37. | Sesak |

53 3 2
                                    

Pintu kelas yang sudah terbuka, dilebarkan lagi dengan hentakan yang keras dari tangan Ica. Dengan langkah tergesa ia masuk dan menghampiri Belia yang terduduk manis di bangkunya.

"Bel, Bel! Lo harus tau, Bel. Bara sama Samuel berantem di lapangan!"

Mengalahkan hebohnya suporter pertandingan, Ica berseru sembari menggoyangkan lengan Belia. Sebenarnya Belia sendiri sedang tak bersemangat sejak tadi, tapi tarikan Ica membawanya bangkit dan terpaksa mengikuti langkah cepat Ica. Syifa yang baru saja memasuki ruang kelas pun mau tak mau mengikuti mereka.

Bukan lagi dua sejoli yang sedang beradu mulut seperti beberapa saat lalu. Sekarang beberapa murid bahkan sudah berkerumun menonton amarah dua orang yang dikenal sangat akrab seantero sekolah. Siapa yang tidak heran? Bara dan Samuel yang notabene sahabat dekat bak perangko pada surat tengah bertengkar di ruang terbuka seperti ini.

"Lo mending pisahin mereka, deh, Bel," suruh Syifa.

"Lo gila? Mereka tonjok-tonjokan, kalo Belia kena gimana?" sanggah Ica.

"Terus tujuan lo tarik-tarik Belia ke sini buat apa? Buat nontonin doang? Mungkin Bara bakal lebih tenang kalo Belia muncul di sana," saran Syifa.

Yang sedang didebatkan hanya melihat pertengkaran kedua orang di tengah sana dengan tatapan nyalangnya. Kalau kejadian ini terjadi sebelum hari kemarin, mungkin Belia sudah panik dan menerobos masuk ke dalam pertengkaran mereka tanpa diperintah temannya. Namun kali ini rasa yang diharapkan seperti itu sulit hadirnya.

Kedua mata yang tak lepas memandang ke arah Bara dengan sendu terhalangi tiba-tiba. Sesosok tubuh berdiri di hadapannya. Entah sejak kapan Samuel beranjak dari tengah lapangan sana dan berakhir di depan mata Belia. Isyarat mata yang tak sulit diartikan Samuel membuatnya membawa Belia pergi dari sana. Belia sempat tersentak, tapi tak memberontak.

Ada banyak hal yang sama-sama ingin mereka keluarkan.

Bara melihatnya. Melihat bagaimana Samuel membawa pergi Belia. Rasanya seperti dikhianati alam semesta. Sesak di dadanya membuat semua luka menganga. Pertahanan anti pelurunya sudah diruntuhkan sebuah kenyataan yang paling mengecewakan. Bara mengangkat telapak tangannya, mengusap pipinya. Ia kira ini luka yang paling sakit sampai membuatnya serasa menangis. Nyatanya air mata yang diharapkan untuk sedikit saja melegakan sesaknya, tidak ada. Sekarang giliran langkahnya yang mencoba tetap tegar berpijak. Meninggalkan pijakan semula sebagai tempat berdirinya. Bara kira tubuhnya benar-benar sudah kehilangan nyawa akibat dihantam sejuta kesakitan lewat rasa sesaknya, tapi nyatanya ia masih sanggup berjalan bersama rasa pedihnya.

"Gue obatin luka lo, ya, Sam?"

Suara itu menghentikan langkah Bara tepat di depan ruang UKS. Gadis yang sampai kemarin masih bisa digapainya. Kini ingin mendekatinya saja Bara merasa hina.

"Bel," panggil Samuel.

"Tentang Rafael–"

Belia menghentikan gerakannya. Nama Rafael begitu membekas di hatinya, sehingga sekali saja disinggung pembicaraan tentangnya Belia merasa sedih seketika.

"Ael udah tenang, kok, di sana," Belia mendongakkan kepalanya dan tersenyum pada Samuel.

"Tapi bokapnya Bara yang ngelakuin itu semua, gue nggak selapang dada itu mengikhlaskan gitu aja," kata Samuel.

"Gue tau, Sam, gue tau. Perasaan gue nggak hancur karena Ael doang yang jadi korban, tapi di situ Abang gue juga sampe koma berbulan-bulan."

"Gimana hancurnya gue saat itu, Sam?"

"Dan sekarang, semua kebenaran itu semakin bikin gue hancur saat tau kenyataannya. Kenyataan kalo bokapnya Bara yang menyebabkan kecelakaan itu. Gue sedih, Sam, gue nggak tau harus gimana," rancau Belia.

Samuel memajukan tubuhnya, mengulurkan tangannya dan merengkuh Belia. Begitupun Belia yang meremas seragam belakang Samuel. Melampiaskan rasa sakit yang ia rasakan saat ini. Kasa yang sudah ditetesi alkohol untuk mengobati lebam Samuel, dibiarkan terjatuh dari tangannya. Sekarang yang butuh diobati adalah rasa sakit di dada mereka.

Samuel sekarang membenci Bara. Namun di sisi lain, ia tak menampik bahwa Bara sahabatnya. Ia tak lupa sebaik apa Bara padanya dan sepedih apa kehidupan Bara. Namun Samuel butuh waktu. Kenyataan siapa yang menyebabkan saudara kembarnya kehilangan nyawa benar-benar mengoyak emosinya. Samuel pernah bersumpah tak memaafkan pelakunya dan tak membiarkan keluarganya hidup bahagia, tapi skenario Tuhan memang bukan kehendaknya. Apa tega Samuel menyakiti hidup Bara sekali lagi?

Belia kini ragu. Kembali mencintai Bara atau pergi saja membawa kisah lalu. Ia tak menyangkal bahwa Bara berhasil membuatnya kembali merasakan apa cinta itu. Tapi kenyataan ini membuat pikirannya bisu, tak mampu mengucapkan apa yang sebenarnya ia mau. Bukan salah Bara, Belia tahu.

"Gue bingung, Sam. Gue sayang sama Bara, tapi mereka mau gue jauhin Bara," rancau Belia dalam pelukan Samuel.

Yang sedari tadi terduduk di depan UKS semakin merapatkan kelopak matanya. Rasa sesaknya bertambah mendengar Belia mengungkapkan rasa sayang untuknya. Senang memang, tapi rasa itu tak cukup menutupi kecewa atas kenyataannya sekarang.

"Sam?"

Samuel berdeham menanggapi Belia.

"Jangan benci sama Bara, ya? Jangan jauhin dia kayak gue, jaga Bara. Dia mungkin yang paling sakit di antara kita."

Suara Belia teredam diakhirnya. Tangisnya tak cukup kuat disembunyikan lewat gigitan di bibirnya. Ia mengeratkan pelukan Samuel dan membenamkan wajahnya di dada Samuel.

Samuel tak menjawab. Ia memindahkan elusan dari punggung Belia ke kepala.

"Lo harus baikan sama Bara, Sam," lirih Belia dengan suara paraunya.

Lagi-lagi tak ada jawaban pasti dari Samuel. Ia justru melepas rengkuhannya dari Belia. Menggenggam kedua bahu Belia, menguatkannya.

"Lo tenang aja, Bel. Jangan nangis, ya? Gue yang bakal gantiin Rafael buat jagain lo," ucap Samuel.

Samuel merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebuah amplop berwarna pastel yang sudah tertekuk kemudian diberikannya pada Belia.

"Dari Rafael."

Dengan air mata yang semakin keluar, Belia membukanya. Tulisan tangan yang tak begitu rapi menyapa matanya. Utas kalimat yang tak begitu panjang kembali mendesak air mata yang belum keluar.

"Lo dapat ini dari mana?" tanya Belia di tengah sesegukannya.

"Om Pram. Om Pram yang kasih surat itu ke gue dan cerita semua kronologinya," jawab Samuel.

Keduanya benar-benar dalam suasana perlu dikuatkan. Keduanya sama-sama merasa sakit karena kehilangan. Begitu pula seorang yang masih menangis dalam diam di bangku depan. Kini ketiganya sedang dipermainkan cobaan untuk memilih pergi atau bertahan.

Me and Monday (lagi sambil direvisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang