part 10.

49 16 9
                                    

Hasna menghembuskan napas pelan. Memainkan ujung hijabnya, berdiri bersandar pada rak buku dengan Rayhan di sampingnya. Terkunci, satu kata yang menggambarkan situasi ini. Canggung, satu rasa yang sedang mereka hadapi.

Setelah bersusah payah menggedor sampai berusaha merusak engsel pintunya, Rayhan dan Hasna putuskan untuk pasrah saja. Menunggu seseorang yang mungkin lewat dan bisa dimintai bantuan untuk membukanya dari luar.

Baik Rayhan atau pun Hasna, keduanya sama-sama tak angkat bicara. Membiarkan suasana hening di ruangan tanpa jendela ini berlangsung cukup lama.

"Emang biasa kayak gini?" ujar Rayhan mengawali. Sedikit melirik Hasna yang hanya mengangguk kecil sambil menundukkan kepala. "Terus harus nunggu sampai pagi kalo nggak ada yang tau?"

"Biasanya habis ashar anak-anak pada ke perpus buat menghafal. Jadi paling bentar lagi mbak Yumna datang," jelas Hasna. Dia jadi ingat pesan mbak Yumna tadi. Perempuan berusia 20 tahun yang berperan sebagai penjaga perpustakaan sekaligus guru ngaji untuk lansia di tingkat qira'ati itu bilang, jika mungkin akan ada beberapa santri putra yang datang, hingga para santriwati diperingatkan untuk tidak kemari.

Rayhan mengangguk paham, beringsut dari tempatnya, memilah beberapa buku lalu dibawa kembali ke tempat dia berdiri semula. "Mau ajarin gue, nggak?"

Hasna mengangkat wajah. Melirik buku di tangan Rayhan sekilas sebelum menatap wajah Rayhan yang juga menatapnya. Mempertemukan pandang, menggiring degup kencang pada hati Hasna sekarang.

Ya Allah, bismillah...

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِى وَمِنْ شَرِّ بَصَرِى وَمِنْ شَرِّ لِسَانِى لِسَانِى مَومِّنْ شَنيرِّ قَلْرب

Ya Allah, aku meminta pelindungan pada-Mu dari kejelakan pada pendengaranku, dari kejelakan pada penglihatanku, dari kejelekan pada lisanku, dari kejelekan pada hatiku, serta dari kejelakan pada mani atau kemaluanku).

Aamiin," kata Hasna lirih, mengamini doanya dalam hati.

Setelah mengangguk kecil, Hasna berjalan mendahului Rayhan yang tersenyum senang. Duduk di karpet bulu abu-abu yang sengaja disediakan  sebagai tempat baca di sebelah kanan.

"Mau mulai dari apa? Aku nggak nggak bisa bantu kamu banyak. Aku juga masih belajar."

Rayhan menyamankan posisi.
Setelah melepas sarung yang merangkapi celana jeans longgar, cowok mancung itu lekas membuka kitab kuning yang tadi diambilnya dari rak buku. "Gue belum ngerti cara nulisnya gimana," katanya menunjuk deretan kalimat Arab di sana.

Jujur saja, Rayhan memang asing dengan kegiatan mengabsahi kitab. Banyak istilah menggunakan bahasa Jawa yang kemudian ditulis menggunakan tulisan Arab. Bahkan kegiatan ngaji kitab subuh pertamanya diisi dengan tulisan huruf biasa, sehingga tak jarang bocah SD itu menertawainya.

"Ngerti lah, gue itu masih buta masalah beginiian," sambung Rayhan.

Hasna tersenyum tipis dengan anggukan samar. Dalam hati dia merasa sangat kagum karena semangat cowok itu untuk belajar. Rahmat dan hidayah Allah memang sangat indah melalui proses dan jalannya masing-masing. Semoga saja Allah senantiasa menetapkan hati Rayhan untuk tidak pernah merasa lelah meraih ridho-Nya.

Meraba-raba bagian bawah karpet, Hasna bersorak girang saat menemukan sebuah pensil di sana. Seukuran jari telunjuk yang kedua sisinya sudah diraut menjadi pensil semua. Cewek itu lekas menulis sesuatu di kitab kuning itu. Membaliknya ke posisi semula, lalu menggeser ke arah Rayhan yang memperhatikan dengan seksama.

"Bismillahi: kelawan nyebut asmane Allah. Arahmani: dzat kang welas asih. Nulisnya gini, Arab kecil yang miring di bawah kalimatnya. Terus untuk istilah kaya 'utawi', 'kang', 'ing', itu pakenya gini."

Rayhan menggaruk sebelah alisnya, dahi cowok itu berkerut dalam lalu menggeleng pelan. "Nggak paham."

Hasna tak kuasa menahan tawa. Meskipun pelan dan ditutup menggunakan telapak tangan, Rayhan masih bisa mendengarnya dengan jelas. Hingga kerutan di dahinya memudar, berganti alis yang diangkat tinggi. "Lucu ya?" tanyanya datar.

Mengibaskan tangan, Hasna berdeham. "Bukan ngetawain kamu, kok. Cuma inget jaman dulu pas aku baru belajar absahan. Parah banget, tau."

"Emang kenapa?" tanya Rayhan penasaran.

"Isi absahannya cuma kaya oretan cacing. Asalkan bentuknya ukel-ukel, ya udah. Tapi pas dibaca nggak bisa, akhirnya dihukum suruh istighfar 360 kali sambil jewer kuping."

"Badung juga lo, ya." Rayhan menggelengkan kepala. Tersenyum tipis sambil memperhatikan senyum berlesung pipi yang manis di depannya. Cantik.

"Yah ..., begitu."

Lagi dan lagi pandangan mereka bersitatap. Kali ini Hasna tidak bisa mengelak jika mata itu memikat.

Rayhan menjulurkan tangan, berucap, "maaf." Lalu mengambil sarang laba-laba di pucuk kepala Hasna. Membuat empunya mengerjapkan mata sambil menepuk-nepuk kepala kikuk.

Astagfirullah!

Larangan Allah untuk menjauhi perbuatan yang mendekati zina memang tidak pernah main-main. Jangankan berpegangan tangan, hanya beradu pandang saja sudah membuat seseorang seolah mabuk kepayang. Tidak peduli setinggi apa pun ilmu yang orang itu punya, godaan zina selalu saja dapat membodohkan logika.

Sama seperti cerita seorang ahli ibadah terkenal dari bani Israil yang masuk neraka karena zina. Berawal dari kakak beradik yang akan berangkat berjihad bersama. Mereka hidup sebatang kara, dan juga menanggung beban adik perempuannya. Karena sama-sama tidak ingin mengalah dan tetap tinggal untuk menjaga sang adik, akhirnya mereka memutuskan untuk menitipkannya pada seorang abid terkenal di kota.

Awalnya sang abid sangat berhati-hati dari fitnah nisa (perempuan.) Ia memberikan kamar cukup jauh, dan tak sekalipun menjenguknya.

Setiap hari ia hanya mengantar makanan, menaruhnya di depan kamar tanpa sepatah kata. Namun, pada saat itu lah setan mulai berbisik, “Masa tiap hari kamu cuman diem aja? Kasian dia, sekali-kali coba disapa!“

Pada hari berikutnya, setelah mengantarkan makanan, si abid selalu menyapa perempuan yang dititipkan padanya.

Setelah lama berjalan, setan kembali berbisik, “Masa cuma disapa, sekali-kali kamu coba temenin ngobrol.“

Terpengaruhi! Si abid itu kini selalu menyempatkan waktunya untuk mengobrol dengan perempuan itu.

Di hari berikutnya setan kembali berbisik, “Coba kalau ngobrol jangan ditutupi satir (pembatas).“

Dan bisikan terus berlanjut, dari hanya sebatas obrolan, sampai pada akhirnya terjadilah perzinaan yang berlanjut menjadi sebuah pembunuhan.

Berbulan-bulan berlalu, kini kedua saudara laki-laki perempuan itu kembali. Mencari sang adik, yang si abid bilang sudah meninggal karena penyakit. Sampai di kemudian hari kedua saudara laki-laki itu bermimpi hal serupa, jika adik mereka meninggal bukan karena penyakit, melainkan karena dibunuh setelah diperkosa. Segera mereka bergegas di pagi harinya untuk mendatangi kuburan seperti dalam mimpi. Membongkar. Dan benar, jasad adiknya terkubur di dalam sana.

Astagfirullah, jika ahli ibadah saja bisa tergoda, lalu apa kabar dengan kita yang ahli dosa?

Suara ketukan pintu menyadarkan Rayhan dan Hasna. Cepat-cepat membereskan kitab, dan lekas mendekat ke arah pintu.

"Ray! Kamu di dalam?" Suara Jaka.

Hasna menggigit bibir bawah, meremas kedua tangannya khawatir.

"Lo sembunyi dulu. Ntar kalo udah dibuka, lo keluar belakangan," ucap Rayhan berbisik.

Hasna menurut, berderap ke arah rak buku dan bersembunyi di sana.

"Iya, gue di sini, Jak. Bukain!"

Tbc ...

Titik Terang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang