38. | Senja dan Cerita |

39 2 2
                                    

Hai Bela!

Aduh enggak kekinian banget, ya, segala pake surat haha

Cuma mau kasih tau, malam Minggu nanti jangan ke mana-mana, ya? Gue mau culik lo.
Pokoknya sehabis gue pulang dari Jakarta sama Bang Gibran, itu quality time buat kita. Gak mau tau.

Gue enggak yakin, sih, Om Pram bakal ngasih ini selagi bunganya seger haha
Simpen kalo bunganya masih seger, tapi kalo udah layu buang aja nanti gue beliin lagi.

Makasih, ya, udah bikin gue nyaman sama lo.
Jangan lupa bilang "iya" nanti!

Oke, see you later.

Belia kembali dibuat menangis setelah membaca ulang tulisan dalam secarik kertas tersebut. Belia tak butuh bunganya, ia hanya ingin Rafael ada.

Sudah setahun lamanya, ternyata rasa itu masih ada. Entah benar-benar masih sama seperti awalnya atau hanya sebuah rasa yang terbentuk karena kehilangan. Yang jelas Belia merindukan Rafael karena kejadiannya terlalu cepat. Waktu menggerakkan detiknya tanpa pernah memberi aba-aba.

Dering familiar yang menyapa gendang telinganya sempat membangunkan lamunan Belia. Tidak hanya satu kali ponsel yang lama ia biarkan itu berbunyi. Namun Belia dan sedihnya tidak ingin diganggu. Dan sekali lagi, tangannya terangkat menghapus jejak air mata di kedua pipi.

Mata berair yang tak pernah lepas menatap sebuah potret dua insan di layar monitor laptop itu kini memejam. Pun tangannya yang beralih menutup laptop di pangkuannya itu dengan kasar. Sesak sekali rasanya, Belia ternyata belum bisa menerima.

"Ael, Bela kangen," di tengah lirih tangisnya Belia mengungkapkan isi hatinya.

Selang beberapa saat sampai untuk kesekian kalinya Belia menghela napas panjang.

"Stop, Belia, stop! Berhenti nangisin Ael! Lo sendiri yang bilang Ael udah bahagia 'di sana'. Please, Ael nggak bakal suka lo kayak gini," rancau Belia pada dirinya sendiri.

Selesai memaki tingkahnya sendiri, Belia melirik ponselnya yang lagi-lagi berbunyi. Empat huruf kapital tertera jelas di layar saat ini.

BARA.

Jadi, yang sedari tadi meneror ponselnya itu Bara.

Dengan cepat tangannya meraih benda pipih tersebut. Bukannya menggeser dial berwarna hijau untuk menjawab teleponnya, Belia justru mematikan ponselnya. Bukan panggilannya, tapi benar-benar mematikan daya ponselnya.

"Please, jauhin gue, benci gue, Bar," lirih Belia.

Sesegukannya bertambah kala Belia mengatakan kalimat tersebut. Bagaimanapun juga Bara sudah hadir di hidup Belia dan membuatnya terbawa rasa. Di sisi ini Belia juga tak benar-benar mengerti perasaanya. Masih terpaut pada Rafael atau memang sudah ada untuk Bara. Belia hanya tidak ingin membuat Bara terluka karena seseorang di masa lalunya.

:::::

Senja memang selalu bisa menjadi pelarian bahagia dan kesedihan. Waktu peralihan siang dan malam yang jadi kesempatan paling tepat pelampiasan. Jingganya akan mengerti kapanpun bahagia itu menjadi dan senjanya selalu paham bagaimana rasa sedih itu terjadi.

Sudah sejak saat hari terbilang sore Samuel tak beranjak dari duduknya. Berselonjor sambil memangku gitar yang tak ia mainkan di pojok balkon. Lagu klasik yang terputar dari ponselnya beberapa kali kehilangan volume karena diambil alih nada dering pertanda panggilan masuk.

"Brengsek!"

Umpat Samuel pada panggilan kesekian kalinya begitu ia mendapati nama Bara terpampang di layar ponselnya. Bertepatan seorang pria memasuki kamarnya. Umpatan Samuel terlalu keras sampai membuat pria tersebut menegurnya.

"Diem dari tadi, tau-tau bilang brengsek. Ada masalah apa kamu, Sam?"

Prambudi, yang tengah mengunjungi rumah keluarga Maya, kakak perempuannya. Ia menghampiri Samuel, berdiri di hadapan Samuel dengan menyangga lengannya pada pembatas balkon. Samuel tak menjawab, ia justru memetik senar gitarnya asal-asalan.

Sekali lagi, dering nada yang sama dengan penelepon yang sama kembali menyapa. Masih dibiarkan pemilik ponselnya.

"Kenapa nggak diangkat?" celetuk Pram.

Samuel berdecak keras. Mengambil benda pipih tersebut kemudian mendial tombol merah untuk menolak panggilannya. Gerak yang tak lepas dari penglihatan Pram, kembali membuatnya menegur sang keponakan.

"Karena Yanuar Aditama?" terkanya.

"Gue cuma lagi butuh waktu aja, Om," dalih Samuel.

Pram menghela napas, memandang langit di atas.

Kehilangan Rafael seperti hilang satu jiwa Samuel. Kembar yang sejak lama terpisahkan jarak, semakin dipisah jauh setelah kabar kematian yang mendadak. Dulu Pram memang lebih sering mengajak Rafael kecil berlibur dengannya. Sampai Rafael sendiri betah tinggal bersamanya. Rafael bilang, ia tidak mau pulang. Ada teman yang ia sayang, begitu katanya saat kelulusan sekolah dasar datang.

Sekarang Samuel tahu siapa teman yang Rafael sayang itu. Dunia semakin sempit saja pikirnya. Semua yang terlibat ada di dekatnya.

"Om tau, Sam, semua ini perlu waktu," ucap Pram, ia masih setia memandang semburat senja yang tiba-tiba tak lagi berwarna. Awannya mendadak suram dan langitnya ikut menghitam. Lalu rinai mulai hadir ke permukaan jalan.

"Tapi jangan biarin rasa benci kamu itu berubah jadi dendam, apalagi ke orang yang sama sekali nggak bersalah. Om tau betul gimana sulitnya rasa kecewa itu butuh waktu untuk sembuh," sambung Pram.

"Lagian kamu anak kecil bisa apa? Jalur hukum? Ini kasus kecelakaan bukan rencana pembunuhan. Yanuar punya uang buat bayar pengacara semahal apapun. Kasus ini juga udah ditutup dari dulu, orangtuamu udah mengikhlaskan kepergian Rafael."

Samuel yang sedari tadi mendongak sambil memejamkan mata kini menundukkan kepalanya. Entah apa yang sedang dirasakan Samuel dan pikirannya.

"Gue bingung, Om," kata Samuel. Ia membuka matanya untuk menatap Pram, begitupun Pram yang menolehkan kepalanya pada Samuel.

Pram menegakkan badannya. "Sam, kalau kamu butuh waktu, enggak apa-apa. Tenangin dulu emosi kamu. Yang kamu rasain saat ini cuma emosi sesaat."

"Om udah banyak belajar dari kesalahan masa lalu. Semakin kita menelan mentah-mentah kekecewaan itu, semakin kita merasa sakit dan menyesal sendiri. Om harap kamu nggak akan ada di posisi menyesal nanti."

Pram mengakhiri petuahnya dengan menepuk bahu Samuel. Ragu yang menyelimuti hawa hatinya perlahan pudar. Mungkin ia harus berdamai dengan keadaan. Bara tidak pantas ia benci sebagai pelampiasan.

"Udah ngerti sekarang? Jangan lupa minta maaf sama Bara," kata Pram sebelum memilih meninggalkan Samuel seorang diri lagi.

Minta maaf sama Bara?

***

Me and Monday (lagi sambil direvisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang