Dengan wajah kusut dan lebam kemerahan di ujung matanya, Bara berjalan melewati koridor yang masih sangat sepi. Sudah dipastikan Yanuar menghajarnya sepulang dari rumah Belia. Itu kenapa Bara rela berangkat sepagi ini ke sekolah. Di ruang kelas bahkan tidak ada orang. Hanya sebuah tas milik Samuel yang tergolek asal di atas meja.
"Dih, rajin juga nih anak udah berangkat," komentar Bara ketika melihat tas Samuel.
Hanya karena Bara berangkat paling telat bahkan kadang terlambat, tak tahu saja kalau Samuel pun tidak berangkat sepagi ini seperti biasanya.
Selepas meletakkan tas miliknya, Bara pun keluar kelas. Langkah yang akan dituju ke arah kantin terhenti kala melihat Samuel sedang bermain bola sendiri. Tendangan penuh tenaga diarahkan Samuel menuju gawang. Bara jadi mengubah niatnya ke kantin untuk menghampiri Samuel saja
"Wah! Gokil juga tendangan lo," sembari bertepuk tangan, Bara berkomentar.
Samuel sempat tersentak sebelum kemudian membuang muka tanpa mengindahkan kedatangan Bara. Ia berlari mengehentikan bola yang masih menggelinding pelan dengan kakinya. Mendribble bola sepak itu ke arah titik pinalti di sana. Kembali sekuat tenaga, Samuel menendang bola tersebut ke gawang di depannya.
Begitu berulangkali. Membuat Bara heran dan berjalan menghampiri. Pasalnya, sejak kedatangannya lima menit tadi Samuel tak meliriknya. Biasanya baru terlihat batang hidung Bara saja, Samuel siap memaki.
"Jangan main sendiri, dong. Sini lawan gue!" ajak Bara.
Ia merebut bola dari kaki Samuel. Bukan candaan yang Samuel tangkap, ia justru terlihat kesal pada Bara.
"Enggak usah sok asik, deh, lo!"
Sarkas. Samuel bersuara dengan nada yang asing terdengar di telinga Bara. Hal itu membuat Bara menghentikan gerakannya. Ia menatap Samuel yang berdiri tak jauh darinya. Tidak ada gurat jenaka di wajah Samuel yang dilihat Bara.
"Ya, gue emang gini perasaan," balas Bara. Ia mendekat pada Samuel.
"Lo yang jadi nggak asik, ada masalah lo sama gue?" sambung Bara.
Samuel tersenyum kecut. Lagi-lagi Bara dibuat heran dengan sikap Samuel yang tak biasanya ini. Aura Samuel sudah beda dirasakan Bara sejak awal. Samuel yang biasanya memaki dengan guyonan khas-nya kepada Bara, sekarang tidak ada.
"Besar. Masalah lo sama gue besar."
Samuel menekan kata "besar" yang ia lontarkan.
Bara makin tak paham. Selama ini mereka baik-baik saja. Hampir dua tahun berteman, tak ada masalah serius kecuali sebatas berebut nasi bungkus. Kalau dibilang bercanda, Bara juga tidak yakin. Samuel tak pernah semengerikan ini dengan leluconnya.
"Sam, gue nggak ngerti," Bara menggeleng.
"Lagak lo enggak tau apa-apa, padahal bokap lo sendiri yang bikin kesalahan ini semua."
Samuel berkata dengan serius. Matanya menatap Bara nyalang. Di tengah lapangan, mereka beradu tatap bak lawan perang. Bara sendiri semakin tak mengerti. Apa yang dikatakan Samuel tiba-tiba memunculkan spekulasi tak baik di kepalanya. Namun Bara sendiri tak bisa menerka.
"Gue bener-bener nggak paham ada masalah apa lo sama bokap gue, Sam," Bara mencoba tak termakan emosi.
"Karena bokap lo pembunuh!" Samuel memukul pipi Bara dengan kepalan tangannya.
"Maksud lo apa, sih, Sam?!" Bara membalas pukulan Samuel.
"Karena bokap lo yang udah bikin Rafael meninggal, Bangsat!"
Samuel kembali meninju Bara. Melampiaskan emosi yang ia pendam semenjak mengetahui kebenarannya. Kebenaran bahwa Yanuar yang membuat kembarannya meregang nyawa.
Sementara Bara terdiam. Tidak membalas pukulan Samuel. Pikirannya kosong setelah mendengar perkataan Samuel. Ia masih belum sepenuhnya mengerti sebenarnya, tapi dari emosi Samuel membuat Bara yakin ini memang masalah besar yang bisa saja menghancurkan persahabatan mereka.
"Bokap lo yang udah bikin kecelakaan parah satu tahun lalu itu," ucap Samuel dengan keras.
"Bukan cuma nyokap lo yang jadi korban, tapi Rafael sama kakaknya Belia juga jadi korban kebrengsekan bokap lo, Bar!"
Mendengar seseorang yang Samuel sebut tadi, membuat Bara mendongakkan kepalanya seketika. Terkejut bila kakaknya Belia turut ada dalam masalah ini.
"Kakaknya Belia? Bang Gibran maksud lo?" tanya Bara lirih.
"Lo pikir siapa? Dan apa lo tau siapa Rafael buat Belia?"
Bara menatap Samuel lekat. Tertarik dengan pertanyaan Samuel yang sama sekali tidak Bara tahu jawabannya. Ia diam, memilih menunggu apa yang akan Samuel katakan. Ia harap bukan sesuatu yang semakin merusak suasana hatinya. Meskipun kecil kemungkinan apa yang diharapkannya sesuai kenyataan.
"Rafael itu cinta pertama Belia. Dan Rafael harus ninggalin orang yang dia sayang bahkan sebelum sempat milikin Belia. Bokap lo udah ngilangin orang-orang tersayang dari mereka. Bahkan nyokap lo sendiri dibikin kayak gitu sama dia. Bejat emang bokap lo, Bar!"
Udara pagi yang seharusnya sejuk menjadi panas bagi mereka. Begitupun mata dan hati Bara yang mendadak panas mendengar semua perkataan Samuel. Ia tahu siapa yang menyebabkan mamanya kecelakaan, tapi ia tak pernah tahu siapa saja yang menjadi korban. Bara tak pernah tahu bahwa orang lain yang menjadi korban kecelakaan itu adalah orang tersayang bagi orang-orang yang Bara harap selalu ada di sisinya. Keluarga Samuel dan keluarga Belia yang sudah menjadi bagian di hidup Bara. Bara tak mau kehilangan bahagia dari keluarga mereka, tapi skenario Tuhan benar-benar berbeda. Siap tidak siap Bara mungkin harus kehilangan mereka.
"Mungkin kalo gue nggak tau sekarang, gue masih jadi orang tolol yang temenan sama anak pembunuh kayak lo," Samuel menunjuk dada bidang Bara.
"Cukup, Sam! Kalo gitu jauh-jauh lo dari gue! Gue emang nggak pantes dikasihani orang baik kayak kalian."
Sejujurnya sangat sakit mengatakannya, tapi Bara sadar ia memang tidak pantas dikelilingi orang-orang baik seperti Samuel, Belia, dan keluarga mereka. Kebencian dari Samuel sudah cukup membuat Bara tahu betapa menyedihkan dirinya sekarang. Belum lagi perihal ayah Belia yang begitu tak suka dengan keberadaan ayahnya kemarin. Jadi, ini alasan Rendra dan Gibran berubah padanya kemarin. Ini alasan Rendra mengusirnya kemarin.
Bara benar-benar baru mengetahui faktanya hari ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and Monday (lagi sambil direvisi)
Teen FictionBara Ajuna Aditama, bad boy kelas hiu yang bandelnya begitu menjengkelkan. Cowok absurd yang benci hari setelah Minggu. Baginya, hari itu adalah kesialannya, kenapa harus di hari Senin? Sayangnya, cewek biasa yang tak berdosa di hidup Bara harus ter...