41. | Operasi |

61 4 2
                                    

"Bel, Bara mau operasi hari ini."

Pernyataan yang barusan Belia dapat setelah menerima panggilan telepon dari Samuel membuatnya terkejut bukan main. Seingatnya Bara tidak kenapa-kenapa atau punya penyakit apa-apa.

"O- operasi? Operasi apa maksud lo?" Sedikit tergagap, Belia menjawab.

"Gue harap lo bisa ke sini, ya? Bara butuh support lo," pesan Samuel.

"Sam, Sam, jawab dulu! Bara kenapa? Operasi apa?" nadanya tidak bisa untuk menyembunyikan kepanikannya. Belia benar-benar khawatir sekarang.

"Om Yanuar kecelakaan dan butuh donor hati."

Sampai sini Belia sudah paham. Tapi apa yang harus ia lakukan, sedangkan dirinya dilarang menemui Bara oleh ayah dan kakaknya.

Apa tega Belia membiarkan Bara bersama rasa sakitnya. Bara pasti sangat terpukul dengan duka yang datang beruntun tanpa permisi ini. Baru kemarin Belia mendengar kabar duka dari meninggalnya mamanya Bara, sekarang berita buruk lain hadir lagi menyapa telinganya. Masih seputar Bara dan Belia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya menjadi Bara di saat seperti ini.

Egonya saat ini untuk Bara. Jadi, biarkan kali ini Belia memenangkan rasa itu. Ia ingin ada di samping Bara sekarang. Menenangkan sedihnya walau sedikit terlambat, menguatkan hatinya walau sebatas sempat.

Gerak tangan yang baru saja mematikan panggilan dari ponselnya beralih cepat masuk ke dalam tas yang baru saja diraihnya. Disusul sebuah dompet masuk ke dalam tasnya. Gesitnya kini berganti pada kaki yang melangkah cepat menuruni tangga. Namun terhenti ketika sang ayah menginterupsi dengan namanya.

"Mau ke mana kamu?" tanya Rendra dengan tegas.

Belia gelagapan. Tidak mungkin ia jujur, tapi sangat tidak mungkin lagi ia berbohong. Mata yang sudah menatap curiga padanya itu membuat Belia menggerakkan bola matanya dengan linglung. Sebuah gerakan sederhana yang sangat terbaca lawan bicaranya. Rendra jelas tahu kalau rasa curiganya itu benar.

"Ayah, aku mohon, aku mau ketemu Bara," dengan lirihnya Belia berkata.

Raut tegas Rendra menjadi semakin kaku mendengar permintaan izin dari anaknya.

"Yah ... Belia mohon, Bara ada di rumah sakit, aku mau ketemu sama Bara, Yah," Belia memohon.

"Nggak, Belia. Masuk kamarmu!"

Suara keras kepala rumah tangga tersebut membuat sang isterinya datang, turut keluar dari kamarnya karena suara berisik perdebatan Rendra dan Belia. Begitupun Gibran yang baru saja muncul dari arah dapur.

Melihat anak perempuannya tengah beradu mulut dengan ayahnya, Gina mendekat. Mencoba memahami apa yang ayah dan anak itu ributkan.

"Ayah, Bara salah apa, sih? Sampai aku dilarang deket lagi sama dia? Yah, Bara nggak salah apa-apa, Ayah jangan dibutakan sama rasa marah."

"Bara mau operasi di rumah sakit, aku mau ketemu sama Bara, Yah. Aku mohon ..."

Dari permohonan Belia, Gina paham. Masalah kecelakaan yang tak bisa dituntut pelakunya itu memang membuat Rendra marah besar, bahkan tak mau memaafkan siapapun yang sudah menyebabkan hal itu. Meskipun Gibran kini sudah sehat kembali, tapi tak bisa begitu saja meredakan dendam pada diri Rendra untuk pelaku kecelakaannya.

"Yah, Belia benar, Bara nggak salah apa-apa, Bara bahkan nggak ada hubungannya sama kejadian itu. Lagi pula Gibran sudah bersama kita dengan kondisi sehat. Ayah masih nyimpen dendam?"

Dengan suara lembut keibuannya, Gina berbicara pada suaminya. Usapan tangan halusnya dengan teratur membelai punggung Rendra.

"Ayah, aku cinta sama Bara, aku nggak mau kehilangan orang yang aku cinta sekali lagi. Jadi, aku mohon biarin aku ketemu Bara, ya, Yah?"

Entah dapat keberanian dari mana Belia mengungkapkannya. Gibran saja tak percaya dibuatnya. Adik manisnya yang malu-malu kini bisa dengan lantang mengucap cinta di depan orang tua.

:::::

Hari sudah larut malam, tapi orang-orang yang setia menunggu di depan ruang operasi masih sabar menanti. Dua nyawa yang sedang bertaruh di dalam sana sekonyong-konyong menumpahkan air mata sedih yang tersisa. Mengingat betapa hari yang penuh duka ini menampar hati yang sesak berpuluh-puluh kali. Ada harap yang luar biasa besar meskipun kemungkinan tak terwujudnya juga luar biasa kecil.

Samuel yang terlihat paling sibuk dengan ponselnya. Mengabari seseorang yang sulit ditunggu hadirnya. Sekali lagi, Samuel coba untuk yang terakhir kali. Semoga Belia menjawab teleponnya dan mengiyakan dengan senang hati.

"Iya, Sam, gue udah di rumah sakit. Ini bentar lagi sampe deket lo."

Suara dari seberang telepon yang samar-samar terdengar nyata membuat Samuel mengedarkan pandangannya. Pijakan kaki yang menimbulkan bunyi nyaring antara sepatu dan lantai bertempo dengan cepat. Dari arah depan pandangannya, Samuel dapat melihat tubuh Belia yang semakin lama semakin dekat.

Sejenak Belia menghela napas, "Bara masih di dalam, Sam?"

Samuel mengangguk. Tersenyum lega akhirnya Belia datang juga. Mengingat kejadian tempo hari ketika Belia berkata akan menjauhi Bara, membuat harap Samuel semakin sulit nyata. Namun kenyataannya sekarang Belia ada. Dia datang demi Bara.

Lampu yang sejak tiga jam lalu menyala itu akhirnya padam. Pintu ruang operasi terbuka cepat. Memunculkan dokter pria dengan peluh di sekitaran dahi dan rambutnya.

Harap-harap cemas terpampang di air muka semua yang ada di sana. Lidya, Jojo, Samuel, dan Belia benar-benar mengharapkan keduanya baik-baik saja. Namun sebuah klausa berbeda disampaikan sang dokter untuk kondisi salah satunya.

"Kami berhasil mendonorkan sebagian hati Bara pada Pak Yanuar, tapi ada sedikit kendala pada Bara."

Kata pertentangan yang membuat semuanya menunduk lemas.

"Bara kenapa, Dok?" sambar Belia.

"Ada sedikit masalah di jaringan fungsi hati Bara setelah kami lakukan pengambilan hatinya, jadi untuk sementara Bara dalam kondisi kritis saat ini."

Penuturan sang dokter sudah sangat jelas untuk membuat air mata Belia mengalir deras. Rasa sesal karena tak ada di sisi Bara di saat-saat terpuruknya membuat Belia merasa bersalah. Takut mendominasi perasaannya, ia sungguh tidak mau kehilangan Bara.

***

Me and Monday (lagi sambil direvisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang