perasaanya pun sangat tidak karuan. Antara marah, sedih, kecewa, hampa, dan putus asa. Semuanya bercokol dalam dada, menghimpit ulu hati sampai meninggalkan sesak di sana.

Hasna, nama cewek itu kadang kala terbesit sepintas saat malam menyapa. Suara obrolan serta tawa riang dari taman belakang yang beberapa kali mengisi kosongnya kamar Rayhan sudah tidak ada.

•••

Gadis kecil berwajah imut dengan mata bulat itu nampak nyaman dalam belaian Ririn. Pipi chubby yang kemerahan sesekali dicubit gemas, rambut hitam berponi depannya yang digerai sebahu menambah kesan polos tanpa dosa. Terlepas dari apa pun, atau bagaimana dia berasal.

"Ara boleh tinggal, di sini?" tanyanya cadel. Matanya berkedip imut, bibir tipis nan merahnya ikut mencebik lucu.

Ririn tertawa, mengelus pucuk kepala gadis kecil di depannya itu dengan penuh kelembutan. "Boleh. Nanti ...,"

Belum sempat tuntas berbicara, seseorang membuka pintu utama dengan keras. Menimbulkan getaran pada tembok juga guci besar di dekat sana. Ririn sontak bangkit dari sofa. Rayhan, remaja jangkung itu menyorot tajam ke arah bocah lucu berbaju pink yang sekarang mendekap erat tangan Ririn. Ketakutan.

"Kenapa anak itu ada di sini?!" suara Rayhan lantang disertai geraman.

"Ray," tegur Ririn lembut. Kemudian tersenyum ke arah Ara yang semakin erat memeluk lengannya. "Nggak papa, sayang. Kamu jangan takut, yah," bisik Ririn pada Ara.

"Bunda apa-apaan, sih!" Rayhan melangkah lebar. Dia benar-benar tak habis pikir dengan sang bunda. Membawa bocah yang kurang dari dua minggu ini dia ketahui sebagai anak sang ayah dari wanita lain. Adik tiri Rayhan. Lalu bagaimana bisa bunda terlihat sayang pada darah daging dari hasil ke brengsekan suaminya. Bukti pengkhianatan yang baru Rayhan tahu setelah tujuh tahun lamanya. "Plis! Bawa anak sialan ini pergi dari sini!"

"Rayhan!" Suara Ririn mengeras. "Kamu nggak boleh ngomong gitu."

Mendengar itu, wajah Rayhan semakin merah padam. Kian mengerat sampai urat lehernya terlihat jelas.

"Kamu ke dalem dulu, yah. Nanti Bunda ke sana." Ara mengangguk kaku. Berlari ke dalam di mana Maria mungkin berada.

"Rayhan, dengerin Bunda." Rayhan menepis kasar tangan Ririn yang mencoba meraih tangannya. Wanita bergamis maroon sederhana dengan jilbab instan hitam itu menghela napas kecil lalu melanjutkan, "mamanya Ara lagi sakit. Kasian kalo harus ditinggal sendirian."

"Persetan! Mau sakit atau mati sekali pun, Rayhan nggak peduli. Dan harusnya Bunda juga gitu! Harusnya Bunda lebih ngertiin perasaan Bunda sendiri. perasaan Rayhan! Asal bunda tahu, hidup di antara keluarga yang terlihat harmonis di luar, tapi hancur berantakan di dalamnya itu sakit! Dipaksa berpura-pura baik-baik aja padahal enggak itu sulit. Dan sekarang, Bunda dengan terang-terangan maksa Ray buat ngakuin dia sebagai adik. Maksa Ray buat nerima semuanya!" Napas Rayhan tersengal hebat. Dadanya naik turun dengan cepat. Untuk pertama kalinya dia benar-benar marah dan membentak sang bunda, lengkap penekanan di setiap kata yang terlontar.

Mencoba tetap sabar dan mengerti, Ririn mengangguk kecil. Matanya menampung banyak sekali sungai luka yang siap tumpah ruah kapan pun dia mengedipkan mata. Rayhan yang sudah kalut terbawa emosi pun tak acuh. Melengos naik ke kamarnya lalu membanting pintu sangat keras. Dia melemparkan tas asal, menarik dasinya kasar, dan memukulkan tangan pada dinding tembok samping pintu.

"Sialan!"

Menyandarkan ujung kepalanya ke tembok, Rayhan mulai meloloskan air mata. Biarlah dia dianggap drama, biarlah semesta menertawainya. Karena yang jelas, luka sebagai anak broken home tidaklah dangkal. Menerima gadis kecil serta wanita itu sebagai bagian dari keluarga juga tak segampang mengedipkan mata.

Apa mungkin sekarang Allah sedang marah padanya? Apa ini adalah hukuman untuknya? Entahlah. Rayhan tidak tahu apa yang tengah Allah rencanakan untuk hidupnya. Keluarga harmonis yang selalu menjadi pondasi seketika runtuh, hancur tak bersisa. Semua berantakan! Iya, berantakan dan tidak bisa diselamatkan.

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang