Motor yang ditunggangi Bara dan Belia akhirnya sampai di pekarangan rumah Belia. Lebih dari tiga puluh menit perjalanan, Belia sama sekali tak membuka suara. Bara juga sungkan ingin mengajak bicara. Entah apa yang terjadi pada Belia, Bara bahkan belum berani bertanya. Raut wajahnya terlalu menyedihkan dilihat.
Baru Bara akan membuka suara setelah Belia turun dari motornya, suara klakson mobil mengurungkan niatnya. Sebuah BMW berwarna putih dengan motif cutting sticker vertikal dibagian kap mobil terparkir tak jauh dari mereka. Berbeda dengan Belia yang menunjukkan ekspresi bertanyanya, Bara justru kaget dibuatnya. Ia tahu betul mobil siapa itu.
Seorang pria dengan balutan jas hitamnya keluar dari mobil tersebut. Menghampiri Bara dengan langkah tegasnya.
"Om Yanuar?" Belia mencicit.
Yanuar menarik kasar lengan Bara. "Pulang!"
Tanpa membalas apa-apa, Bara menghempaskan lengan Yanuar yang mencekalnya. Membuat mata Yanuar semakin tajam menatap anaknya.
"Papa bilang pulang! Kenapa kamu kabur, hah?"
Tidak berteriak, tapi jelas suara Yanuar sedang sangat marah. Persis pantulan tajam mata milik sang ayah, Bara menatap mata Yanuar. Belia bahkan bisa melihat amarah besar dari keduanya. Mata yang sama-sama tajam itu sedang memancarkan apinya.
"Bara malu, Pa."
Yanuar dibuat membulatkan matanya mendengar jawaban dari suara Bara yang terkesan dingin dan dalam. Apa anaknya sedang mempermalukannya di hadapan Belia?–orang lain. Tangannya bahkan sudah siap melayang memberi pelajaran untuk bibir Bara kalau saja tidak ingat di mana ia berada. Apalagi kedatangan orang rumah Belia yang keluar karena mendengar klakson mobil sebelumnya.
Gibran dengan langkah pincangnya dan Rendra yang tampak baru saja pulang dari kantornya.
"B 2200 YA," Gibran mengeja plat nomor mobil Yanuar setelah terkejut melihat mobil yang begitu ia kenali di ingatannya sebelum kesadarannya pernah direnggut sempurna.
Semua mata kini menatap kedatangan Gibran dan Rendra. Terlebih lagi rasa heran mendengar ucapan Gibran.
"Yanuar Aditama," kini giliran suara berat Rendra.
Bara menautkan kedua alisnya, begitupun Belia. Ada apa dengan mereka? Heran saja, apakah mereka saling kenal? Namun aura mengintimidasi Rendra dan Gibran seperti menghakimi Yanuar. Entah ada masalah apa mereka ini, Bara harap bukan persoalan besar yang menghalangi hubungannya dengan Belia.
Sementara Rendra dan Yanuar masih saling tatap, Gibran mengalihkan matanya pada Belia.
"Bel, bantu Abang jalan!"
Sembari menunggu Belia menuntun langkahnya, Gibran membalikkan langkah kembali menuju rumah. Pun dengan Belia yang segera merangkul sang kakak.
Bara agak tidak rela sebenarnya ditinggalkan Belia begitu saja. Namun situasi saat ini tak mendukung dirinya bermanja-manja. Ada sesuatu yang serius di antara ayahnya dan ayah Belia. Dan sepertinya Gibran pun terlibat dengan sesuatu itu.
Bara jadi semakin cemas. Mendapat restu Gibran itu sulit. Bisa bicara dan sudah direspon baik saja butuh perjuangan ekstra. Bara tidak mau sesuatu dalam pikirannya yang menyangkut Yanuar, Rendra, dan Gibran jadi merusak hubungannya dengan Belia dan keluarganya.
Sedangkan Belia yang baru saja selesai memapah Gibran dan mendudukkan Gibran di sofa ruang tengah, langsung melipir menuju kamarnya. Situasi hatinya sedang sedih mengingat kejadian di rumah Samuel tentang Ael. Jadi, ia urungkan rasa penasaran atas hubungan kakaknya, ayahnya, dan ayah Bara yang sempat menerpanya.
Sekilas dari jendela, tiga orang itu —Bara, Yanuar, dan Rendra— masih berdiri di sana. Satu suara yang berhasil Belia tangkap telinganya adalah kata "pergi" dari sang ayah. Dengan nada tegas penuh perintah khas seorang yang marah. Dari penglihatan Belia, Rendra tengah mengacungkan tangannya menuju keluar gerbang, matanya menatap Bara dan Yanuar bergantian.
Lama-lama perasaan Belia jadi tidak enak. Sepertinya hal ini bukan persoalan kecil yang bisa diselesaikan dengan mediasi belaka. Mengingat Rendra yang selama ini dekat dan tak masalah akan adanya Bara di kehidupan anaknya, tiba-tiba semurka itu pada Bara.
"Om–" Bara hendak menyanggah, tapi Rendra benar-benar tidak ingin dibantah.
"Saya bilang pergi! Bawa orang ini pergi!" Rendra menunjuk Yanuar yang masih terdiam.
"Tapi kenapa? Ada apa antara Om dengan papa Bara?" Bara masih dengan gigihnya menanyakan hal yang sama sekali tidak pernah terjawab di sana.
"Jangan dekati Belia lagi!"
Perasaan Belia benar. Ia memilih kembali keluar kamar, menuruni tangga dan melewati ruang keluarga. Namun langkah buru-burunya tertahan seruan Gibran yang masih duduk diam di sofa.
"Stop, Belia!"
Pada anak tangga terbawah Belia benar-benar menghentikan laju kakinya. Ia menoleh pada sang kakak. Gibran tahu persoalan yang membuat ayahnya marah pada Bara, begitu Belia rasa.
Mengurungkan niatnya untuk menghampiri tiga orang di depan, Belia mendekati Gibran. Pikirannya berkecamuk dengan langkah pelan. Ini bukan drama angst yang akan memisahkan perasaan mereka, kan? Jujur saja, Belia tidak mau jauh dari Bara yang sudah membuatnya nyaman.
"Duduk!" perintah Gibran dengan suara datar.
Belia menurut. Ia menunggu apa yang mungkin akan Gibran katakan. Namun beberapa menit ia terdiam, Gibran pun bungkam dengan mata terpejam.
"Abang nggak mau bicara? Ya udah aku mau ke depan nyamperin Ba–"
"Belia ... Nurut apa kata Abang. Diam dan nggak usah ikut campur!"
Ucapan Gibran barusan memperjelas adanya masalah antara mereka. Tapi apa? Gibran saja tak mau bercerita.
Brak!
Suara pintu yang tertutup dengan keras membuat Belia menoleh cepat. Ia berdiri hendak menghampiri Rendra yang melangkah masuk sembari melepas kancing kemeja teratasnya.
"Yah, Ayah kenapa marahin Bara kayak gitu?" Belia bertanya.
Rendra menghela kasar napasnya. Belia memang belum tahu apa-apa.
"Belia duduk! Jangan ikut campur!" seruan Gibran mengejutkan mereka. Pun Gina yang baru selesai dengan urusan dapur dan masakannya.
"Eh, eh, Abang kenapa bentak-bentak adiknya?" Gina menyela.
Tidak ada yang menjawab Gina. Mereka semua terdiam. Apalagi Belia yang tak tahu apa-apa tiba-tiba dibentak sang kakak.
"Belia, tolong jauhi Bara!"
Rendra berucap dengan tenang sembari mendudukkan dirinya. Mungkin sederhana baginya, tapi sangat tidak untuk Belia. Gina saja turut kaget mendengar ucapan suaminya.
"Yah! Kenapa?"
"Ayah mohon ... mereka bukan keluarga baik-baik."
Belia mengernyit kemudian menyanggah, "Bara baik, Yah! Aku nggak mau, Bara orang yang baik banget."
"Belia!" seru Rendra pada Belia.
Merasa sang suami mulai termakan emosi, Gina turut andil menengahi. "Yah, emang kenapa? Kenapa Belia harus jauhin Bara? Bara baik selama ini, kan? Ayah tau itu."
"Bara itu anaknya Yanuar Aditama."
"Ya– Yanuar Aditama?"
"Ya, Yanuar Aditama yang menyebabkan kecelakaan Gibran dan nggak bertanggung jawab atas kematian Ael."
Kalian pasti tahu siapa yang paling terkejut di antara mereka berempat. Ya, Belia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and Monday (lagi sambil direvisi)
Teen FictionBara Ajuna Aditama, bad boy kelas hiu yang bandelnya begitu menjengkelkan. Cowok absurd yang benci hari setelah Minggu. Baginya, hari itu adalah kesialannya, kenapa harus di hari Senin? Sayangnya, cewek biasa yang tak berdosa di hidup Bara harus ter...