29. | Senyawa Rasa |

60 6 15
                                    

---
"Nyatanya, jatuh cinta membuat hidup lebih berwarna."
---

Pagi menjelang siang, cowok yang baru saja menggerakkan kelopak matanya sekarang benar-benar terbangun dari lelap. Semalaman Bara tidur dengan posisi duduknya. Tulang-tulangnya jadi kerasa pegal sekarang.

Diputarnya bagian leher ke kiri dan ke kanan. Menimbulkan bunyi keras seolah patah tulang lehernya. Ia menggeliatkan tubuhnya. Meregangkan otot yang terasa kaku. Beberapa saat Bara sibuk melemaskan seluruh persendiannya. Terlalu lama tidur dalam posisi yang tidak seharusnya membuat tubuhnya sakit semua.

Sepi. Nggak ada orang?

Bara mengedarkan pandangan. Selain dirinya, tak ada siapapun di ruangan.

Ia menghela napas panjang. Melihat sampah kacang dan kuaci serta bungkus-bungkus lain berserakan. Bukan hanya itu, kaleng bir pun tergeletak tidak sedikit di sekitar. Bahkan terhitung ada dua buah botol berwarna hijau dan beberapa gelas di meja. Pasti teman-temannya habis berpesta semalam.

Suara pintu terbuka dari sisi sebelah kirinya mengalihkan perhatian. Bram di sana sedang melangkah keluar sembari membetulkan letak celana di lingkaran pinggangnya. Ia baru saja selesai mengurus urinenya. Oh, ternyata Bara tak sendirian di tempat ini.

"Dah bangun lo, Bar? Tidur kayak orang mati lo," Bram langsung mencibir dengan bibir tipisnya begitu melihat Bara.

"Lo, kok, di sini? Yang lain nggak ada," sahut Bara.

Bram mendudukkan diri di kursi lainnya. Mengambil kotak kecil di atas meja kemudian mengambil isi batangnya. Ia menyulut rokok dengan santainya.

"Heh, lo pikir ini rumah lo? Berhak kali gue di sini," balas Bram lalu mengembuskan asap pekat dari mulutnya.

Bara bangkit dan menuju kamar mandi. Mengerang kesal ketika langkahnya tertahan bekas kaleng bir yang tak sengaja ia injak. Selalu begini jika mereka habis berpesta, tak segera dibersihkan kalau Bara belum bersuara.

"Anjing! Kalian kalo udah sadar dari teler bisa langsung bersihin, kan?!"

Sebelumnya Bram sudah menutup kuping. Ia sangat tahu, anak paling alim di club Fire itu tak akan suka hal-hal semacam ini. Berpesta dengan minuman beralkohol tinggi. Bara bahkan sering menceramahi. Tapi anggota yang terbilang alkoholik mana mau menuruti.

Bara melemparkan kaleng tersebut ke arah Bram. Beruntungnya, gerakan gesit dari Bram tidak sampai membuat kaleng itu mengenai dirinya.

"Ups, gue nggak ikutan, Bar. Asli," Bram menunjukan dua jari yang ia bentuk huruf 'v' di atas kepalanya.

Siapa yang peduli? Mau Bram ikut serta atau tidak, kalau tahu tempatnya berserakan begini seharusnya otaknya memerintah agar dirapikan. Itu kalau memang otak Bram masih berfungsi semestinya. Meskipun Bara tahu, teman-temannya seperti tak punya otak semua.

Setelah meloloskan satu kali geraman lagi, Bara melanjutkan niatnya—mencuci muka.

"Ini, nih, yang bikin Bara salah sasaran bentak-bentak gue,"

Bram berujar pada sosok Fino yang baru saja datang. Fino dan anggota seumurannya yang sudah kuliah memang alkoholik sekali. Sedang bahagia saja ia melampiaskan pada minuman seperti itu, apalagi saat di kondisi paling hancur.

Fino bukannya baru datang, tadi pagi setelah sadar dari tidurnya, ia pergi entah kemana. Lalu sekarang datang tepat saat Bara selesai meneriaki Bram yang bahkan tidak ikutan berpesta.

"Mana Bara?" Fino bertanya setelah puas tertawa.

Wajah jengkel Bram mengarah ke kamar mandi. Bertepatan dengan Bara memunculkan diri. Bara mendekati keduanya, duduk di kursi dan mengambil satu-satunya botol air mineral yang tergeletak di sana. Setidaknya ada satu minuman waras yang masih ada.

Me and Monday (lagi sambil direvisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang