Assalamualaikum ...
Yaampun, awokwk. Akhirnya, aku kesampaian bikin cerita lokal dan islami gituuh. Sebenernya, udaah lama banget pengen nulis begini. Enjoy yah bacanya🤭
|||||
"Karin ..," panggil laki-laki yang sudah berusia dipenghujung angka lima saat melihat anak pertamanya yang sedang memasak untuk makan malam keluarga. Padahal, anak gadisnya itu baru saja pulang bekerja menjadi dosen disalah satu universitas negeri tapi memang gadis yang menggunakan piyama berlengan panjang dan sedikit kebesaran itu tidak pernah merasa lelah jika untuk keluarga. "duduk sini, Nak. Ada yang mau Ayah sampaikan."
"Kenapa, Yah?" tanya Karin, belum beranjak dari dapur. Tangannya yang sedang memotong sayur-sayuran disenggol pelan oleh sang ibu yang memasak bersamanya.
"Sana samper ayah," titah sang ibu.
Karin langsung meletakan pisaunya, membilas tangan dengan air bersih lalu mengambil dua helai tissue untuk mengeringkan kedua tangannya. Setelah membuang bekas tissue ke tempat sampah langsung Karin mendekat pada ayahnya yang sudah duduk diruang tamu bersama anak laki-laki yang merupakan adik kandung Karin.
"Ada apa, Yah?" tanya Karin lalu duduk disamping Malik--adiknya yang sangat fokus menonton tayangan televisi berbayar sambil mengemil cookies coklat buatan ibu.
"Karin .., udah tiga tahun setelah kamu selesai mengambil S2. Usia kamu udah dua puluh sembilan tahun, apa belum ada seseorang yang ingin kamu kenalkan ke Ayah?" pertanyaan ayah membuat Karin bahkan Malik terkejut. Maksudnya, Ayah sangat jarang--bahkan tidak pernah membahas tentang hal seperti ini. Walaupun, Karin dan Malik yakin akan selalu ada waktunya apa lagi mengingat Karin anak pertama dalam keluarga dan seorang perempuan. Tinggal di Indonesia, tepatnya di kota Malang, membuat seorang perempuan harus segera atau didesak memiliki pasangan saat usia mendekati kepala tiga. Untuk ukuran usia Karin bahkan sudah melewati.
Malik terbatuk paksa, entah mengapa ia berpura-pura terbatuk lalu pergi meninggalkan ruang keluarga dengan memegang tenggorokannya padahal ayah tidak akan menarik dia masuk kedalam percakapan. Kaki panjang adiknya melangkah ke dapur, Karin sudah menebak pasti Malik akan langsung mengadu pada ibu dengan gaya berlebihan. Memilih mengabaikan kepergian adik bongsornya Karin kembali menatap ayah, sebenarnya, Karin memang sudah mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu ayah bertanya tentang sosok laki-laki yang akan bertamu kerumah dengan niat selain bersilaturahim.
"Ayah, aku belum siap. Lagian, belum ada laki-laki yang menurut aku sesuai." Karin mencoba menjelaskan, memang benar salah satu alasannya karena merasa belum siap.
Ayah mengangguk kecil, "sebenarnya, Ayah dan Ibu pengen ngenalin kamu sama anak teman baik Ayah dari jaman kuliah dulu." kata Ayah yang melihat reaksi Karin begitu terkejut, lagi. "gimana?"
Karin menunduk, hati dan otaknya tiba-tiba saja bertengkar karena berbeda pendapat. "Ayah ..,"
"Inshaa' Allah, dia laki-laki yang baik dan penuh tanggung jawab terutama baik dalam ibadahnya. Ayah sudah pernah ketemu dia." entah mengapa Karin merasa Ayah sangat ingin membuat ia menyetujui untuk dikenalkan ke laki-laki yang bahkan Karin tidak tahu siapa.
Karin menggigit bibirnya, ia sangat takut dan ragu. Sebenarnya, ada yang Karin sembunyikan dari ayah. Seseorang yang seharusnya sejak lama ia kenalkan. Tapi, gadis yang memakai hijab langsungan itu memilih untuk menyembunyikan hubungan yang jelas, jika ayah tahu akan sangat marah.
Sebut saja, pacaran.
Dikeluarga Agabrata, memiliki hubungan diluar pernikahan itu sangat dilarang. Jika, salah satu anaknya terikat hubungan yang dibenci oleh Allah maka Brata tidak segan-segan untuk menasehati bahkan memarahi. Dikeluarga Agabrata Wijaksono sangat memegang teguh ajaran Islam, pondasi dan didikan agama sangat kental dalam keluarga. Bahkan, keluar kamar saja Karin tetap harus memakai hijab karena takut ada tamu yang tidak diundang datang lalu tanpa sengaja melihat aurat anak dan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA - fairbi✔️
FanfictionTAKDIR CINTA Aku kira kau terus bersedia untuk memperjuangkanku, sesiap aku berjuang untukmu. Tapi, aku tersadar kau tidak pernah berjuang untukku yang bukan bagaian dari kebahagianmu. Aku hanya sebuah persinggahan, buktinya kau pergi dengan nyaman...