---
Yang berawal dari rumit, selesainya pun sulit.
---Menyimpan luka batin memang merepotkan mental. Kalau tidak dilampiaskan, bukan kemungkinan lagi bisa gila betulan. Sekali bercerita mungkin tak apa, tapi setidaknya tahu batasannya. Orang lain juga punya masalah, hidup mereka bukan cuma untuk mendengar keluh kesah kita yang acak.
Samuel mungkin tahu banyak hal tentang Bara. Tapi tidak seluruhnya. Cowok yang baru saja selesai mencuci alat makannya kini duduk bersandar pada sofa. Menilik jam besar di sudut ruangan tengah. Pukul sembilan di Sabtu malam.
Merasa sofa panjang yang ia duduki sedikit bergoyang, Bara membuka matanya yang tadi terpejam. Hendak langsung beranjak tanpa susah-susah melirik siapa di sebelahnya. Ia tahu betul, pasti Jojo di sana. Siapa lagi di rumah ini selain mereka berdua?
"Lo emang nggak mau kita baikan, Bar?" suara Jojo menginterupsi Bara yang sudah siap mengangkat pantatnya.
Helaan napas kasar Bara keluarkan. Apa tidak ada topik lain selain hal menyebalkan seperti ini? Ah, Bara lupa, ia bahkan tak mau mendengarkan satu patah kata dari Jojo.
"Ada benefit-nya buat gue?" Bara berkata.
Sakit sebenarnya. Jojo merasa sangat dibenci saudaranya sendiri. Sampai-sampai Bara berpikir tidak ada gunanya lagi seorang Jojo untuknya.
Jojo menghela napas, "Dulu lo yang selalu bilang kita nggak boleh marah atau diem-dieman lebih dari tiga hari," tatapan Jojo menerawang, mengulas masa kecilnya dengan Bara.
Mendengar itu Bara melemaskan punggungnya. Duduknya yang tadi tegak kembali bersandar.
"Lo selalu minta maaf siapa pun yang salah, lo bukan pemberontak kayak sekarang walaupun orang tua lo marahin lo," sambung Jojo.
Bara memejamkan matanya erat. Kenapa Jojo harus berkata seperti itu ketika ia sedang meminta baikan pada Bara? Itu sama sekali tidak membuat hati Bara terenyuh dan mengulas balik masa-masa dulu. Terlihat dari kepalan tangannya, Bara justru sedang menahan emosi.
"Bisa diem nggak?" dengan suara beratnya Bara memperingati Jojo.
Suara pelan yang terkesan dingin, yang sama sekali tidak pernah Bara lontarkan.
"Tapi, Bar, udah satu tahun lo benci sama keluarga lo sendiri," Jojo masih mencoba bicara.
"Seharusnya gue benci sama keluarga gue dari lahir."
"Gue tau apa yang lo rasain dari dulu, gue tahu," Jojo menatap lekat kelopak mata Bara yang terpejam, "Lo hebat bisa bertahan dari bokap-nyokap lo bertahun-tahun," sambungnya.
Mendadak Bara membuka matanya, bertepatan dengan napasnya mulai tersengal. Ia sudah tidak cukup kuat menahan emosi dari awal.
"Tapi lo nggak paham apa yang gue rasain sekarang! Gue nggak butuh pujian ataupun dukungan lo, Bangsat!"
"Lo tau siapa yang paling gue benci saat ini? Itu lo! Lo, Jo!" Bara berdiri, mengacungkan telunjuk tepat ke hadapan wajah Jojo.
Giliran Jojo merapatkan kelopak mata saat Bara berteriak memakinya. Ia paham betul kalau sekarang Bara membencinya. Bara kecil yang tak bisa lepas dari rangkulannya kini membenci sosok itu.
"Satu kebahagiaan kecil punya keluarga utuh udah sangat cukup buat gue, tapi lo sama nyokap lo rusak hal itu. Gue lebih baik nggak dapet satu pun kasih sayang dari kalian semua dari pada keluarga gue hancur kayak gini!"
"Bara, stop, Bara," pinta Jojo.
Jojo membuka matanya. Melihat mata merah Bara yang sedang meluapkan amarahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and Monday (lagi sambil direvisi)
Fiksi RemajaBara Ajuna Aditama, bad boy kelas hiu yang bandelnya begitu menjengkelkan. Cowok absurd yang benci hari setelah Minggu. Baginya, hari itu adalah kesialannya, kenapa harus di hari Senin? Sayangnya, cewek biasa yang tak berdosa di hidup Bara harus ter...